“Upi tuh Abah dak cuka. Abah malah-malah Upi,” cerita Rufy. David harus menerjemahkan kalimat Rufy agar Ethan mengerti. “Kenapa Akong enggak suka?” tanya Ethan. “Upi nak halam. Dak Ayahan. Ni Ayah, ya?” tunjuk Rufy pada David. “Kamu anak yang tampan, baik dan pintar. Akong sayang sama kamu. Kamu mirip sekali dengan Akong,” ucap Ethan. Rufy memberikan jempol. “Iya, Akong juga Abah Rufy, ‘kan?” tanya Vinza. Rufy mengangguk. Anak itu terlihat senang bisa berbaring di samping kakeknya dan diberi rasa kasih sayang. Hal yang tak dulu dia dapatkan dari Rohanda. Pria itu sering menghardik setiap kali Rufy mendekat. Semua itu akibat rasa kecewa Rohanda akan putrinya. “Semarah apa pun seorang Ayah, dia tetap pria yang ingin anaknya mendapat yang terbaik,” ucap Ethan. “Aku juga ingin yang terbaik untuk Papa,” ucap David. Dengan manja dia berbaring di samping Ethan sambil memeluk Papanya. Rufy memukul lengan David. “Ni Akong Upi!” ucapnya kesal sambil melotot. “Akong ‘kan Papanya Ayah,” t
Mr. Hang menaikan ikatan dasinya. “Akan lebih baik anda bertanya pada Tuan Liu. Beliau belakangan ini sering mengunjungi rumah Lau. Mungkin beliau mau terbuka masalah ini.” David berdiri. “Tolong copykan file di atas mejaku. Aku akan ke ruangan Mr. Liu,” pesan David. Ia begitu tergesa-gesa meninggalkan ruangan. Ruangan Mr. Liu dan David ada di lorong yang sama. Tiba di depan ruangan pria itu, David berhenti sejenak akibat ada tamu di ruangan Mr. Liu. Pintu ruangan itu terbuka. Tak lama tamu keluar, seorang pria dengan jas cokelat tua. Melihat David, ia lekas menunduk. “Siapa dia, Oom?” tanya David. “Damier, kamu ke sini? Kapan datang?” tanya Mr. Liu. Sama sekali pria itu tak terkejut atau apa pun. “Aku pernah lihat dia di rumah Papa.”“Duduklah.” Mr. Liu menunjuk sofa di ruang kantornya. Di sana kini David duduk berhadapan dengan sahabat Papanya itu. “Aku dengar tentang masalah Zhou. Benar-benar, hanya kamu yang berani menyentuh dia di sini,” ucap Mr. Liu. Tak la sekretarisnya m
“Nyonya, Tuan Besar sudah selesai istirahat,” ucap pelayan di rumah Lau. “Napa cih? Olang dak omong,” protes Rufy yang kesal karena orang-orang di sini bicara dengan bahasa yang tidak ia mengerti. “Mereka bisa ngomong, cuman kamu belum ngerti bahasanya. Nanti kita belajar, ya?” ajak Vinza. Rufy mengangguk. Dengan lembut, Vinza kecup kening Rufy. “Nak, Bunda mau ke Akong dulu, ya? Kamu main di sini.”“Iya.” Vinza lekas berdiri dan pergi ke kamar Ethan. Begitu membuka pintu, ia disambut senyuman Ethan. “Papa baik-baik saja?” tanya Vinza berusaha memeriksa keadaan Ethan. Dia yang pernah merawat seorang Nenek di Taiwan begitu telaten merawat mertuanya. Dari mulai memijiti hingga menyuapi. “Iya, aku senang sekali. Sejak dulu selalu ingin punya anak perempuan. Karena mereka bisa merawat dan menjagaku. Anak perempuan senang diajak bicara, bercanda dan berbagi,” ucap Ethan. “Aku juga anak perempuan Papa, ‘kan? Jangan sedih. Papa punya anak laki-laki dan anak perempuan yang akan jaga Papa
“Ini rooftop?” tanya Vinza. Karena apartemen David berada paling atas, apartemen itu memiliki sky terrace yang memiliki pemandangan 360 derajat. Bagian depan menghadap bukit penuh pepohonan, lalu kota dan teluk, sedang bagian belakang pemandangan bukit dengan mansion mahal berbaris. Vinza melihat ke sekitar teras. Ia melihat ada tangga lain dan turun melalui tangga itu. “Ini bak air panas?” tanya Vinza. “Jacuzzi,” ralat David. “Rufy bisa renang di sini nanti. Enggak ada kolam renangnya, ya?” “Ada di rumah Papa.”Wanita itu masih lincah menuruni tangga paling ujung dan menemukan teras lain yang memiliki alat baberque juga wastafel. “Wah, keren emang ini. Enggak salah harganya mahal,” pikir Vinza. Saat melirik ke kanan, ia melihat ada pintu. Dibuka pintu itu yang ternyata tersambung ke dapur. “Jadi jalan masuknya ada dua?” Bukannya menjawab pertanyaan Vinza, David malah menggendong istrinya. “David turunin!” pinta Vinza. “Enggak bisa. Aku mau liat kain laknat,” ucapnya. Sampai di
“Aku sebenarnya kurang nyaman kalau ada pelayan. Lebih enak begini, mereka datang hanya untuk beres-beres dan ngisi kulkas. Sisanya bisa sendiri. Lebih bebas,” jawab David. “Iya, tapi harus masak sendiri,” keluh Vinza. “Kayaknya dari dulu kamu paling males kalau disuruh masak.” Mereka tiba di dapur yang bernuansa kecokelatan. David langsung membuka kulkas. “Habis aku malas kalau masak, diprotes terus,” keluhnya. “Ya belajar, bukannya malah ogah masak,” timpal David. Vinza naikan Rufy ke atas kursi di meja makan di dapur. Hanya saja mejanya tak sebesar di ruang makan. Hanya meja bundar dari kayu dengan cat cokelat. “Aku masak, kok. Masak buat Nenek yang aku jaga selama jadi TKW. Cuman masalahnya cuman sayur saja,” jawab Vinza. “Ma iyoy,” timpal Rufy. “Kok kamu tahu, sih? Padahal Bunda belum pernah cerita, loh.” Vizna tampak kaget mendengar kalimat Rufy. “Bukannya sudah bisa ketebak? Kamu masakin dia telur lagi dan telur lagi,” ledek David sambil tertawa. Vinza menatapnya tajam
Rufy tertawa mendengar suara tawa anak-anak dalam video. “Upi mo dede bayi. Mo dede bayi,” pinta Rufy. “Ya harus dibikin dulu, Rufy. Lama lagi,” timpal Vinza. “Bunda biang boeh. Upi mo dede,” tegas Rufy merengek. “Lha, kok malah nangis. Kemarin Rufy bilang enggak mau punya dede. Jadi Ayah sama Bunda sepakat enggak bikin dedek. Sekarang malah pengen dede.” Vinza jadi bingung sendiri. “Aaa-aarg Bunda, mo dede bayi,” rengek Rufy. Dia benar menangis sampai vinza harus menggendongnya. “Iya, nanti Bunda sama Ayah bikin dede, ya? Rufy sabar dulu. Bikin dede itu enggak sebentar, ya?”Di tengah keributan rengekan Rufy, ponsel berdering. Vinza lekas mengangkat telpon dari suaminya itu. Hendak mengatakan apa yang terjadi dengan Rufy, ia malah dikagetkan dengan apa yang David ucapkan. “Bun, Papa meninggal,” ucap David. “Ayah, yang kuat, ya? Kamu di mana sekarang. Aku ke sana, ya?” pesan Vinza. Rasanya sedih, dia baru punya mertua. Baru bertemu dengan mertuanya. Dia berharap Ethan bisa men
Sebelum dimakamkan, harus dilakukan serangkaian upacara. Sudah jadi adat sendiri di sini. David hanya bisa melihat dari kejauhan akibat tak bisa mengikuti prosesi upacara pemakaman. Bahkan untuk funeral service pun tanggal akan ditetapkan oleh ahli spiritual di sana (mohon maaf kalau salah sebut. Karena aku tidak nemuin kata dalam bahasa Indonesia yang pas untuk menyebutkannya). Tubuh Ethan akan dimakamkan minggu depan dan selama itu, tubuhnya akan di simpan di rumah duka di mana tubuhnya dimasukan dalam pendingin raksasa. Selama seminggu perusahaan dalam keadaan berkabung. Para staf dan petinggi diwajibkan memakai pakaian serba hitam dan tak diperkenankan ada obrolan selain masalah pekerjaan. Disediakan tempat penghormatan terakhir untuk Ethan di kantor. David berdiri di depan foto Papanya di rumah. Air mata sudah kering dari mata. Hampir setiap hari dia menangis bahkan ketika makan. “Yah, kamu enggak sakit kaki berdiri gitu terus? Kasian Papa kalau liat kamu kayak gini. Kamu past
“Dasar bocah tengik,” kalimat itu yang dikatakan Martin Zhou ketika bertemu dengan David setelah sekian lama. “Berbaiklah padaku. Aku ini anak dari kakakmu. Keponakanmu. Ah, tidak juga. Kalau mau baik padaku, harusnya sudah kamu lakukan sejak dulu,” tekan David. Zhou mendengkus. “Kamu tidak lain hanya anak yang dilahirkan pembantu!” hina zhou. Mereka dipisahkan dinding kaca. “Lebih baik dilahirkan dari rahim pembantu dibandingkan lahir dari wanita kaya, tetapi hati hanya penuh kejahatan. Memang ke mana tujuan kita selain mati? Bersyukurlah aku kembali. Karena bisa saja di masa tuamu ini, kamu hidup dengan penuh penyesalan akibat membuat seorang anak kehilangan orang tuanya.”“Kamu pikir aku akan selamanya ada di sini? Aku akan keluar dan menuntut dendamku, Damier!” ancamnya. “Aku akan tunggu. Kapan pun itu. Aku akan menyiapkan penyambutan besar atas balas dendammu.” David menggeser sebuah amplop. “Bukalah. Mungkin kamu kenal dengan orang-orang ini.”Zhou mengambil dari sebuah luba