Bus yang ditumpangi oleh Luna telah sampai di halte tujuan. Ia turun dari kendaraan besar itu dengan langkah yang berat. Berjalan melewati area komplek yang tampak sunyi. Sesampainya di depan pintu rumah, Luna melepaskan sepatu flat shoesnya dengan gerakan yang lamban dan otomatis. Ia membuka pintu dengan pelan, kemudian masuk ke dalam dengan wajah yang pucat dan tampak lelah. Tanpa berkata sepatah kata pun, Luna menghempaskan tubuhnya di kursi ruang tamu, bersandar, menengadahkan wajah, lalu menutup matanya seolah ingin meredakan kelelahan yang tak hanya bersifat fisik.Di sudut ruangan, Nikita memperhatikan kedatangan kakaknya dengan seksama. Luna, yang biasanya penuh semangat dan senyum, tampak begitu berbeda hari ini. "Mau aku buatkan teh manis, Kak?" tanya Nikita. Luna menghela napas panjang, lalu melirik Nikita sekilas. "Tidak usah, nanti aku bisa membuatnya sendiri." Nikita melangkah mendekati Luna, kemudian duduk di sampingnya. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam sor
Luna menutup pintu ruangan Merry dengan lembut, kemudian menarik napas panjang. Atasannya yang baik namun tegas itu telah memberinya waktu tiga hari untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum Luna mengundurkan diri. Tekad Luna sudah bulat dan sudah memikirkannya dengan matang. Ia yakin keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik untuk dirinya.Selama tiga hari ke depan, Luna memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik mungkin . Ia larut dalam pekerjaannya, menyelesaikan tumpukan dokumen dan berkas. Saking sibuknya, ia tidak sempat keluar dari ruang kerjanya. Namun, selain karena kesibukkan, ia juga menghindari bertemu dengan Windy dan juga staf lainnya agar tidak menambah masalah.Luna merasa sangat sedih. Selama ini, ia sudah berusaha bersabar menghadapai semua rekan kerjanya yang selalu menggunjingnya, karena hamil tanpa menikah. Setiap kali Luna keluar dari ruangannya, rekan-rekan langsung meliriknya dan saling berbisik menjelekkannya.Gosip murahan tersebar melalui mulut Windy, r
Sinar matahari pagi mulai menembus melalui celah jendela kamar. Wanita berparas cantik itu membuka mata secara perlahan. Menggeliat manja di atas ranjang. Hari ini, ia berencana akan mencari pekerjaan. Setelah matanya terbuka sempurna, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang di sebelahnya. Mengetikkan info lowongan pekerjaan di kolom pencarian. Matanya terus berfokus pada layar ponsel, ibu jarinya sibuk bergerak ke atas dan ke bawah. Berharap menemukan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Luna menyimpan beberapa informasi mengenai lowongan pekerjaan. Juga melamar melalui email ke beberapa perusahaan. Suara pintu kamarnya terbuka. Nikita yang sudah mengenakan seragam sekolah berpamitan pada Luna. "Aku pergi sekarang, ya, Kak!" ucapnya seraya mencium pipi Luna. Ia melirik layar ponsel yang bertuliskan lowongan pekerjaan. "Kakak mau pergi melamar pekerjaan?" tanyanya. Luna menganguk. "Ada tiga lowongan yang menarik perhatianku, Nik." "Oh, ya?" kata Nikita den
Luna keluar dari gedung dengan wajah lesu. Tak mendapatkan hasil, ia pun tak ingin menyerah, mencoba mendatangi perusahaan yang ke tiga. Ia melirik benda bulat yang melingkar di tangannya. "Jam setengah tiga sore," gumamnya. "Sepertinya masih sempat!" Luna kembali melangkahkan kakinya di trotoar yang berdebu menuju perusahaan yang ke tiga. Di tengah perjalanan, ia menunduk dan menghentikan langkah sejenak. Sinar matahari terasa menari-nari di atas kepalanya dan membakar kulit putih mulusnya. Matanya mengernyit seraya menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Ia merogoh tas dan mengambil botol berisi air minum yang dibawanya dari rumah. Luna meneguk cairan bening itu dengan rakus untuk mengusir rasa haus yang menyiksa. Sebenarnya, perutnya terasa lapar. Namun, ia menahannya karena mengejar waktu untuk melamar ke perusahaan ke tiga. "Permisi, Pak. Apakah masih bisa mengajukan lamaran pekerjaan?" tanyanya pada sekuriti yang berjaga. "Maaf, Bu. Penerimaan lamaran kerja sudah kam
Amanda menjadi panik seketika. Ia segera mengarahkan tuas lampu sein ke arah kiri. Memotong laju kendaraan, dan berusaha mengarahkan mobilnya ke bahu jalan. Ia sama sekali tidak peduli terhadap kendaraan yang membunyikan klakson dengan kencang di belakangnya. "Kenapa, Manda?" Pekik Rima kaget, karena Amanda menginjak rem secara tiba-tiba, diiringi suara klakson yang terdengar gaduh saling bersahutan."Luna, Mah. Itu Luna!" kata Amanda panik. "Hati-hati, Manda. Jangan sampai kamu menabrak kendaraan di depanmu dan mengakibatkan kecelakaan!" omel Rima. Ibu dari Amanda itu turut memfokuskan pandangannya, menatap kerumunan orang-orang yang ada di sebelahnya. "Apa kamu tidak salah lihat, Manda. Bisa saja itu karena kamu terus memikirkan Luna, makanya kamu mengira siapapun adalah Luna," lanjutnya lagi seraya terus mengintip melalui celah kerumunan.Amanda yang masih berusaha meminggirkan kendaraanya tak menghiraukan perkataan sang ibu. Ia sangat yakin kalau itu adalah Luna. Tak hanya peng
Luna tak dapat berkutik. Ia menutup rapat kedua matanya, sementara telingannya mampu mendengar dengan jelas. Ia benar-benar merasa tidak siap bertemu dengan Amanda apalagi dengan Rayyanza. "Ayo kita bicara di luar!" ajak Amanda, menarik tangan Rayyanza pelan. Sedangkan Rima duduk menunggui Luna di sofa ruangan VVIP."Bagaimana kamu bisa menemukannya, Sayang?!" tanya Rayyanza dengan antusias. "Luna pingsan ditrotoar jalan. Sepertinya dia kelelahan karena mencari pekerjaan. Aku menemukan amplop berisi berkas lamaran pekerjaan di dalam tasnya," terang Amanda dengan suara pelan. Rayyanza mengerutkan dahi. "Jadi, selama ini dia tidak bekerja?" Amanda mengangguk. "Sepertinya begitu. Tapi, aku kaget melihat perubahan tubuhnya. Ternyata, dia hamil. Tapi, siapa yang menghamilinya? Setahuku, dia tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki? Tapi, dokter UGD pun mengatakan jika Luna tengah hamil tujuh bulan," bisiknya lagi. Tak ingin perawat yang berjaga tak jauh dari tempatnya be
Luna terdiam beberapa saat. Wajahnya menunduk. Ia merasa sangat bersalah pada Amanda. "Maaf, Manda. Aku-," kata-katanya terhenti. "Sudah aku bilang tidak masalah, Luna. Sebutkan berapa nomornya? Atau kamu tetap tidak ingin aku mengetahui nomornya?" ketus Amanda. Luna menggeleng cepat. "Eum ... T-tidak, Manda. Kamu boleh menyimpan nomornya," ucapnya, dengan perasaan bersalah. Dilanjutkan dengan mengeja nomor telepon Nikita yang baru. "Hallo ... Nikita!" sapa Amanda setelah terdengar jawaban. "Kak Manda?!" sahut Nikita di seberang sana. "Darimana Kak Manda tahu nomor teleponku?!" Ia merasa keheranan. "Kamu pasti sedang menunggu kakakmu, kan?" tannya Amanda. "Ya. Betul, Kak. Aku sangat khawatir padanya. Sampai jam segini, Kak Luna belum juga tiba di rumah." Amanda melangkah menjauh dari Luna. Ia berjalan ke luar kamar agar Luna tak menguping pembicaraanya. "Manda ... mau kemana kamu?!" cetus Luna, resah. Ia takut Nikita akan ditanyai berbagai macam pertanyaan oleh Amanda. Amanda
"Tidak! Walau bagaimanapun aku harus berkelit, aku harus tetap berbohong, jangan sampai aku menghancurkan rumah tangga Amanda bersama si pria bodoh ini!" Wanita yang mengenakan pakaian khusus pasien itu berdehem pelan. Mencoba berbicara dengan tenang dan meyakinkan. "Apa kamu bilang, ini anakmu?!" Luna mendengus dan tersenyum miring. "Enak saja kamu mengaku ini anakmu. Tentu saja bukan! Ini adalah anak kekasihku yang saat ini bekerja di luar kota!" tegasnya dengan tatapan sinis. Rayyanza merasa kesal mendengar jawaban yang keluar dari mulut Luna. Ia melangkahkan kaki, mendekatkan wajahnya pada Luna, menatap dengan tatapan tajam. "Kamu pikir aku bodoh, Luna! Aku sangat yakin aku lah yang pertama melakukannya, dan jelas-jelas membuangnya di dalam. Aku memang tidak bisa menghamili Amanda karena mungkin ia mempunyai masalah dengan rahimnya. Tapi aku bisa saja menghamilimu!" ujarnya dengan suara setengah berbisik.Pria berparas tampan itu membuang napas kasar. "Lantas apa maksudmu menghi
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka