“Baik, Bu. Maaf baru ke sini. Habis nikah aku sibuk ngurus rumah,” jawab Vinza. Padahal ia sibuk untuk belajar kesetaraan. Apalagi David banyak tuntutan, harus bisa bahasa asing lah, bisa etiket lah. Sekalian saja harus bisa malak preman!“Apa kabar suami kamu? Enggak ikut ke sini?” “Lagi kerja, Bu.”“Eh, masuk atuh!” ajak Bu Cucu.Melewati toko yang tergantung banyak pakaian, mereka masuk ke dalam pintu yang langsung terhubung ke ruang tamu rumah Bu Cucu. Di sana Vinza duduk dengan Rufy. “Galih! Ada Upi, mau main!” panggil Bu Cucu.Tak lama Galih keluar kamarnya. Ia langsung menyapa Rufy. “Upi! Kakak kangen!” seru Galih sambil berlari lalu memeluk Rufy. Putra Vinza balas memeluk. Kedua anak itu sama-sama tertawa. “Main sama Kakak, yuk!” ajak Galih yang langsung diiyakan oleh Rufy.Sementara mereka main, Vinza mengobrol dengan Bu Cucu. “Ibu cukup kaget dengar kamu sudah nikah, Vin. Apalagi Adam. Dia sangat berharap sama kamu,” ungkap Bu Cucu.“Mau gimana lagi, Bu. Bukannya Pak Adam
Vinza nyengir kuda begitu melihat sosok David sudah berdiri di teras menyambut mereka. Tatapan mata pria itu tajam dan wajahnya mencerminkan kesongongan yang hakiki. Andai saja jika Vinza tak menyadari kesalahan, ia akan biasa saja menghadapi pria itu. Masalahnya di sini, dia sadar salah karena tidak mengirimkan David pesan. Lupa, maklum sudah emak-emak. “Aku pergi bentar, kok. Enggak sampai seharian juga. Pergi siang dan pulang sore. Gitu saja marah. Tadi mau kirim pesan, cuman lupa. Lagian Rufy enggak lecet apa-apa, kok. Ini masih utuh. Dari ujung rambut sampai kaki. Cuman rambut rontok dikit maklum, ya? Namanya juga rambut,” alasan Vinza. “Ke mana kamu?” tanya David tegas sambil berkacak pinggang. Ia berdiri di dekat tiang besar yang lebih besar dari tubuhnya. Pertanyaan itu membuat Vinza gemetaran. Iya, tak apa kalau dia bilang ke rumah Adam. Masalahnya di sini, karena lupa kirim pesan, jadilah ini membesar. David pasti kesal karenanya. Vinza meneguk ludah dan membasahi bibir d
“Hei, kalau ngomong dijaga! Awas ya!” Vinza mencoba mencubit pinggang David, sayang dia malah David hentikan. Pria itu menahan tangan Vinza dan semakin menekannya ke tembok. Tubuh keduanya menjadi sangat dekat. “Dengar, di mall ada namanya area bermain. Di sana ada banyak anak-anak main dan ibu-ibu yang menunggu. Kamu bisa kenalan sama ibu-ibu itu. Mengerti?” tanya David sambil berbisik. Vinza menganggukan kepala. Matanya dan David saling terkunci. “Aku enggak keberatan kamu bergaul. Hanya saja, kamu ini sekarang punya suami. Kalau kamu dekat sama lelaki, orang akan omongin kamu yang macam-macam, ya?”Lagi Vinza mengangguk. Suara David terdengar begitu lembut. Pipi Vinza memerah, jantungnya berdebar. Anehnya, ia masih terkunci dalam pandangan dengan David. “Kamu itu sekarang bawa nama suami kamu dan anak kamu. Jangan sampai keluarga kamu dinilai buruk karena perilaku kamu. Bisa?” Suara David yang ngebas terdengar nyaman di telinga hingga Vinza kembali mengangguk. David mendekatkan
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka. Vinza kaget, ia kembali berbalik dan melihat David keluar dari sana. “Mau ngapain kamu?” tegur David. “Apa? Aku mau ke bawah,” dusta Vinza. Sayang, wajahnya terlihat mencurigakan. “Rufy tidur?” Vinza mengangguk. Mata David terlihat melirik ke arah kamar Rufy. “Vid, Rufy tadi ngerengek. Dia mau main sama kamu. Kamunya malah sibuk sendiri gitu. Bukan apa-apa, ya? Dia tuh masih butuh perhatian kita. Kamu bilang bakalan kasih waktu keluarga. Baru juga hitungan hari, sudah sibuk sendiri!” “Ada masalah di perusahaan. Evergrande,” jawab David dengan suara lemah. Tak lama ia menatap Vinza. “Kamu tahu itu apa?”Vinza mengedipkan mata lalu menggeleng. “Apa yang bisa aku harapkan dari kamu, sih? Kamu ya, kamu saja!” ledeknya. Ucapan itu membuat Vinza kesal. Ia lekas berbalik dan hendak berjalan ke kamar Rufy, tetapi David langsung menarik tangannya. “Hei, aku belum selesai ngomong!”“Aku enggak mau denger ledekan kamu. Kalau cuman mau bikin ana
“Bunda, bei bebek, yuk?” ajak Rufy.“Buat apa?” tanya Vinza yang bingung dengan permintaan putranya.Mereka saat itu tengah duduk di meja makan. Vinza memasakan sayur sop dengan ceker ayam kesukaan Rufy, walau baju Rufy harus bau amis akibat makan ceker dengan tangan. Vinza hanya percaya dengan apa yang ibunya katakan, anak yang suka makan ceker pasti pintar. Padahal Vinza suka makan ceker sejak balita dan sampai sekarang .... Ya begitulah!“Kan itu lagi makan kaki ayam. Masa sekarang mau bebek?” tegur Vinza. “Mana aki ayam?” Vinza menunjuk ceker di tangan Rufy. Anak itu langsung menggeleng. “Ni ceken, bukan aki ayam!” protes Rufy.“Ceker itu ‘kan kakinya ayam.”Mendengar itu, mata Rufy langsung terbelalak. Bayangan kenikmatannya hancur. “Napa dak biang?” “Emang Emak enggak pernah kasih tahu Rufy?” Vinza malah balik bertanya. Anak di sampingnya menggeleng. Ia jatuhkan ceker dari tangan. Wajahnya benar-benar sulit diartikan, antara bingung dan kecewa. “Ceker itu kakinya ayam.” Vinza
Di sana Vinza merasa kagum. “Jadi dia beneran dari kalangan menengah ke bawah? Bahkan sama sekali tak terlihat,” batin Vinza lagi. Ia begitu kagum melihat wanita di depannya. “Aku senang banget bisa ketemu dengan Teh Langit. Jujur aku kagum banget sampai enggak percaya Teh Langit ini orang biasa. Sama sekali enggak kelihatan.”“Kamu bisa saja. Apanya yang enggak kelihatan. Kalau lihat aku makan jengkol, baru percaya?” tanyanya.Mereka berdua terkekeh. Di samping Langit duduk seorang anak perempuan. “Ara ikut ke sini juga?” tanya Vinza. Langit mengangguk. “Iya, dia di rumah enggak banyak teman. Biasa main sama sepupunya, tapi lagi ke luar kota. Terus Aa Biru minta aku nengok kamu ke sini. Katanya pasti David bikin kamu mati bosan,” jelas Langit.Vinza tertawa. “Kok tahu, ya? David itu emang ngebosenin. Enggak ada manisnya. Lain sama Tuan Biru, humoris dan hangat orangnya.”Langit menggeleng. “Kalau David persis Biru, aku yakin pasti kamu juga lebih milih dia tetep dingin.”Minara main
Lekas Vinza turun dari tempat tidur. Ia berjalan hendak keluar dari kamar Rufy, tetapi kaget karena ada yang mendorong pintu ke dalam. Vinza lekas mundur. Ia kaget melihat David kini ada di depannya. “Kamu bikin kaget saja!” protes Vinza. “Kamu yang bikin kaget! Aku mau lihat anakku. Dia sudah tidur?” “Bisa kamu cuman nanya dia sudah tidur. Enggak ajak main, enggak ajak ngobrol!” protes Vinza. David lekas masuk. Ia duduk di pinggir tempat tidur Rufy. “Kamu tahu aku sedang ada masalah. Papa menelpon agar aku kembangkan bisnis di Indonesia. Banyak investor lebih tertarik menanam modal di sini. Bagus, sih. Rufy enggak perlu adaptasi di negara baru. Cuman, aku khawatir dengan Papaku.”“Kenapa memang?”“Kesehatannya mungkin akan terganggu karena masalah ini. Rasanya kalau ingat itu, aku ingin pulang ke sana dan bersamanya.”Vinza mengangguk. Ia duduk di samping David. “Banyak yang bilang, satu orang tua bisa jaga empat anak, tetapi satu anak tak bisa menjaga satu orang tua. Kadang ada y
“Jadi kalian berdua enggak ngapa-ngapain?” tanya Langit bingung. Hari ini dia mengundang Vinza ke rumah Bamantara. Terdengar suara Rufy dan Minara bermain ditemani Bu Mawar. Wanita itu sangat senang karena bisa bertemu dengan Rufy lagi. “Hubungan aku sama David itu tidak seperti yang Teh Langit pikir,” ungkap Vinza.“Gimana kalian akan membesarkan anak kalau keadaannya begini? Anak itu makhluk yang peka. Ia bisa tahu jika kedua orang tuanya ada masalah. Hanya saja anak sering bingung bagaimana harus bersikap. Ujungnya menyita pikiran dan akan memengaruhi perkembangannya,” jelas Langit.“Teh Langit tahu banyak soal anak,” puji Vinza. Ia merasa semakin rendah diri.“Vin, kita memang merasa terlambat untuk meneruskan sekolah. Tapi, tak ada kata terlambat untuk belajar menjadi orang tua. Kamu mau ikut kelas parenting? Aku akan daftarkan kamu, ya?”Vinza langsung mengangguk. Ia sangat senang mendapat kesempatan belajar. Inginnya dia juga bisa kuliah. Hanya saja ikut ujian paket, Vinza mas
“Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa
Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen
“Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr
“Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb
“Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy
“Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me
David berdiri di luar ruang bersalin. Vinza masih berada di dalam menunggu waktu untuk melahirkan. Sudah berjam-jam David menunggu. Vinza belum juga melahirkan. Tak lama dokter keluar. David lekas menghampiri dokternya. “Pak, istri anda harus melalui operasi Caesar karena ukuran bayinya cukup besar. Jadi anda tak bisa melihat prosesnya,” ucap dokter. “Tak apa, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya,” jawab David. Tak lama tindakan operasi langsung dilakukan. David semakin merasa tak tenang. Dia menunggu dengan Rufy di ruang tunggu VIP. Dalam pangkuan David, Rufy sempat tertidur pulas. Tak lama bayi mereka dibawa keluar ruangan menuju ruang bayi. David sempat melihat putrinya dan meminta untuk mengazani. Suster sempat menanyakan tentang nama bayi David dan Vinza, tetapi pria itu malah bengong. Dia sudah siapkan masah persalinan sampai penyambutan istri dan bayinya. Namun, masalah nama dia lupa. David melihat ke sisi kanan dan kiri. Dia melihat sebuah merk Waruna dengan logo de
“Hal yang harus dilakukan suami ketika menghadapi istri yang hendak melahirkan. Satu, tenangkan diri. Pastikan semua keperluan melahirkan sudah siap. Dua, telpon ambulan jika memang istri sudah terlihat banyak mengeluarkan keringat, atau lemas ....” David hampir setiap hari menonton video itu. Dia sudah sangat kecewa tak bisa menemani Vinza saat hamil Rufy pun tak melihat proses putranya lahir. Kali ini David ingin menjadi suami siaga yang akan menjaga istri dan bayinya dengan baik. “Ayah tonton pa, tuh?” tanya Rufy. Anak itu menyimpan tabletnya di atas nakas. Ia tengah belajar huruf mandari dengan aplikasi yang diberikan gurunya. Tablet itu akan membunyikan alarm jika waktu main tablet sudah habis. Karena itu Rufy menyimpan tabletnya. Ia selalu mematuhi peraturan yang dibuat dirumah karena aturan di rumah ini dibuat bersama-sama dengan Rufy. “Ini apa yang harus Ayah lakukan kalau dedek lahir,” jawab David. “Ouh, dedek mo ahin, ya?” tanya Rufy lagi. “Iya, kayaknya minggu depan. M
Sebelum Cyan lahir ....Vinza merenung di rooftop rumah. Hari ini dia tak punya semangat, hanya mengusap perut sambil manyun. Rufy sedang ada kelas. Karena masalah bahasa, anak itu harus homeschooling untuk belajar Bahasa Inggris dan mandarin sebelum memasuki taman kanak-kanak. Apalah daya ibunya. Bahasa Mandarin Vinza pun hanya sebatas bahasa untuk sehari-hari. Itu pun Vinza tak mampu membaca tulisan mereka. Cahaya matahari terasa hangat di awal musim gugur. Pepohonan mengalami kerontokan daun di bulan Oktober ini. “Aku mau jalan-jalan. Mau beli bala-bala,” batinnya. Di saat seperti ini, Vinza lekas mengambil ponselnya. Ia telpon David saat itu juga. “Kenapa?” tanya David. “Mau bala-bala,” pinta Vinza. “Bercanda kamu? Beli bala-bala di mana di Hongkong?” “Dulu di Taiwan ada,” keluh Vinza. “Terus aku harus ke Taiwan dulu gitu? Dateng ke rumah sudah basi itu bala-bala,” omel David. Vinza menunduk lesu. “Vid, ternyata cinta kita hanya sampai gorengan bala-bala,” keluh Vinza. “Tu