Fany
Aku meneguk air dalam gelas ke-tiga sambil duduk di sofa. Kerongkonganku kering.
Aku tahu hidup adalah pilihan, tapi apa selalu hanya ada dua pilihan? Apa jawaban tidak boleh kuciptakan sendiri.
Kalau memang benar perusahaan Ayah dalam masalah, aku harus membantunya. Aku tahu perusahaan itu harta karun ayah yang akan dia jaga dengan segala cara. Jika memang benar kata Alex tadi, berarti semua menjadi jelas. Itu alasan Ayah bersikap baik ketika berhadapan dengan Alex.
Menerima tawaran Alex berarti mengkhianati hati kecilku, cintaku pada Adrian. Entah apa reaksi Adrian kelak ketika mengetahui pengkhianatanku.
Aku merebahkan diri ke sofa, yang empuk, berusaha menenangkan pikiran, tapi tidak bisa.
Adrian Sore di Texas, begitu panas dan berbeda dari California. Di sini sedikit tandus, dan banyak mobil tua berseliweran di jalan yang tak terlalu padat. Bahkan ada polisi berkuda lewat, lengkap dengan topi koboi. "Sherif, apa kabar?" tegur Tuan Zul, sambil mengangkat jari ketika mobil chevrolet yang kami tumpangi melintas di sebelah kuda hitam yang Sherif tunggangi. Dia menarik tepi topi, membalas sapaan. Mobil berbelok ke jalan setapak. "Lihat di sana, itu barn tempat tinggal kuda dan sapi." Dia memandang empat barn besar berjajar di lahan luas rerumputan yang menguning di dalam pagar kayu. "Tugasmu simple Ad
FanyLibur telah tiba. Beratus kali Alex menghubungiku dari kemarin, tapi jawabanku tetap sama.Aku tidak bisa ikut dengannya ke Paris atau ke tempat manapun.Sekarang aku duduk di jok sebelah kemudi dalam mobil Adrian, memeriksa tas ransel hitam besar yang kutaruh di antara kami.Ketika mobil berhenti karena lampu merah, suara decakan Adrian membuatku gusar. Lalu dia berkata dengan suara lambat dan berat."Semua sudah disiapkan di sana, buat apa membawa semua itu?""Diamlah, kamu bukan wanita, tahu apa?"Kemarin Adrian mengajakku tamasya. Katanya dengan menggunakan tabungan gaji, dia berhasil menyewa 'surga' untukku. Tentu aku sangat be
FanyAku sering naik jet pribadi, tapi bersama Adrian ini yang pertama. Dia seperti bocah yang girang memperkenalkan sesuatu yang baru pada temannya, merasa paling tahu."Pilot kita namanya Devon, bisa dihubungi pakai telepon ini." Dia duduk berselonjor kaki menggoyang telepon."Oh ya?""Tidak percaya?" Dia menghubungi pilot pakai telepon kabel. "Hello Devon."Terdengar suara pria di telepon. "Ada apa Tuan?" Oh Tuhan Adrian, dia benar-benar seperti bocah."Tidak apa-apa, Nyonya Bened hanya ingin mampir ke minimarket, apa bisa?"Devon terkekeh mendengar bualannya yang menyebalkan."Dia punya tradisi Pak Pilot, tradisi memaksa orang mampir ke minimarket kalau se
FanySemakin dekat, semakin lambat, hingga sosok itu terlihat jelas. Di luar dugaan, bukan menyeramkan, tapi menyebalkan. Tuhan, kenapa engkau memberi Adrian sifat usil.Si tampan memakai kemeja kotak-kotak lengan panjang berhias kain merah yang terikat di kerah seperti dasi scout boy, rompi kulit hitam, celana jeans ketat, juga sepatu koboy. Dia menarik topi koboi turun ke depan.Gayanya seperti koboi asli. Aku suka gayanya, terlebih sekarang dia bersandar daun pintu."G'night lady." Gaya bicaranya seperti orang Texas saja.Aku tersenyum sambil netraku berotasi pada porosnya. "Adrian Bened, apa yang kamu lakukan?""Memberi koboi untukmu.
Adrian Kami berjalan menuju kamar utama. Aku mau ikut masuk ke sana, tapi Fany mendorong dadaku dengan lembut, mencegahku melangkah lebih dalam. "Nah, kamu tidur di kamar lain." "Ayolah, bagaimana jika ada hantu yang mengganggumu?" Dia berjinjit, bagian belakang telapak kaki terangkat supaya bisa mengecup bibirku. "Selamat malam koboiku." Dia menutup pintu dengan lembut dari dalam kamar, hingga nyaris tanpa suara. Aku mendesah keras, melangkah pelan ke kamar sebelah sambil menendang angin. Sial, padahal tadi kesempatan baik untuk membawanya ke surga dunia. Semua karena pakaian koboi konyol itu, semua berantakan. Sepertinya memang
AdrianTuan Dohl Downson memiliki badan besar tak kalah dengan banteng. Ketika menunggang alat rodeo, seperti melihat banteng naik sapi.Ketika musik Ghost Rider in The Sky mulai membahana, mengiringi goyang alat rodeo yang seperti meminta ampun keberatan, badan Tuan Dohl mulai bergoyang seperti kena gempa. Pasti susah menjadi mesin rodeo yang harus membuatnya tetap bergoyang, kalau bisa menjatuhkannyaSemakin lama semakin liar gerak alat itu. Maju mundur, bergerak ke kiri dan kanan mengocok Tuan Dohl.Aku gagal menahan tawa melihat Tuan Dohl seperti koboi sungguhan menunggang banteng, bahkan Fany ngakak sambil menepuk meja.Siapapun pasti tergelituk melihat kaki Tuan Dohl mengangkang ketika permainan rodeo bergerak liar. Tangan kan
AdrianSuara kekeh Tuan Dohl yang sering kudengar dulu tetap sama, memecah ketegangan, membuat dua anaknya memandang bingung.Dia memperkenalkan dua gadis anaknya. "Ini Rose dan Quincy. Perkenalkan, dia Adrian Bened, anak sahabat Ayah."Gadis muda yang kuterka seumuranku adikku Kimberly. Sesuai namanya, dia secantik bunga memang, kurus seperti remaja lain, terlihat mempesona karena memakai kemeja warna olive berkombinasi dengan celana jeans mini. Dia menyalamiku dengan tangannya yang lembut dan ya Tuhan, aku tahu arti pandangannya itu, mungkin terpesona padaku.Sementara bocah kecil menyebalkan bernama Quincy. Sama seperti bola kecil logam bersayap di quidditch Harry Potter, suara desisnya mengusikku. Dia enggan bersalaman, memandang seperti kucing yang terusik.
FanySekarang giliran seorang pemuda tampan naik ke mesin rodeo. Teman-temannya gaduh mendukung sambil menggebrak meja, padahal benda itu belum mulai bergerak. Mereka mirip dengan para anggota team american football kampusku, gagah, berani, kampungan.Aku tak terlalu peduli pada mereka, perlahan mendekati pria bersetelan jas tua hitam yang sibuk menulis sesuatu di atas meja sudut ruang.Sepertinya kehadiranku mengganggu. Dia memandang sejenak lalu kembali menulis. "Jika ingin berkenalan dengan pria di atas mesin, nanti. Tunggu sampai gilirannya selesai, mengerti, Nona?"Kasar juga cara dia menjawab. Mungkin karena aku gadis.Suara dehemanku memaksanya menaruh pulpen ke meja. Bagus, sekarang aku bisa