Amanda menjadi panik seketika. Ia segera mengarahkan tuas lampu sein ke arah kiri. Memotong laju kendaraan, dan berusaha mengarahkan mobilnya ke bahu jalan. Ia sama sekali tidak peduli terhadap kendaraan yang membunyikan klakson dengan kencang di belakangnya. "Kenapa, Manda?" Pekik Rima kaget, karena Amanda menginjak rem secara tiba-tiba, diiringi suara klakson yang terdengar gaduh saling bersahutan."Luna, Mah. Itu Luna!" kata Amanda panik. "Hati-hati, Manda. Jangan sampai kamu menabrak kendaraan di depanmu dan mengakibatkan kecelakaan!" omel Rima. Ibu dari Amanda itu turut memfokuskan pandangannya, menatap kerumunan orang-orang yang ada di sebelahnya. "Apa kamu tidak salah lihat, Manda. Bisa saja itu karena kamu terus memikirkan Luna, makanya kamu mengira siapapun adalah Luna," lanjutnya lagi seraya terus mengintip melalui celah kerumunan.Amanda yang masih berusaha meminggirkan kendaraanya tak menghiraukan perkataan sang ibu. Ia sangat yakin kalau itu adalah Luna. Tak hanya peng
Luna tak dapat berkutik. Ia menutup rapat kedua matanya, sementara telingannya mampu mendengar dengan jelas. Ia benar-benar merasa tidak siap bertemu dengan Amanda apalagi dengan Rayyanza. "Ayo kita bicara di luar!" ajak Amanda, menarik tangan Rayyanza pelan. Sedangkan Rima duduk menunggui Luna di sofa ruangan VVIP."Bagaimana kamu bisa menemukannya, Sayang?!" tanya Rayyanza dengan antusias. "Luna pingsan ditrotoar jalan. Sepertinya dia kelelahan karena mencari pekerjaan. Aku menemukan amplop berisi berkas lamaran pekerjaan di dalam tasnya," terang Amanda dengan suara pelan. Rayyanza mengerutkan dahi. "Jadi, selama ini dia tidak bekerja?" Amanda mengangguk. "Sepertinya begitu. Tapi, aku kaget melihat perubahan tubuhnya. Ternyata, dia hamil. Tapi, siapa yang menghamilinya? Setahuku, dia tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki? Tapi, dokter UGD pun mengatakan jika Luna tengah hamil tujuh bulan," bisiknya lagi. Tak ingin perawat yang berjaga tak jauh dari tempatnya be
Luna terdiam beberapa saat. Wajahnya menunduk. Ia merasa sangat bersalah pada Amanda. "Maaf, Manda. Aku-," kata-katanya terhenti. "Sudah aku bilang tidak masalah, Luna. Sebutkan berapa nomornya? Atau kamu tetap tidak ingin aku mengetahui nomornya?" ketus Amanda. Luna menggeleng cepat. "Eum ... T-tidak, Manda. Kamu boleh menyimpan nomornya," ucapnya, dengan perasaan bersalah. Dilanjutkan dengan mengeja nomor telepon Nikita yang baru. "Hallo ... Nikita!" sapa Amanda setelah terdengar jawaban. "Kak Manda?!" sahut Nikita di seberang sana. "Darimana Kak Manda tahu nomor teleponku?!" Ia merasa keheranan. "Kamu pasti sedang menunggu kakakmu, kan?" tannya Amanda. "Ya. Betul, Kak. Aku sangat khawatir padanya. Sampai jam segini, Kak Luna belum juga tiba di rumah." Amanda melangkah menjauh dari Luna. Ia berjalan ke luar kamar agar Luna tak menguping pembicaraanya. "Manda ... mau kemana kamu?!" cetus Luna, resah. Ia takut Nikita akan ditanyai berbagai macam pertanyaan oleh Amanda. Amanda
"Tidak! Walau bagaimanapun aku harus berkelit, aku harus tetap berbohong, jangan sampai aku menghancurkan rumah tangga Amanda bersama si pria bodoh ini!" Wanita yang mengenakan pakaian khusus pasien itu berdehem pelan. Mencoba berbicara dengan tenang dan meyakinkan. "Apa kamu bilang, ini anakmu?!" Luna mendengus dan tersenyum miring. "Enak saja kamu mengaku ini anakmu. Tentu saja bukan! Ini adalah anak kekasihku yang saat ini bekerja di luar kota!" tegasnya dengan tatapan sinis. Rayyanza merasa kesal mendengar jawaban yang keluar dari mulut Luna. Ia melangkahkan kaki, mendekatkan wajahnya pada Luna, menatap dengan tatapan tajam. "Kamu pikir aku bodoh, Luna! Aku sangat yakin aku lah yang pertama melakukannya, dan jelas-jelas membuangnya di dalam. Aku memang tidak bisa menghamili Amanda karena mungkin ia mempunyai masalah dengan rahimnya. Tapi aku bisa saja menghamilimu!" ujarnya dengan suara setengah berbisik.Pria berparas tampan itu membuang napas kasar. "Lantas apa maksudmu menghi
Di dalam ruangan VVIP rumah sakit, Luna terdiam. Ia melirik Rayyanza sekilas. Ayah biologis dari bayi yang dikandungnya itu sudah terlelap di atas sofa. Luna memasang wajah sendu. "Maafkan aku, Manda. Aku berjanji akan menjelaskannya padamu, tapi tidak sekarang." ucapnya dengan suara pelan.Amanda mengangguk. Tak ingin mencecar Luna dengan pertanyaan yang akan memberatkannya. Ia berpikir, mungkin ini adalah hal yang sulit bagi Luna untuk bisa berterus terang padanya. Keesokan harinya, Luna akan di periksa di ruangan khusus. Yang dimana, ruangan tersebut adalah ruangan pemeriksaan untuk ibu hamil. Ia dipindahkan ke kursi roda dibantu oleh perawat pria dan wanita. Perawat pria mendorongnya, dan perawat wanita memegang tiang infus. Luna tampak resah. Pasalnya, Amanda dan juga Rayyanza akan mengikutinya masuk ke ruang pemeriksaan. Setelah Luna hampir sampai di depan ruang pemeriksaan, tiba-tiba ponsel Amanda berbunyi. "Papa?" gumamnya setelah ia melihat nama pada layar ponselnya. Cepa
Masih di dalam ruangan khusus pemeriksaan kehamilan, Dokter dan Rayyanza spontan menoleh pada Luna secara cepat. Mereka kaget mendengar perkataan yang keluar dari mulut Luna. "Oh ... maaf, Bu. Saya kira Bapak ini adalah suami Anda," ujar sang dokter. "Tapi sepertinya memang benar, bentuk hidungnya mirip dengannya," tambahnya lagi. "Tidak! Dia adalah suami dari sahabat saya, Dok. Bukan dia ayahnya!" ucap Luna dengan gusar. Dokter tersenyum. "Maaf, Bu. Saya tidak tahu," sesal pria itu. "Sudah cukup pemeriksaan USGnya. Secara keseluruhan kondisi Anda dan bayi Anda baik. Siang ini, Anda sudah boleh pulang," terang dokter. Luna mengangguk. Wajahnya masih terlihat kesal. "Baik, Dok. Terima kasih." Dua perawat yang sebelumnya, kembali mendorong Luna yang duduk di atas kursi roda menuju ruang rawat. "Permisi, Bu. Jikaa butuh bantuan, silahkan tekan bell," ucap perawat wanita dengan ramah. "Baik, Sus." Dua perawat itu kemudian meninggalkan ruangan.Rayyanza melangkah mendekati Luna yang
Luna mendelik malas. "Terserah, aku sudah lelah menjelaskannya padamu!" Luna mencoba turun dari ranjang, namun tiba-tiba saja badannya oleng dan hampir jatuh. Rayyanza yang tengah berdiri di dekatnya dengan sigap langsung mengulurkan tangannya, menangkap tubuh Luna. Kini, wanita itu berada dalam dekapan Rayyanza. Ia menatap Rayyanza dengan mata yang terkejut. Rayyanza merasakan perutnya menempel erat dengan janin yang ada di dalam kandungan Luna. Di saat yang bersamaan, tendangan halus dari dalam perut Luna langsung terasa sampai ke perut Rayyanza. Seolah ingin memberitahukan kehidupannya pada sang ayah.Mematung beberapa saat, matanya saling bertemu pandang. Waktu seakan berhenti sejenak. Jarak di antara mereka semakin menyempit. Hembusan napas Luna menerpa wajah Rayyanza yang membuatnya seolah terhanyut. Akhirnya, bibir keduanya saling bersentuhan. Rayyanza mempererat pelukannya dan memainkan indera pengecapnya. Luna masih membelalak. Antara sadar dan tidak, ia merasakan gerakan
"Hallo ... Sayang ... hallo ...," Suara Amanda terdengar dari dalam ponsel. Luna mematung selama beberapa saat. Mencerna kata-kata yang terlontar dari mulut Amanda. "Jangan macam-macam? Bagaimana ini? Aku bukan lagi macam-macam dengannya, melainkan sedang mengandung anaknya," lirihnya dalam hati. Luna hanya diam termangu dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Rayyanza yang melihat Luna mematung langsung menepuk pelan tangannya, menyadarkan dari lamunan. Wanita itu langsung menelan ludah. "Ah, ya, Manda ... i-ini aku!" Luna terkesiap, ia langsung menjawab panggilan Amanda dengan suara terbata. "Bagaimana denganmu, Luna? Apakah dokter sudah mengizinkanmu untuk pulang?" tanyanya. "Eum, su-sudah, Manda," gagap Luna. "Oh, ya, bagaimana keadaan mamamu?" tanya Luna, khawatir."Biarkan Rayyanza yang mengantarmu pulang sampai ke rumahmu. Setelah sampai di sana, suruh dia segera mengirim shareloc padaku, oke?!" titah Amanda. "Mamaku tidak kenapa-napa, Luna. Tadi, ia pingsan, mung