Wanita yang mengenakan kemeja putih longgar itu melangkah kembali menuju meja kerjanya dengan penuh semangat. Seolah ada energi baru yang mengalir di dalam dirinya. Raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang tengah ia rasakan. Sesampainya di sana, ia kembali duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Namun, Windy yang tengah sibuk dengan dokumen di tangannya tiba-tiba melirik ke arah Luna. Ia merasa penasaran mengapa Merry memanggilnya ke ruangannya. Windy meletakkan pena di atas meja lalu mendekatkan tubuhnya pada Luna. "Hei ... ada apa Bu Merry memanggilmu?" bisiknya. "Ssssttt .... Tapi kamu jangan berkata pada siapapun sebelum Bu Merry yang mengumumkannya secara langsung, ya!" Kedua wanita itu berbincang sambil berbisik pelan. Windy mengangguk penuh antusias. "Iya. Memangnya kenapa? Apa katanya?!" "Bu Merry baru saja memberitahukanku bahwa aku dipromosikan menjadi manager di kantor cabang baru," jawab Luna dengan mata yang berbinar-binar. Mendengar perkataan Luna, Windy
Langakah kaki kedua wanita cantik itu terhenti di depan rumah bercat dinding kuning cerah. Rumah yang tampak sederhana namun terlihat kokoh dan nyaman. Tok. Tok. Tok. Luna mengetuk pintu rumah tersebut. Wanita paruh baya membuka pintu kemudian menyambut dengan hangat. "Dengan Luna?" sapanya seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.Luna dan Nikita menyambut uluran tangan Astuti dengan senyum ramah. "Terima kasih, Bu Astuti. Perkenalkan, saya Luna dan ini adik saya, Nikita," jawab Luna sopan. "Silakan masuk, saya akan menunjukkan rumah ini pada kalian."Luna dan Nikita melangkah masuk untuk melihat seisi rumah. Terdapat dua kamar tidur dan satu ruang tamu juga ruang keluarga. Dapurnya terlihat lebih luas dari rumah kontrakan yang sebelumnya. Juga terdapat halaman yang cukup luas. "Rumah ini baru selesai di renovasi. Bagaimana, apakah kalian cocok?" tanya Astuti setelah mereka selesai melihat-lihat.Luna dan Nikita saling berpandangan dan tersenyum. "Bagaimana, apakah kamu men
Luna termangu menatap layar ponsel di genggaman tangannya. Dilema antara menjawab atau mengabaikannya. Namun, di samping kesibukannya berpindah tempat, ia juga takut Amanda tiba-tiba akan mengunjunginya. Ia pun memilih untuk tidak menjawab dan mematikan ponselnya. Luna bergegas mengenakan alas kakinya dan berpamitan pada Ibu Sinta, pemilik rumah kontrakan yang kediamannya terhalang oleh tiga rumah saja. "Permisi, Bu!" seru Luna dari depan pintu. Wanita paruh baya keluar dengan tergesa-gesa. "Ya, Luna," sahut Sinta, matanya menoleh ke arah mobil pickup yang dipenuhi oleh barang-barang perabotan milik Luna. "Kamu pindahan sekarang?" Luna mengangguk lalu mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. "Saya permisi, ya, Bu. Saya mohon maaf apabila selama saya tinggal disini, saya pernah berbuat salah." "Tidak, Luna. Kamu tidak pernah berbuat salah apapun. Saya juga minta maaf, ya, apabila saya ada salah," jawab Sinta. "Kamu pindah kemana, Lun?" tanya Sinta penasaran. Luna menjawab deng
Masih berada di dalam bus yang berjalan pelan. Ingatannya tertuju pada sahabatnya, Amanda. "Maafkan aku, Manda. Aku benar-benar terpaksa melakukannya. Ini semua demi kebaikanmu juga," ucapnya dalam hati dengan mata yang terlihat sendu. Tak butuh waktu lama, hanya lima belas menit saja, kini ia telah sampai di halte bus yang menjadi tujuannya. Luna turun dari bus, melangkah dengan penuh semangat dan keyakinan. Setelah berjalan kaki sejauh seratus meter, ia sampai di depan pintu gerbang kantor barunya. Wanita berparas cantik itu menghela napas panjang, kemudian melangkah masuk ke dalam gedung yang masih harum dengan aroma cat baru dan perabotan kayu.Terlihat kantor yang masih lengang karena para karyawan belum tiba. Dengan perasaan senang bercampur gugup, ia duduk di area lobi. Pandangan matannya menebar ke seluruh bagian ruangan.Tak sampai menunggu lama, Merry tiba dengan menjinjing tas kerjanya. "Luna ... mari kita pergi ke kantor lama untuk membawa semua barang-barangmu dan berp
Luna menoleh pada benda bulat yang tergantung di dinding. Jam menunjukan pukul dua siang. Ia meletakkan bolpoint ditangannya di atas meja. Meraih map berisikan materi meeting. Wanita cantik itu beranjak dari duduknya. Menghela napas untuk menghilangkan rasa gugup. Ia berjalan menuju ruang meeting. Langkahnya terhenti di hadapan pintu yang bertuliskan meeting room. Jantungnya berdegup kian cepat. Ia menarik napas mengumpulkan sedikit keberanian untuk membuka pintu. Beberapa orang telah duduk di kursi jabatannya masing-masing. Deretan staff dibawah kendali Luna pun telah duduk menunggu kehadirannya. Ia berdiri melempar senyum dan menyapa semua yang ada di sana seraya memperkenalkan diri. "Baiklah, Luna," ujar Merry, "Anda bisa mulai mempresentasikan ide Anda."Luna berdiri, dengan suara jelas memulai presentasinya. "Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk saya. Disini, saya ingin membahas strategi keuangan baru yang telah saya kembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan pro
Didalam sebuah ruangan dengan interior minimalis namun mewah, sepasang suami istri tengah duduk di atas sofa. "Luna pergi entah kemana. Aku sudah menghubunginya dari dua hari yang lalu. Tapi dia tidak menjawab panggilanku. Juga tidak membalas pesanku. Bahkan ponselnya sekarang tidak dapat dihubungi. Tadi aku kerumahnya, dan ternyata rumah itu sudah kosong," terang Amanda sembari terisak. Amanda menyeka air mata dengan telapak tangannya. "Aku tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba bersikap seperti itu. Apa salahku padanya? Mengapa dia pergi tanpa memberitahukanku terlebih dahulu. Sebelumnya, dia tidak pernah bersikap seperti ini. Sebelum berpindah kontrakan, dia pasti akan mengabariku terlebih dahulu. Bahkan, ia selalu meminta pendapatku tentang rumah yang akan ia tempati. Tapi, sekarang ia pergi begitu saja, bahkan enggan menerima panggilanku." Wanita itu terus mengutarakan kegundahannya sembari terisak. Hatinya merasa sesak karena kehilangan seorang sahabat terbaiknya. Isi kepalanya
Sejak saat itu, Luna menjalani harinya dengan fokus bekerja. Setiap pagi, ia berangkat dengan semangat yang tak pernah surut. Mengabdikan diri sepenuhnya pada pekerjaan. Di balik kesibukan dan rutinitasnya, ada satu tujuan yang selalu ia pegang erat, yakni menyiapkan masa depan untuk anak yang tengah dikandungnya. Ia juga selalu menyisihkan sebagian besar upahnya untuk menabung. Menyiapkan biaya persalinan yang semakin dekat. Tiga bulan berlalu terasa cepat bagai sekejap mata. Perut Luna kini semakin membesar. Setiap hari, perubahan fisiknya semakin terlihat nyata. Tak ada lagi pakaian yang cukup longgar untuk menyembunyikan kehidupan baru yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Orang-orang di sekitarnya diam-diam mulai memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuh wanita yang diketahui masih berstatus single itu. Tok. Tok. Tok. Suara pintu ruangan kerja Luna diketuk oleh seseorang. "Masuk ...!" seru Luna dari dalam ruangan. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. "Hai ... Lun
Perang dingin antara Luna dan Windy masih berlangsung berhari-hari. Dua wanita yang dulunya dikenal sebagai rekan kerja yang akrab, kini terasa sangat asing. Pagi itu, Luna baru saja tiba di kantor. Para staf yang biasa menyapanya dengan ramah, kini terkesan dingin, bahkan seringkali kedapatan menatap Luna dengan tatapan sinis. "Luna ... saya harap kamu tidak menggabungkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi kamu dengan Windy," tegur Merry yang baru saja masuk ke dalam ruangan Luna. "Maaf, Bu. Saya sudah membuat suasana di kantor ini menjadi tidak nyaman," sesalnya pada Merry. Secara pribadi, Merry tidak merasa terganggu sedikitpun oleh peperangan dingin yang terjadi diantara bawahannya. Namun, semakin hari, semakin terlihat keteganggan di wilayah kerjanya. Terlebih lagi, ketika meeting, kubu Windy sering kali berbeda pendapat dengan Luna dan seolah menyerang Luna. "Kamu belum tau siapa saya, Luna!" gumam Windy, menatap Luna dengan tatapan tajam dan senyum sinis. Dengan amb
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka