"Aku percaya," jawab Renan. Sorot matanya terlihat sangat serius mengatakannya. Benar, dia akan selalu percaya pada semua perkataan Rania. "Kamu bahkan nggak tahu kejadian sebenarnya tadi, harusnya kamu cari tahu dulu, Ren," sela Rania. Dia kagum pada Renan, tapi dibalik itu, Renan tidak seharusnya bersikap seperti itu dan lebih mencari tahu dulu kebenarannya seperti apa. "Aku percaya pada apapun yang dikatakan Rania," ucap Renan dengan matanya yang tidak pernah berpindah sedikitpun memandangi wajah Rania yang cantik. Apalagi, bulu mata yang sedikit lentik, menambah kesan manis yang dimiliki Rania. Dia akan selalu terpesona pada kecantikan yang ada pada diri wanita itu. "Aku bohong, Ren." Renan diam, membiarkan Rania berbicara lebih lanjut. Dia tidak suka, jika Rania memendam sendiri, apalagi pasal wanita Bandung itu. Sungguh, Renan ingin meluruskan semuanya, dia tidak menyukai Nindi. Memang benar, bahwa pertama kali bertemu Nindi, Renan sempat tertegun akan kecantikan dan keramah
Vano memanyunkan bibir bawahnya. "Nini tidak boleh," jawabnya dengan suara kecil agar tidak didengar oleh Hani. Hani menghela napas pasrah pada akhirnya. "Bukan tidak boleh, tapi akan lain jika memakannya dengan selai nanas, sayang." Hani mulai mengelupas beberapa kulit sosis, bsrsiap untuk dipanggang dan diolesi mentega terlebih dahulu. "Ano juga suka makan sosis pakai selai nanas ya, nak. Handa kecewa, sampai hal seperti ini saja tidak tahu." Lagi, Raihan mencium anaknya kembali, kali ini di dahi dan cukup lama. Begitu menyesalnya karena tidak ada di samping Ano saat anak itu masih balita. "Memang benar potokopianmu, Nak. Pangeran kecilku ini tidak ada bedanya dengan handanya. Aku saja terkejut saat dia bilang ingin makan sosis pakai selai nanas," celetuk Hani menyetujui perilaku Vano yang sangat mirip dengan putra sulungnya. "Ya sudah, Ano jangan cemberut lagi dong, nanti makan bersama Handa, ya, pakai selai nanas. Nini boleh, kan?" Raihan menatap ibunya untuk memohon agar dipe
"Bunaaaa!!!" "Anooo, Buna rindu Ano, huhu." Rania menggendong Vano saat anak laki-laki itu berlarian dari pintu apartemen. Rania sedang memasak nasi goreng di dapurnya dan Raihan datang untuk mengantarkan Vano pulang ke apartemen. "Ano uga lindu Bunaaa, muah ... muah ...." Vano menciumi pipi Rania seluruhnya. Dia sangat rindu sekali dengan ibunya. "Mas, duduklah," ucap Rania sambil menarik kursi pada meja makannya. Raihan mengangguk, dia juga datang dengan membawa kantong kresek besar berisi bahan-bahan makanan yang dibelinya tadi bersama Vano sebelum datang. "Terima kasih," balasnya sambil menaruh kantong kresek tersebut di atas meja makan. "Penghangat ruanganmu hidup, apa kau tidak gerah memakai baju rajut panjang seperti itu?" tanya Raihan yang sedikit keanehan dengan pakaian Rania, menurutnya terlalu tebal di saat penghangat ruangan juga menyala. Rania sedikit kikuk, matanya mengerjap begitu saja saat mendapat layangan protes dari handanya Vano. "E-eh, iya. Hanya ingin pakai
"Mas!" Jihan masuk ke dalam kamar Yogi dengan tiba-tiba. Yogi sampai tersendat dengan rokoknya sendiri. Gadis itu berlarian dan memeluk punggung telanjang Yogi begitu saja. "Bawa aku pergi. Mas Raihan hanya mencintai Rania, bukan aku!" rengeknya agar Yogi mengerti dengan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja. "Aku tidak bisa," jawab Yogi yang memutar tubuhnya sehingga Jihan memeluknya dari depan. Yogi membiarkan begitu saja. Jika ditanya apakah dia memiliki perasaan pada Jihan? Jawabannya, mungkin iya. Tapi, sedikit. "Mas, apa kau rela melihatku hidup tidak bahagia bersama Mas Raihan? Bagaimana dengan hubungan kita?" tanyanya dengan gamblang, tidak peduli jika ada yang menguping di luar. "Kita tidak punya hubungan apa-apa. Apa maksudmu? Aku hanya bekerja di bawah ayahmu saja," jawab Yogi mengelak. Dia ingin mengakhiri semuanya, namun tidak tega pada Jihan. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia punya Irene dari dulu. "Mas," rengeknya kembali dengan cengeng. Kini, tanganny
"Irene, apa kau melihat pemantik rokokku? Aku kehilangannya, sayang." Yogi mengobrak-abrik isi laci meja rias milik istrinya. Tapi, ia tidak menemukan satu pemantik rokok miliknya. Apa dibuang oleh Irene? Sangat mustahil sekali rasanya. "Kau ingin merokok di dalam kamar mandi? Apa tidak bisa nanti saja, setelah mandi?" tanya Irene dari arah dapur. Dia menggeleng-gelengkan kepala terhadap suaminya yang perokok akut. "Aku ingin menongkrong sebentar sambil pupup, sayang," jawab suaminya dengan nada manis, hampir seperti nada manja. "Pematikmu yang lain kemana?" "Tertinggal di rumah bosku," ungkapnya dan mengingat pemantik yang ia tak sengaja tinggalkan di laci kecil kamarnya yang ada di rumah ayah Jihan. "Kemarilah, pemantiknya ada disini, aku menaruhnya di kotak perlengkapan di atas lemari rak makan," balasnya dengan memberitahu keberadaan pemantik rokok milik suaminya. Yogi akhirnya berjalan ke dapur, istrinya sedang merebus daun teh untuk diminum olehnya sendiri dan juga Yogi. M
"Kau menonton apa?" "The penthouse," jawab Irene sambil mengunyah macadamia. "Seru?" Irene menganggukkan kepalanya. Tangannya sibuk membuka kulit kacang macadamia untuk dicemil secara langsung. "Ini tehku?" Yogi berdiri menghalangi wajah Irene yang sedang menonton tv, membuat Irene sedikit menggeser kepalanya untuk menonton tv. "Iya, duduklah. Aku sedang menonton, kau menghalangiku," jawabnya tanpa melirik Yogi sedikit pun. Sret! Yogi melempar lembaran foto yang ditemuinya di kotak sampah ke dekat kacang macadamia milik Irene. Tepat di hadapan Irene, lembaran itu berserakan. Hingga dia lupa dari mana asalnya dan siapa sosok yang selalu mendampinginya. Sudah kukatakan, kelopaknya lebih kuat dari jauh yang terkira. Irene melihatnya, seketika kepalanya mendongak cepat. "Y-yogi," ucapnya gugup. Tidak ada binar mata yang lembut seperti di dapur tadi, hanya ada tatapan tajam yang mengintimidasinya dari Yogi. Disana, Yogi menatapnya dengan lekat-lekat. Wajah beningnya makin kalut d
Sret! "Akh!" "Syut!" Laki-laki itu menutup mulut Rania secara tiba-tiba. Saat Rania berbalik badan, dia melihat laki-laki itu memejamkan matanya juga. Sungguh diluar dugaan dan membuat Rania semakin jantungan jika begini terus. Memang selalu mengejutkan dan membuat orang menjadi panik. "Ren! Apa yang kau perbuat tengah malam begini!" Rania menepis lengan Renan yang tersampir di perutnya. Dia duduk dan menyamankan posisinya dan memperbaiki dasternya yang hampir tersingkap ke atas. Setelah melihat kaki Renan, tangannya bergerak membukakan kaos kaki laki-laki itu yang masih setia di kakinya. Sosok Renan datang di tengah malam ke apartemen Rania secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan. Dia mengetahui password unit Rania dan langsung nyelonong masuk begitu saja ke dalam kamar, seperti seorang suami yang baru pulang kerja akibat lembur melanda. Rania terbiasa tidak mengunci pintu kamarnya agar sewaktu-waktu David atau Vano bisa masuk jika butuh sesuatu ataupun sedang bermimpi buruk.
"Naik level Bun, hehe," jawab David diiringi cengengesannya karena ketahuan belum juga tidur padahal waktu sudah menunjukkan pukul dini hari. "Mabar teros! Nanti Buna diami dan ga mau urus David lagi, mau? Mau Buna pulangkan David ke rumah kakek dan nenek David, iya?" kesal Rania yang masih berada dalam gendongan Renan. Dirinya mengomeli David yang akhir-akhir ini sedikit sudah untuk diberikan nasihat. harap dimaklumi karena David sedang masa pertumbuhannya. "Rania …," tegur Renan agar wanita itu tidak memarahi David secara terus menerus. Kasihan juga kalau anak itu dipulangkan ke rumah kakek dan neneknya. David pun matanya sudah berkaca-kaca saat Rania memarahinya. "Buna, besok kan sabtu, David tidak sekolah …," belanya agar Rania mengerti. Dia kan libur sekolah besok, jadi dia ingin puas-puas bermain game. "Buna tahu, tapi ini sudah jam dua David! Apa tidak bisa besok saja mainnya?" Rania paham apa mau David, tapi bukankah tidak baik tidur larut malam untuk anak seusia David? Ra