Fany
Libur telah tiba. Beratus kali Alex menghubungiku dari kemarin, tapi jawabanku tetap sama.
Aku tidak bisa ikut dengannya ke Paris atau ke tempat manapun.
Sekarang aku duduk di jok sebelah kemudi dalam mobil Adrian, memeriksa tas ransel hitam besar yang kutaruh di antara kami.
Ketika mobil berhenti karena lampu merah, suara decakan Adrian membuatku gusar. Lalu dia berkata dengan suara lambat dan berat.
"Semua sudah disiapkan di sana, buat apa membawa semua itu?"
"Diamlah, kamu bukan wanita, tahu apa?"
Kemarin Adrian mengajakku tamasya. Katanya dengan menggunakan tabungan gaji, dia berhasil menyewa 'surga' untukku. Tentu aku sangat be
FanyAku sering naik jet pribadi, tapi bersama Adrian ini yang pertama. Dia seperti bocah yang girang memperkenalkan sesuatu yang baru pada temannya, merasa paling tahu."Pilot kita namanya Devon, bisa dihubungi pakai telepon ini." Dia duduk berselonjor kaki menggoyang telepon."Oh ya?""Tidak percaya?" Dia menghubungi pilot pakai telepon kabel. "Hello Devon."Terdengar suara pria di telepon. "Ada apa Tuan?" Oh Tuhan Adrian, dia benar-benar seperti bocah."Tidak apa-apa, Nyonya Bened hanya ingin mampir ke minimarket, apa bisa?"Devon terkekeh mendengar bualannya yang menyebalkan."Dia punya tradisi Pak Pilot, tradisi memaksa orang mampir ke minimarket kalau se
FanySemakin dekat, semakin lambat, hingga sosok itu terlihat jelas. Di luar dugaan, bukan menyeramkan, tapi menyebalkan. Tuhan, kenapa engkau memberi Adrian sifat usil.Si tampan memakai kemeja kotak-kotak lengan panjang berhias kain merah yang terikat di kerah seperti dasi scout boy, rompi kulit hitam, celana jeans ketat, juga sepatu koboy. Dia menarik topi koboi turun ke depan.Gayanya seperti koboi asli. Aku suka gayanya, terlebih sekarang dia bersandar daun pintu."G'night lady." Gaya bicaranya seperti orang Texas saja.Aku tersenyum sambil netraku berotasi pada porosnya. "Adrian Bened, apa yang kamu lakukan?""Memberi koboi untukmu.
Adrian Kami berjalan menuju kamar utama. Aku mau ikut masuk ke sana, tapi Fany mendorong dadaku dengan lembut, mencegahku melangkah lebih dalam. "Nah, kamu tidur di kamar lain." "Ayolah, bagaimana jika ada hantu yang mengganggumu?" Dia berjinjit, bagian belakang telapak kaki terangkat supaya bisa mengecup bibirku. "Selamat malam koboiku." Dia menutup pintu dengan lembut dari dalam kamar, hingga nyaris tanpa suara. Aku mendesah keras, melangkah pelan ke kamar sebelah sambil menendang angin. Sial, padahal tadi kesempatan baik untuk membawanya ke surga dunia. Semua karena pakaian koboi konyol itu, semua berantakan. Sepertinya memang
AdrianTuan Dohl Downson memiliki badan besar tak kalah dengan banteng. Ketika menunggang alat rodeo, seperti melihat banteng naik sapi.Ketika musik Ghost Rider in The Sky mulai membahana, mengiringi goyang alat rodeo yang seperti meminta ampun keberatan, badan Tuan Dohl mulai bergoyang seperti kena gempa. Pasti susah menjadi mesin rodeo yang harus membuatnya tetap bergoyang, kalau bisa menjatuhkannyaSemakin lama semakin liar gerak alat itu. Maju mundur, bergerak ke kiri dan kanan mengocok Tuan Dohl.Aku gagal menahan tawa melihat Tuan Dohl seperti koboi sungguhan menunggang banteng, bahkan Fany ngakak sambil menepuk meja.Siapapun pasti tergelituk melihat kaki Tuan Dohl mengangkang ketika permainan rodeo bergerak liar. Tangan kan
AdrianSuara kekeh Tuan Dohl yang sering kudengar dulu tetap sama, memecah ketegangan, membuat dua anaknya memandang bingung.Dia memperkenalkan dua gadis anaknya. "Ini Rose dan Quincy. Perkenalkan, dia Adrian Bened, anak sahabat Ayah."Gadis muda yang kuterka seumuranku adikku Kimberly. Sesuai namanya, dia secantik bunga memang, kurus seperti remaja lain, terlihat mempesona karena memakai kemeja warna olive berkombinasi dengan celana jeans mini. Dia menyalamiku dengan tangannya yang lembut dan ya Tuhan, aku tahu arti pandangannya itu, mungkin terpesona padaku.Sementara bocah kecil menyebalkan bernama Quincy. Sama seperti bola kecil logam bersayap di quidditch Harry Potter, suara desisnya mengusikku. Dia enggan bersalaman, memandang seperti kucing yang terusik.
FanySekarang giliran seorang pemuda tampan naik ke mesin rodeo. Teman-temannya gaduh mendukung sambil menggebrak meja, padahal benda itu belum mulai bergerak. Mereka mirip dengan para anggota team american football kampusku, gagah, berani, kampungan.Aku tak terlalu peduli pada mereka, perlahan mendekati pria bersetelan jas tua hitam yang sibuk menulis sesuatu di atas meja sudut ruang.Sepertinya kehadiranku mengganggu. Dia memandang sejenak lalu kembali menulis. "Jika ingin berkenalan dengan pria di atas mesin, nanti. Tunggu sampai gilirannya selesai, mengerti, Nona?"Kasar juga cara dia menjawab. Mungkin karena aku gadis.Suara dehemanku memaksanya menaruh pulpen ke meja. Bagus, sekarang aku bisa
FanySambil mengunyah kentang goreng aku memperhatikan tingkah Bened bersama gadis muda di sisi lain bar. Dia kira dia hebat?Ya, selama ini aku selalu bersama Alfred dan dirinya. Mungkin karena itu dia mengira aku tidak bisa menggaet lelaki secara acak.Dia salah, aku bisa saja menaklukkan ratusan lelaki. Hanya saja Tuhan selalu menjadi panutanku. Kali ini akan kutunjukkan betapa hebatnya diriku di depanmu, Bened nakal."Nah, minuman telah datang."Teman-teman Clint membantu pelayan menaruh tankard, gelas kayu besar berisi minuman. Dia menaruh tankard spesial ke hadapanku.Bir? Entahlah, tapi bening tanpa ada busa-busa yang menutup di bagian atas. Minuman tanpa rasa.
AdrianAku tertawa ketika Fany menggila di atas mainan rodeo. Andai dia berada di atas badanku, apa juga seperti itu?"Siapa dia?" Rose ikut menikmati gerakan Fany dengan sedikit bernada jengkel. "Kenalanmu?""Tunangan." Aku berbalik memandang Rose yang mengangguk pelan sambil membentuk o dengan bibirnya.Semoga dengan menjawab seperti ini bisa membuat dia menyerah. Namun, dia malah menyeringai nakal, mengintip ke arah Fany."Oh lihat, dia didekati lelaki lain. Apa benar dia tunanganmu?"Aku menoleh mendapati seorang koboi membantunya berdiri, lalu-- "Sialan, berani sekali dia menepuk pantat Fany seperti itu?""Sepertinya 'tunanganmu' direbut orang." Rose suks
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du