Di sana Vinza merasa kagum. “Jadi dia beneran dari kalangan menengah ke bawah? Bahkan sama sekali tak terlihat,” batin Vinza lagi. Ia begitu kagum melihat wanita di depannya. “Aku senang banget bisa ketemu dengan Teh Langit. Jujur aku kagum banget sampai enggak percaya Teh Langit ini orang biasa. Sama sekali enggak kelihatan.”“Kamu bisa saja. Apanya yang enggak kelihatan. Kalau lihat aku makan jengkol, baru percaya?” tanyanya.Mereka berdua terkekeh. Di samping Langit duduk seorang anak perempuan. “Ara ikut ke sini juga?” tanya Vinza. Langit mengangguk. “Iya, dia di rumah enggak banyak teman. Biasa main sama sepupunya, tapi lagi ke luar kota. Terus Aa Biru minta aku nengok kamu ke sini. Katanya pasti David bikin kamu mati bosan,” jelas Langit.Vinza tertawa. “Kok tahu, ya? David itu emang ngebosenin. Enggak ada manisnya. Lain sama Tuan Biru, humoris dan hangat orangnya.”Langit menggeleng. “Kalau David persis Biru, aku yakin pasti kamu juga lebih milih dia tetep dingin.”Minara main
Lekas Vinza turun dari tempat tidur. Ia berjalan hendak keluar dari kamar Rufy, tetapi kaget karena ada yang mendorong pintu ke dalam. Vinza lekas mundur. Ia kaget melihat David kini ada di depannya. “Kamu bikin kaget saja!” protes Vinza. “Kamu yang bikin kaget! Aku mau lihat anakku. Dia sudah tidur?” “Bisa kamu cuman nanya dia sudah tidur. Enggak ajak main, enggak ajak ngobrol!” protes Vinza. David lekas masuk. Ia duduk di pinggir tempat tidur Rufy. “Kamu tahu aku sedang ada masalah. Papa menelpon agar aku kembangkan bisnis di Indonesia. Banyak investor lebih tertarik menanam modal di sini. Bagus, sih. Rufy enggak perlu adaptasi di negara baru. Cuman, aku khawatir dengan Papaku.”“Kenapa memang?”“Kesehatannya mungkin akan terganggu karena masalah ini. Rasanya kalau ingat itu, aku ingin pulang ke sana dan bersamanya.”Vinza mengangguk. Ia duduk di samping David. “Banyak yang bilang, satu orang tua bisa jaga empat anak, tetapi satu anak tak bisa menjaga satu orang tua. Kadang ada y
“Jadi kalian berdua enggak ngapa-ngapain?” tanya Langit bingung. Hari ini dia mengundang Vinza ke rumah Bamantara. Terdengar suara Rufy dan Minara bermain ditemani Bu Mawar. Wanita itu sangat senang karena bisa bertemu dengan Rufy lagi. “Hubungan aku sama David itu tidak seperti yang Teh Langit pikir,” ungkap Vinza.“Gimana kalian akan membesarkan anak kalau keadaannya begini? Anak itu makhluk yang peka. Ia bisa tahu jika kedua orang tuanya ada masalah. Hanya saja anak sering bingung bagaimana harus bersikap. Ujungnya menyita pikiran dan akan memengaruhi perkembangannya,” jelas Langit.“Teh Langit tahu banyak soal anak,” puji Vinza. Ia merasa semakin rendah diri.“Vin, kita memang merasa terlambat untuk meneruskan sekolah. Tapi, tak ada kata terlambat untuk belajar menjadi orang tua. Kamu mau ikut kelas parenting? Aku akan daftarkan kamu, ya?”Vinza langsung mengangguk. Ia sangat senang mendapat kesempatan belajar. Inginnya dia juga bisa kuliah. Hanya saja ikut ujian paket, Vinza mas
“Kayaknya obrolan kalian rame banget,” komentar seseorang. Baik Vinza dan Langit melihat ke arah suara. Biru sudah kembali dari kantor. “Sudah pulang, A?” tanya Langit. Biru mengangguk. “Vinza lagi di sini? Rufy mana?” Pria itu melihat ke sekitar. Ia tak melihat Rufy. “Ada. Main sama Ara, Tuan,” jawab Vinza. “Jangan manggil Tuan. Panggil Biru saja. Lagian kamu itu istrinya David, ‘kan?”Vinza mengangguk. Sedang Langit menyikut pria itu. Ia membisikan masalah Vinza dan David. “Emang dasar itu lelaki! Jual mahal!”Biru lekas duduk di sofa ruang tamu. Langit duduk di sampingnya. “Dengar Vinza. David itu sebenarnya gagal move on. Dia cuman malu. Sebenarnya dia masih sayang sama kamu. Makanya dikenalin sama banyak perempuan, dia enggak mau. Alasannya ingin fokus ini dan itu.”“Tahu dari mana karena aku. Siapa tahu dia memang sibuk.”“Buktinya waktu pulang ke sini, dia sempat pulang ke kampung kalian dan nyari tahu tentang kamu. Dia malah sempat galau karena nyangka istri Hadi yang suda
Vinza berdiri dan langsung menatap Viane. “Apa kamu bilang tadi?” tegur Vinza. “Wanita kotor!” tunjuk Viane. “Wanita?” Vinza rasanya jadi emosi. Saat itu juga dia jambak rambut Viane hingga wanita itu berteriak kesakitan. “Cabut kata-kata kamu dan minta maaf!” bentak Vinza. “Kamu wanita murahan yang rebut tunanganku!” balas Viane. Dia berusaha balik menjambak, tetapi tak berhasil karena Vinza semakin menarik rambutnya ke bawah. “Aw! Sakit! Lepas!” pekik Viane. “Minta maaf!” tegas Vinza. Sementara Viane masih mengatakan kata-kata kasar. Semakin beringas saja Vinza sampai ditambah mengatup kedua pipi Viane dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri tetap menjambak. Bibir Viane manyun akibat kedua pipinya Vinza tekan. “Minta maaf aku bilang!” bentak Viane. Tangan wanita itu mulai memukuli Vinza agar dilepaskan. “Upasin! Upasin!” teriak Viane tak jelas akibat mulutnya ditekan Vinza. Keributan itu rupanya memancing orang-orang datang. Tempat yang tadi sepi, kini banyak orang yang
David masih memeriksa beberapa koran dan artikel tentang kematian pengasuh yang menculiknya dulu. Ia begitu bernafsu untuk menemukan manusia terkutuk itu. Manusia yang membuat ia terpisah dari orang tuanya, hingga tak sempat melihat ibu kandungnya untuk terakhir kali.Hati anak mana yang tak sedih. Hidup bertahun-tahun tanpa orang tua, mengira dirinya sudah terbuang. Ternyata orang tuanya di belahan bumi lain pun tengah mencari. Dua hati yang menyatu, tapi dipisahkan jarak yang jauh. Anak itu meratap kesepian di pinggir jendela. Sementara ibunya merindukan saat memeluk bayi mungil yang akan melanjutkan keturunannya. Seluruh mimpi keluarga kecil itu terkubur berpuluh tahun lamanya. Yang kini tersisa hanya penyesalan, kenapa tak diketemukan jauh sebelum hari ini datang.“Ini! Ada sesuatu yang janggal!” tunjuk David. Mr. Hang sedang duduk di depannya. David menunjukan sebuah catatan wawancara dengan keluarga korban di dalam sebuah berita televisi yang rekamannya masih ada di Youtube. Pe
Rufy berlari di halaman rumah sambil tertawa. Ia mengambil bola lalu melemparnya. Tak tahu kenapa tak satu pun bola yang bisa Vinza bisa tangkap. “Apa kebodohan juga ngaruh ke fisik, ya?” pikir Vinza. Jujur di sekolah dia hanya anak biasa saja. Seumur hidup tak pernah menang lomba. Pernah, deh. Sekali, lomba ambil koin dalam terigu pakai mulut. Itu pun dia tak pajang sertifikat lomba karena ada fotonya dengan wajah cemong penuh terigu. “Bun, akep napa?” Awalnya Rufy merasa bangga karena ibunya tak bisa menang sekalipun dalam permainan tangkap bola. Lama-lama menang terus terasa bosan. “Upi, bisa enggak majuan sedikit gitu.” Jarak yang tadinya dua meter, sekarang tersisa satu koma lima meter. Rufy melempar bola dan hasilnya tetap sama. Vinza tak bisa menangkap bola. Di sini pandangan mata Rufy menurun. Anak itu menunduk sedih sambil berjalan ke arah rumah. “Rufy, jangan marah, dong. Maafin Bunda, ya? Nanti main bolanya sama Ayah saja, ya?” Rufy tak menjawab. Ia masih terus berjalan
“Menurut Gubernur kita, Ridwan Kamil .... Warga Bandung butuh piknik,” celetuk Biru. “Aku pikir mungkin dia bukan orang Bandung,” balas David serius. “Momod, aku ini tadi bercanda.”“Terus kamu pikir aku serius, Tatang!” bentak David. Ia lekas mematikan telpon. Orang-orang yang ia lewati menunduk di depannya. Para penjaga berjaga di belakang. Sopir membukakan pintu mobil dan David masuk ke dalam. Ia telpon Brazil, bukan nama sebenarnya. Pria itu seorang polisi khusus yang bisa diminta bantuan untuk menyelidiki kejadian ini.“Sudah ditemukan pelurunya?” tanya Brazil. “Datang saja ke TKP. Aku minta para penjaga untuk tidak memindahkan apa pun dari sana,” jelas David. Setelah menutup telpon, ia melihat ke luar jendela. Tangannya gemetar. Mata David terasa perih hingga berkaca-kaca. Ia usap matanya. “Vinza,” panggilnya dari dalam hati. “Ya Allah, tolong lindungi istriku.”***Vinza masih tertidur karena obat bius. Ia terpaksa dibius karena mengganggu kinerja dokter saat menjahit luka