[POV Fany]
-----
Kami kembali ke mansion. Adrian berusaha menggandengku, tapi … dia menyebalkan.
Aku masuk ke kamar, mendorongnya mundur ke luar.
"Kenapa?" tanyanya, sambil memekarkan tangan ke samping. "Aku hanya ingin menemanimu."
Kenapa aku tidak kaget jika dia bersikap seperti ini? "Pertama, tadi di bar kamu menyebalkan. Kedua, kamu pikir kita suami istri ketiga, aku marah!"
"Oh, marah?" Dia malah cengar-cengir. "Aku kira kalau kamu marah pasti akan diam seribu bahasa."
Aku menepuk kening, mengangguk sambil memejam. "Oh iya, terima kasih sudah mengingatkan."
"Tunggu, Fan, hei tunggu--"
Aku tutup kedua daun pintu di depan wajahnya, mengunci rapat dari dalam. Dia menggedor, memanggil-manggil, masa bodoh.
"Fan, di sini sepi, banyak hantu!"
<[POV Fany]-----Hantu benar-benar membuat semua berantakan. Aku tidak punya rencana berbagi kasur dengan Adrian, tapi keadaan memaksa.Jajaran guling menjadi pemisah kami. 70-30, bagian kasurku lebih luas darinya dan dia tidak protest.Aku melihat kipas putar bersayap empat di langit-langit kamar, bergerak pelan, seperti pikiranku yang bergerak mencari jalan keluar dalam masalah rodeo."Adrian, bagaimana kalau kita pulang saja besok ke California?"Dia membuka mata berbalik badan menghadapku. "Kenapa? Kamu takut tidur di sini?"Aku mengangguk kecil. Salah satu alasanku ya itu, tapi ada alasan lain. Aku berbalik menghadapny
[POV Adrian]-----Aku membuka mata. Jam dinding memberitahu sekarang tepat jam lima pagi. Langit gelap, udara menggigit kulit, suara kokok ayam menyapa dari luar. Suatu hal yang jarang kudengar kala berada di pusat kota.Setelah berjanji merubah diri, aku mulai terbiasa bangun pagi. Bukan suatu yang buruk, kan?Di sebelahku Fany terlentang di atas kasur, mendengkur kecil. Bidadariku sepertinya kelelahan. Tadi malam mungkin dia tidak bisa tidur, lantaran masalah hantu. Kasihan. Sebenarnya aku ingin mengajaknya jogging, tapi ya sudahlah. Biar dia istirahat.Aku menarik bantal yang dia pakai perlahan. Satu saja cukup, untuk apa dia menumpuk dua bantal? Malah membuat napasnya terganggu.Sete
[POV Adrian]-----Tanpa basa-basi aku menarik kerah kemeja satu dari kawanan penculik. Ketika dia memandang balik, dua bogemku nelayang menghantam wajah di balik balaclava hitam, membuatnya sempoyongan, hingga jatuh."Timmie!" Seorang dari mereka menolong korbanku. "Kamu tidak apa-apa?" Dia membuka balaclava.Hidung Timmie mimisan dan sepertinya dia pingsan.Aneh, mereka tidak bereaksi kecuali saling pandang, melepas Minerva. Gadis itu bersembunyi di balik lenganku, sementara anjingnya malah mengibas ekor sambil menggonggong, seperti tidak punya insting melindungi nyonyanya.Menurut pengalamanku, preman memiliki insting menolong temannya dengan cara mengeroyok. Ada apa sebenarnya? Bah, d
[POV Adrian]-----Langit mulai membiru. Cuitan burung semakin sering terdengar mengiringi langkah kami.Minerva berhenti melangkah, menghadapku dengan santai."Well, sampai bertemu lagi, Adrian. Senang melihatmu berpegang setia pada pertunangan."Aku membalas lambaian kecil pada Minerva di pertigaan, dia lanjut menempuh jalan arah kanan sementara peternakan Dohl berada di sisi kiri.Sebagian hatiku ingin percaya pada Minerva, tapi dia wanita, selalu mendahulukan hati. Sementara sebagai lelaki aku pernah berada di posisi Clint. Bicara A ketika hati berucap B. Aku yakin koboi biadab itu mengincar Fany, sementara Minerva hanya ban serep. Ketika gagal mendapat ban pertama, dia akan kembali m
[POV Fany]-----Mereka berdiri di depan barn, seperti dua burung merpati bermain di dahan pohon, begitu riang, seakan memiliki dunia sendiri. Aku tidak suka, terlebih salah satu merpati harusnya berada di sampingku, bukan di sana.Lagi pula lihat gadis muda itu, penampilannya seperti gadis murahan, terlalu banyak menunjukkan kulit, apa dia pekerja seks komersial? Astaga, maafkan mulutku Tuhan.Aku mendekati mereka hingga Rose menangkap kehadiranku. Hanya dia, sementara si playboy tak sadar."Jadi tunanganmu menyebalkan, huh?" tanya Rose.Entah apa yang mereka bicarakan tadi, tapi Adrian terkekeh. Berani dia menertawai ucapan Rose tentang diriku?
[POV Fany]-----Rose tidak keseleo. Setelah keluar dari barn dia melangkah seperti tikus curut. Menjijikkan, jadi dia hanya beraksi di depan Adrian. Aku mau tahu, apa pendapat Adrian mendengar hal ini."Fany?" tegur Tuan Dohl ketika satu kakiku baru menapak tangga teras kayu. Dia tersenyum ramah melepas topi koboi. Sepatu boot kulit tinggi kotor oleh lumpur, sepertinya baru datang dari kandang di sisi lain rumah.Dia mempersilahkanku masuk rumah. "Aku tidak tahu kamu datang juga ke sini, Nak. Mencari Adrian, ya?" Dia terkekeh."Tidak, tadi sudah bertemu dengannya di kandang sapi, Paman.""Bagus. Nan
[POV Adrian]-----"Mooo!"Suara itu mengawali tarian neraka yang harus kujalani. Banteng, sapi jantan, iblis bertanduk, terserah mau dipanggil apa, tapi yang jelas dia sangat liar.Dia berputar, meloncat, menendang-nendang ke belakang. Berbeda dengan mesin rodeo, ini rodeo hidup, tak ada pattern yang bisa dihafal. Sebagai makluk hidup dia bergerak semaunya sendiri. Aku berusaha semampuku bertahan di atasnya, tapi hewan ini aku kui, sangat brutal."Ayo Adrian, berusahalah Nak ingat, tunanganmu menjadi taruhan. Jangan lepas!"Namun, peganganku pada tali di leher banteng lepas, dia berhasil melemparku ke samping.Ini ke
[POV Adrian]-----Sekarang badanku segar dan wangi, siap menerima kenyataan apapun yang hendak Paman sampaikan. Sial, dadaku berdebar, debaran yang sama seperti ketika hendak bercumbu untuk pertama kali.Aku membuka pintu, mendapati Quincy tengkurap di tikar menggambar sesuatu di buku gambar.Nyonya Downson menyambut dengan tawanya, dia duduk menemani anaknya. "Wah, kamu nampak berbeda dengan yang tadi.""Tampan, ya Bu!" Quincy terlalu jujur, dia tertawa khas anak kecil yang menggemaskan.Jujur aku suka tipe anak kecil yang penurut. Aku duduk di sebelahnya mengamati dua gambar sapi dan seorang pemain rodeo.Quincy kecil me