Luna menoleh pada benda bulat yang tergantung di dinding. Jam menunjukan pukul dua siang. Ia meletakkan bolpoint ditangannya di atas meja. Meraih map berisikan materi meeting. Wanita cantik itu beranjak dari duduknya. Menghela napas untuk menghilangkan rasa gugup. Ia berjalan menuju ruang meeting. Langkahnya terhenti di hadapan pintu yang bertuliskan meeting room. Jantungnya berdegup kian cepat. Ia menarik napas mengumpulkan sedikit keberanian untuk membuka pintu. Beberapa orang telah duduk di kursi jabatannya masing-masing. Deretan staff dibawah kendali Luna pun telah duduk menunggu kehadirannya. Ia berdiri melempar senyum dan menyapa semua yang ada di sana seraya memperkenalkan diri. "Baiklah, Luna," ujar Merry, "Anda bisa mulai mempresentasikan ide Anda."Luna berdiri, dengan suara jelas memulai presentasinya. "Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk saya. Disini, saya ingin membahas strategi keuangan baru yang telah saya kembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan pro
Didalam sebuah ruangan dengan interior minimalis namun mewah, sepasang suami istri tengah duduk di atas sofa. "Luna pergi entah kemana. Aku sudah menghubunginya dari dua hari yang lalu. Tapi dia tidak menjawab panggilanku. Juga tidak membalas pesanku. Bahkan ponselnya sekarang tidak dapat dihubungi. Tadi aku kerumahnya, dan ternyata rumah itu sudah kosong," terang Amanda sembari terisak. Amanda menyeka air mata dengan telapak tangannya. "Aku tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba bersikap seperti itu. Apa salahku padanya? Mengapa dia pergi tanpa memberitahukanku terlebih dahulu. Sebelumnya, dia tidak pernah bersikap seperti ini. Sebelum berpindah kontrakan, dia pasti akan mengabariku terlebih dahulu. Bahkan, ia selalu meminta pendapatku tentang rumah yang akan ia tempati. Tapi, sekarang ia pergi begitu saja, bahkan enggan menerima panggilanku." Wanita itu terus mengutarakan kegundahannya sembari terisak. Hatinya merasa sesak karena kehilangan seorang sahabat terbaiknya. Isi kepalanya
Sejak saat itu, Luna menjalani harinya dengan fokus bekerja. Setiap pagi, ia berangkat dengan semangat yang tak pernah surut. Mengabdikan diri sepenuhnya pada pekerjaan. Di balik kesibukan dan rutinitasnya, ada satu tujuan yang selalu ia pegang erat, yakni menyiapkan masa depan untuk anak yang tengah dikandungnya. Ia juga selalu menyisihkan sebagian besar upahnya untuk menabung. Menyiapkan biaya persalinan yang semakin dekat. Tiga bulan berlalu terasa cepat bagai sekejap mata. Perut Luna kini semakin membesar. Setiap hari, perubahan fisiknya semakin terlihat nyata. Tak ada lagi pakaian yang cukup longgar untuk menyembunyikan kehidupan baru yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Orang-orang di sekitarnya diam-diam mulai memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuh wanita yang diketahui masih berstatus single itu. Tok. Tok. Tok. Suara pintu ruangan kerja Luna diketuk oleh seseorang. "Masuk ...!" seru Luna dari dalam ruangan. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. "Hai ... Lun
Perang dingin antara Luna dan Windy masih berlangsung berhari-hari. Dua wanita yang dulunya dikenal sebagai rekan kerja yang akrab, kini terasa sangat asing. Pagi itu, Luna baru saja tiba di kantor. Para staf yang biasa menyapanya dengan ramah, kini terkesan dingin, bahkan seringkali kedapatan menatap Luna dengan tatapan sinis. "Luna ... saya harap kamu tidak menggabungkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi kamu dengan Windy," tegur Merry yang baru saja masuk ke dalam ruangan Luna. "Maaf, Bu. Saya sudah membuat suasana di kantor ini menjadi tidak nyaman," sesalnya pada Merry. Secara pribadi, Merry tidak merasa terganggu sedikitpun oleh peperangan dingin yang terjadi diantara bawahannya. Namun, semakin hari, semakin terlihat keteganggan di wilayah kerjanya. Terlebih lagi, ketika meeting, kubu Windy sering kali berbeda pendapat dengan Luna dan seolah menyerang Luna. "Kamu belum tau siapa saya, Luna!" gumam Windy, menatap Luna dengan tatapan tajam dan senyum sinis. Dengan amb
Bus yang ditumpangi oleh Luna telah sampai di halte tujuan. Ia turun dari kendaraan besar itu dengan langkah yang berat. Berjalan melewati area komplek yang tampak sunyi. Sesampainya di depan pintu rumah, Luna melepaskan sepatu flat shoesnya dengan gerakan yang lamban dan otomatis. Ia membuka pintu dengan pelan, kemudian masuk ke dalam dengan wajah yang pucat dan tampak lelah. Tanpa berkata sepatah kata pun, Luna menghempaskan tubuhnya di kursi ruang tamu, bersandar, menengadahkan wajah, lalu menutup matanya seolah ingin meredakan kelelahan yang tak hanya bersifat fisik.Di sudut ruangan, Nikita memperhatikan kedatangan kakaknya dengan seksama. Luna, yang biasanya penuh semangat dan senyum, tampak begitu berbeda hari ini. "Mau aku buatkan teh manis, Kak?" tanya Nikita. Luna menghela napas panjang, lalu melirik Nikita sekilas. "Tidak usah, nanti aku bisa membuatnya sendiri." Nikita melangkah mendekati Luna, kemudian duduk di sampingnya. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam sor
Luna menutup pintu ruangan Merry dengan lembut, kemudian menarik napas panjang. Atasannya yang baik namun tegas itu telah memberinya waktu tiga hari untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum Luna mengundurkan diri. Tekad Luna sudah bulat dan sudah memikirkannya dengan matang. Ia yakin keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik untuk dirinya.Selama tiga hari ke depan, Luna memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik mungkin . Ia larut dalam pekerjaannya, menyelesaikan tumpukan dokumen dan berkas. Saking sibuknya, ia tidak sempat keluar dari ruang kerjanya. Namun, selain karena kesibukkan, ia juga menghindari bertemu dengan Windy dan juga staf lainnya agar tidak menambah masalah.Luna merasa sangat sedih. Selama ini, ia sudah berusaha bersabar menghadapai semua rekan kerjanya yang selalu menggunjingnya, karena hamil tanpa menikah. Setiap kali Luna keluar dari ruangannya, rekan-rekan langsung meliriknya dan saling berbisik menjelekkannya.Gosip murahan tersebar melalui mulut Windy, r
Sinar matahari pagi mulai menembus melalui celah jendela kamar. Wanita berparas cantik itu membuka mata secara perlahan. Menggeliat manja di atas ranjang. Hari ini, ia berencana akan mencari pekerjaan. Setelah matanya terbuka sempurna, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang di sebelahnya. Mengetikkan info lowongan pekerjaan di kolom pencarian. Matanya terus berfokus pada layar ponsel, ibu jarinya sibuk bergerak ke atas dan ke bawah. Berharap menemukan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Luna menyimpan beberapa informasi mengenai lowongan pekerjaan. Juga melamar melalui email ke beberapa perusahaan. Suara pintu kamarnya terbuka. Nikita yang sudah mengenakan seragam sekolah berpamitan pada Luna. "Aku pergi sekarang, ya, Kak!" ucapnya seraya mencium pipi Luna. Ia melirik layar ponsel yang bertuliskan lowongan pekerjaan. "Kakak mau pergi melamar pekerjaan?" tanyanya. Luna menganguk. "Ada tiga lowongan yang menarik perhatianku, Nik." "Oh, ya?" kata Nikita den
Luna keluar dari gedung dengan wajah lesu. Tak mendapatkan hasil, ia pun tak ingin menyerah, mencoba mendatangi perusahaan yang ke tiga. Ia melirik benda bulat yang melingkar di tangannya. "Jam setengah tiga sore," gumamnya. "Sepertinya masih sempat!" Luna kembali melangkahkan kakinya di trotoar yang berdebu menuju perusahaan yang ke tiga. Di tengah perjalanan, ia menunduk dan menghentikan langkah sejenak. Sinar matahari terasa menari-nari di atas kepalanya dan membakar kulit putih mulusnya. Matanya mengernyit seraya menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Ia merogoh tas dan mengambil botol berisi air minum yang dibawanya dari rumah. Luna meneguk cairan bening itu dengan rakus untuk mengusir rasa haus yang menyiksa. Sebenarnya, perutnya terasa lapar. Namun, ia menahannya karena mengejar waktu untuk melamar ke perusahaan ke tiga. "Permisi, Pak. Apakah masih bisa mengajukan lamaran pekerjaan?" tanyanya pada sekuriti yang berjaga. "Maaf, Bu. Penerimaan lamaran kerja sudah kam