Home / Urban / Audacity / 90. Zul dan Ayah

Share

90. Zul dan Ayah

Author: WarmIceBoy
last update Last Updated: 2021-09-29 12:39:10

Adrian

Ini bagai hujan emas di siang bolong.

Semua menjadi semulus sutra, tapi karena terlalu bagus membuatku tidak percaya. Pasti ada udang di balik batu.

Mencurigai Tuan Zul sangat tidak beralasan. Dia pria baik, terlampau baik. Lagi pula dia kenal Ayahnya, sesuatu yang menjadi nilai plus jika dia pria baik. 

Seperti bisa membaca hatiku dia bertanya, "Ada apa Pahlawan? Kamu terlihat murung, apa ada yang salah?"

Aku menggeleng, menuntaskan pekerjaan terakhir di tubuhnya. "Nah, tidak ada. Tuan Zul, bagaimana kondisi peternakan?"

Aku tak tahu apa yang membuatnya terkekeh, yang jelas sekarang dia pergi menuju counter untuk membayar upahku. 

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Audacity   91. Pengakuan Alex

    FanySiluet sosok pria duduk di sofa dalam remang, memangku satu kaki. Bukan Adrian, dia tidak punya jalan masuk ke sini kecuali jika dia bisa terbang dan menembus dinding."Jangan keluar, aku hanya ingin bicara."Ya Tuhan, suaranya begitu dalam. Aku kenal pemilik suara itu, tapi ... "Siapa kamu?"Aku mengambil mug untuk senjata, menyalakan lampu kamar.Benar dugaanku. "Alex? Kenapa kamu bisa masuk kemari? Keluar! Atau aku teriak!"Alex berdiri menghampiriku, menangkap mug yang kupegang. "Tenang, aku tidak ada niat buruk. Yang aku inginkan hanya bicara denganmu sekarang.""Kamu---"Dia

    Last Updated : 2021-09-30
  • Audacity   92. Saran Joshua

    FanyAku meneguk air dalam gelas ke-tiga sambil duduk di sofa. Kerongkonganku kering.Aku tahu hidup adalah pilihan, tapi apa selalu hanya ada dua pilihan? Apa jawaban tidak boleh kuciptakan sendiri.Kalau memang benar perusahaan Ayah dalam masalah, aku harus membantunya. Aku tahu perusahaan itu harta karun ayah yang akan dia jaga dengan segala cara. Jika memang benar kata Alex tadi, berarti semua menjadi jelas. Itu alasan Ayah bersikap baik ketika berhadapan dengan Alex.Menerima tawaran Alex berarti mengkhianati hati kecilku, cintaku pada Adrian. Entah apa reaksi Adrian kelak ketika mengetahui pengkhianatanku.Aku merebahkan diri ke sofa, yang empuk, berusaha menenangkan pikiran, tapi tidak bisa.

    Last Updated : 2021-09-30
  • Audacity   93. Lone Star

    Adrian Sore di Texas, begitu panas dan berbeda dari California. Di sini sedikit tandus, dan banyak mobil tua berseliweran di jalan yang tak terlalu padat. Bahkan ada polisi berkuda lewat, lengkap dengan topi koboi. "Sherif, apa kabar?" tegur Tuan Zul, sambil mengangkat jari ketika mobil chevrolet yang kami tumpangi melintas di sebelah kuda hitam yang Sherif tunggangi. Dia menarik tepi topi, membalas sapaan. Mobil berbelok ke jalan setapak. "Lihat di sana, itu barn tempat tinggal kuda dan sapi." Dia memandang empat barn besar berjajar di lahan luas rerumputan yang menguning di dalam pagar kayu. "Tugasmu simple Ad

    Last Updated : 2021-10-02
  • Audacity   94. Bersama Adrian ke Surga

    FanyLibur telah tiba. Beratus kali Alex menghubungiku dari kemarin, tapi jawabanku tetap sama.Aku tidak bisa ikut dengannya ke Paris atau ke tempat manapun.Sekarang aku duduk di jok sebelah kemudi dalam mobil Adrian, memeriksa tas ransel hitam besar yang kutaruh di antara kami.Ketika mobil berhenti karena lampu merah, suara decakan Adrian membuatku gusar. Lalu dia berkata dengan suara lambat dan berat."Semua sudah disiapkan di sana, buat apa membawa semua itu?""Diamlah, kamu bukan wanita, tahu apa?"Kemarin Adrian mengajakku tamasya. Katanya dengan menggunakan tabungan gaji, dia berhasil menyewa 'surga' untukku. Tentu aku sangat be

    Last Updated : 2021-10-03
  • Audacity   95. Hari Pertama Texas

    FanyAku sering naik jet pribadi, tapi bersama Adrian ini yang pertama. Dia seperti bocah yang girang memperkenalkan sesuatu yang baru pada temannya, merasa paling tahu."Pilot kita namanya Devon, bisa dihubungi pakai telepon ini." Dia duduk berselonjor kaki menggoyang telepon."Oh ya?""Tidak percaya?" Dia menghubungi pilot pakai telepon kabel. "Hello Devon."Terdengar suara pria di telepon. "Ada apa Tuan?" Oh Tuhan Adrian, dia benar-benar seperti bocah."Tidak apa-apa, Nyonya Bened hanya ingin mampir ke minimarket, apa bisa?"Devon terkekeh mendengar bualannya yang menyebalkan."Dia punya tradisi Pak Pilot, tradisi memaksa orang mampir ke minimarket kalau se

    Last Updated : 2021-10-05
  • Audacity   96. Koboi

    FanySemakin dekat, semakin lambat, hingga sosok itu terlihat jelas. Di luar dugaan, bukan menyeramkan, tapi menyebalkan. Tuhan, kenapa engkau memberi Adrian sifat usil.Si tampan memakai kemeja kotak-kotak lengan panjang berhias kain merah yang terikat di kerah seperti dasi scout boy, rompi kulit hitam, celana jeans ketat, juga sepatu koboy. Dia menarik topi koboi turun ke depan.Gayanya seperti koboi asli. Aku suka gayanya, terlebih sekarang dia bersandar daun pintu."G'night lady." Gaya bicaranya seperti orang Texas saja.Aku tersenyum sambil netraku berotasi pada porosnya. "Adrian Bened, apa yang kamu lakukan?""Memberi koboi untukmu.

    Last Updated : 2021-10-05
  • Audacity   97. Demi Senyum Fany

    Adrian Kami berjalan menuju kamar utama. Aku mau ikut masuk ke sana, tapi Fany mendorong dadaku dengan lembut, mencegahku melangkah lebih dalam. "Nah, kamu tidur di kamar lain." "Ayolah, bagaimana jika ada hantu yang mengganggumu?" Dia berjinjit, bagian belakang telapak kaki terangkat supaya bisa mengecup bibirku. "Selamat malam koboiku." Dia menutup pintu dengan lembut dari dalam kamar, hingga nyaris tanpa suara. Aku mendesah keras, melangkah pelan ke kamar sebelah sambil menendang angin. Sial, padahal tadi kesempatan baik untuk membawanya ke surga dunia. Semua karena pakaian koboi konyol itu, semua berantakan. Sepertinya memang

    Last Updated : 2021-10-06
  • Audacity   98. Mesin Rodeo

    AdrianTuan Dohl Downson memiliki badan besar tak kalah dengan banteng. Ketika menunggang alat rodeo, seperti melihat banteng naik sapi.Ketika musik Ghost Rider in The Sky mulai membahana, mengiringi goyang alat rodeo yang seperti meminta ampun keberatan, badan Tuan Dohl mulai bergoyang seperti kena gempa. Pasti susah menjadi mesin rodeo yang harus membuatnya tetap bergoyang, kalau bisa menjatuhkannyaSemakin lama semakin liar gerak alat itu. Maju mundur, bergerak ke kiri dan kanan mengocok Tuan Dohl.Aku gagal menahan tawa melihat Tuan Dohl seperti koboi sungguhan menunggang banteng, bahkan Fany ngakak sambil menepuk meja.Siapapun pasti tergelituk melihat kaki Tuan Dohl mengangkang ketika permainan rodeo bergerak liar. Tangan kan

    Last Updated : 2021-10-09

Latest chapter

  • Audacity   -Epilog-

    [Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb

  • Audacity   157. Akhir Dari Keputusan

    [POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."

  • Audacity   156. Asa

    [POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.

  • Audacity   155. Di Rumah Tuhan

    [POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t

  • Audacity   154. Hukum

    [POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.

  • Audacity   153. Perubahan Adrian

    [POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"

  • Audacity   152. Basilika

    [POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia

  • Audacity   151. Darah Kotor

    [POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja

  • Audacity   150. Don bertemu Don

    [POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du

DMCA.com Protection Status