Adrian
Tuan Dohl Downson memiliki badan besar tak kalah dengan banteng. Ketika menunggang alat rodeo, seperti melihat banteng naik sapi.
Ketika musik Ghost Rider in The Sky mulai membahana, mengiringi goyang alat rodeo yang seperti meminta ampun keberatan, badan Tuan Dohl mulai bergoyang seperti kena gempa. Pasti susah menjadi mesin rodeo yang harus membuatnya tetap bergoyang, kalau bisa menjatuhkannya
Semakin lama semakin liar gerak alat itu. Maju mundur, bergerak ke kiri dan kanan mengocok Tuan Dohl.
Aku gagal menahan tawa melihat Tuan Dohl seperti koboi sungguhan menunggang banteng, bahkan Fany ngakak sambil menepuk meja.
Siapapun pasti tergelituk melihat kaki Tuan Dohl mengangkang ketika permainan rodeo bergerak liar. Tangan kan
AdrianSuara kekeh Tuan Dohl yang sering kudengar dulu tetap sama, memecah ketegangan, membuat dua anaknya memandang bingung.Dia memperkenalkan dua gadis anaknya. "Ini Rose dan Quincy. Perkenalkan, dia Adrian Bened, anak sahabat Ayah."Gadis muda yang kuterka seumuranku adikku Kimberly. Sesuai namanya, dia secantik bunga memang, kurus seperti remaja lain, terlihat mempesona karena memakai kemeja warna olive berkombinasi dengan celana jeans mini. Dia menyalamiku dengan tangannya yang lembut dan ya Tuhan, aku tahu arti pandangannya itu, mungkin terpesona padaku.Sementara bocah kecil menyebalkan bernama Quincy. Sama seperti bola kecil logam bersayap di quidditch Harry Potter, suara desisnya mengusikku. Dia enggan bersalaman, memandang seperti kucing yang terusik.
FanySekarang giliran seorang pemuda tampan naik ke mesin rodeo. Teman-temannya gaduh mendukung sambil menggebrak meja, padahal benda itu belum mulai bergerak. Mereka mirip dengan para anggota team american football kampusku, gagah, berani, kampungan.Aku tak terlalu peduli pada mereka, perlahan mendekati pria bersetelan jas tua hitam yang sibuk menulis sesuatu di atas meja sudut ruang.Sepertinya kehadiranku mengganggu. Dia memandang sejenak lalu kembali menulis. "Jika ingin berkenalan dengan pria di atas mesin, nanti. Tunggu sampai gilirannya selesai, mengerti, Nona?"Kasar juga cara dia menjawab. Mungkin karena aku gadis.Suara dehemanku memaksanya menaruh pulpen ke meja. Bagus, sekarang aku bisa
FanySambil mengunyah kentang goreng aku memperhatikan tingkah Bened bersama gadis muda di sisi lain bar. Dia kira dia hebat?Ya, selama ini aku selalu bersama Alfred dan dirinya. Mungkin karena itu dia mengira aku tidak bisa menggaet lelaki secara acak.Dia salah, aku bisa saja menaklukkan ratusan lelaki. Hanya saja Tuhan selalu menjadi panutanku. Kali ini akan kutunjukkan betapa hebatnya diriku di depanmu, Bened nakal."Nah, minuman telah datang."Teman-teman Clint membantu pelayan menaruh tankard, gelas kayu besar berisi minuman. Dia menaruh tankard spesial ke hadapanku.Bir? Entahlah, tapi bening tanpa ada busa-busa yang menutup di bagian atas. Minuman tanpa rasa.
AdrianAku tertawa ketika Fany menggila di atas mainan rodeo. Andai dia berada di atas badanku, apa juga seperti itu?"Siapa dia?" Rose ikut menikmati gerakan Fany dengan sedikit bernada jengkel. "Kenalanmu?""Tunangan." Aku berbalik memandang Rose yang mengangguk pelan sambil membentuk o dengan bibirnya.Semoga dengan menjawab seperti ini bisa membuat dia menyerah. Namun, dia malah menyeringai nakal, mengintip ke arah Fany."Oh lihat, dia didekati lelaki lain. Apa benar dia tunanganmu?"Aku menoleh mendapati seorang koboi membantunya berdiri, lalu-- "Sialan, berani sekali dia menepuk pantat Fany seperti itu?""Sepertinya 'tunanganmu' direbut orang." Rose suks
[POV Adrian]-----Aku mau menyalami koboi sial, tapi Fany berulah. Entah apa maunya dengan menarik lenganku turun."Adrian jangan." Dia berbisik, mengancam dengan lirikan tajam. "Sudah cukup, baik, aku salah membiarkannya menyentuhku, tapi aku punya alasan untuk itu. Kumohon jangan ikut--""Baik." Aku menjabat tangan koboi, membuat Fany bertambah gencar mencubit pinggangku.Aku tahu Fany hanya menjadi Fany. Dia hanya khawatir, tapi seharusnya dia paham rasa khawatirku ketika ada tangan menjamahnya. Dia hartaku. Lagipula aku lelaki, sudah tugasku menjaga kehormatannya."Adrian Bened!" Kasar dia mencubit pinggangku. "Apa yang kamu lakukan, hah? Bertarung rodeo melawan koboi? Dia hidup dengan semua
[POV Fany]-----Kami kembali ke mansion. Adrian berusaha menggandengku, tapi … dia menyebalkan.Aku masuk ke kamar, mendorongnya mundur ke luar."Kenapa?" tanyanya, sambil memekarkan tangan ke samping. "Aku hanya ingin menemanimu."Kenapa aku tidak kaget jika dia bersikap seperti ini? "Pertama, tadi di bar kamu menyebalkan. Kedua, kamu pikir kita suami istri ketiga, aku marah!""Oh, marah?" Dia malah cengar-cengir. "Aku kira kalau kamu marah pasti akan diam seribu bahasa."Aku menepuk kening, mengangguk sambil memejam. "Oh iya, terima kasih sudah mengingatkan.""Tunggu, Fan, hei tunggu--"Aku tutup kedua daun pintu di depan wajahnya, mengunci rapat dari dalam. Dia menggedor, memanggil-manggil, masa bodoh."Fan, di sini sepi, banyak hantu!"
[POV Fany]-----Hantu benar-benar membuat semua berantakan. Aku tidak punya rencana berbagi kasur dengan Adrian, tapi keadaan memaksa.Jajaran guling menjadi pemisah kami. 70-30, bagian kasurku lebih luas darinya dan dia tidak protest.Aku melihat kipas putar bersayap empat di langit-langit kamar, bergerak pelan, seperti pikiranku yang bergerak mencari jalan keluar dalam masalah rodeo."Adrian, bagaimana kalau kita pulang saja besok ke California?"Dia membuka mata berbalik badan menghadapku. "Kenapa? Kamu takut tidur di sini?"Aku mengangguk kecil. Salah satu alasanku ya itu, tapi ada alasan lain. Aku berbalik menghadapny
[POV Adrian]-----Aku membuka mata. Jam dinding memberitahu sekarang tepat jam lima pagi. Langit gelap, udara menggigit kulit, suara kokok ayam menyapa dari luar. Suatu hal yang jarang kudengar kala berada di pusat kota.Setelah berjanji merubah diri, aku mulai terbiasa bangun pagi. Bukan suatu yang buruk, kan?Di sebelahku Fany terlentang di atas kasur, mendengkur kecil. Bidadariku sepertinya kelelahan. Tadi malam mungkin dia tidak bisa tidur, lantaran masalah hantu. Kasihan. Sebenarnya aku ingin mengajaknya jogging, tapi ya sudahlah. Biar dia istirahat.Aku menarik bantal yang dia pakai perlahan. Satu saja cukup, untuk apa dia menumpuk dua bantal? Malah membuat napasnya terganggu.Sete
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du