Adrian
Aku kenal Kakakku semenjak bayi, jika hendak bicara serius dia punya kebiasaan mengajak ke tempat sepi. Yang membuat tanda tanya, kenapa dia menutup rapat pintu balkon?
Sepertinya ini akan menjadi perbincangan serius antar saudara.
Dia berdiri bersandar pagar pembatas seperti balok kayu, mengamati Fany dari balik jendela besar sambil mengguyur kerongkongan dengan bir. Kemejanya terbuka total, tertiup angin hingga berkibar. Dia menawari botol bir, tali aku menolak. Walau ingin, aku punya janji yang harus kujaga.
"Ada apa?" tanyaku.
Setelah selesai minum dia menjawab, "Orang bernama Alex. Dia sangat berbahaya. Dia menembak tiga orang malam ini."
Aku mengangguk. Menyipitkan mata berta
Fany Cahaya hangat matahari menerpa wajahku. Aroma sedap pancake membuatku perlahan membuka mata. Aku terlentang di kasur kamar Alfred sendiri, tanpa ada yang lain. Perlahan aku bangkit mengoreksi pakaian yang menutup badan. Masih sama, masih aman, tidak ada yang jahil kepadaku siapa kira-kira yang membawaku ke ranjang? Aku melangkah ke luar, duduk di sofa tempatku mulai terlelap tadi malam, menghidupkan tv sambil memandang ke dapur. Pakaian tadi malam membalut badan Adrian yang sedang memasak. So sweet, kadang dia bisa diandalkan. Mungkin suara tv membuatnya menoleh menyapa dengan senyumnya. "Sudah bangun Putri Tidur?"
FanySemua sangat melelahkan. Aku benar-benar bolos kuliah karena masalah ini.Dengan memakai mobil Joshua kami pergi ke apartemenku. Josh yang menyupir, sementara aku merebah kepala ke paha Adrian di kursi belakang.Setidaknya dengan elusan-elusan lembut di kepalaku, dia membuatku lebih nyaman. Suaranya pun terdengar lembut, tidak seperti biasa.“Tenang saja, ada aku di dekatmu. Semua akan berlalu dengan baik, jangan sedih, ya.”Aku berbalik badan, menekan wajah ke perut keras Adrian, memeluknya erat. Ya, ada dia yang senantiasa menjagaku, tapi jika terjadi sesuatu ketika dia menjagaku bagaimana? Aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak ingin semua ini berakhir tragedi.Mobil yang kami tumpangi berhenti di bahu jalan depan apartemenku. Adrian turun duluan, membantuku turun dari mobil. Joshua tetap mengikuti kami ketika masuk ke apartemen.Semakin dekat dengan kamar apartemen, semakin ber
FanyAku tidak mau lepas dari Adrian, duduk di sebelahnya sambil memeluk erat lengan pacarku.Seperti korban yang ditolong pahlawan, Ayah memuji-muji Alex. "Kamu benar-benar hebat, lihat, tembakanmu tepat sasaran."Alex mengangguk terkekeh sambil menonton pelukanku pada Adrian. "Yang penting Fany baik-baik saja, itu cukup bagiku."Ayah mengintip jam di dinding sebelum menepuk pahanya. Dia berdiri, membuat Alex dan Ibu ikut berdiri. Mau tidak mau aku dan Adrian turut berdiri."Baiklah, yang penting semua baik-baik saja. Fany, Ayah pamit dulu. Adrian, jaga baik-baik anakku." Dia memelukku dan Adrian bergantian, lalu menjabat tangan Alex sambil meremas lengannya. "Terima kasih untukmu, sampaikan salamku pada Ayahmu."
AdrianDari dulu keinginan Fany adalah mandat yang harus dilaksanakan. Biasanya aku bisa minta tolong Alfred, tapi kali ini tidak, aku ingin mencoba mandiri dengan usaha sendiri.Lagipula kelak ketika menjadi suami, aku tidak bisa bergantung pada saudara.Di tempat kerja aku sedang meng-service badan Tuan Zul. Ini yang kedua kalinya dia datang dalam minggu ini untuk menghapus tato."Jadi semua tato ini harus hilang?" tanyaku."Ya, semua Nak, semua harus lenyap. Kira-kira butuh waktu berapa lama?"Aku mengecek berapa banyak tato di badan gempalnya. "Kira-kira dua sampai tiga kali pertemuan."Ca
AdrianIni bagai hujan emas di siang bolong.Semua menjadi semulus sutra, tapi karena terlalu bagus membuatku tidak percaya. Pasti ada udang di balik batu.Mencurigai Tuan Zul sangat tidak beralasan. Dia pria baik, terlampau baik. Lagi pula dia kenal Ayahnya, sesuatu yang menjadi nilai plus jika dia pria baik.Seperti bisa membaca hatiku dia bertanya, "Ada apa Pahlawan? Kamu terlihat murung, apa ada yang salah?"Aku menggeleng, menuntaskan pekerjaan terakhir di tubuhnya. "Nah, tidak ada. Tuan Zul, bagaimana kondisi peternakan?"Aku tak tahu apa yang membuatnya terkekeh, yang jelas sekarang dia pergi menuju counter untuk membayar upahku.
FanySiluet sosok pria duduk di sofa dalam remang, memangku satu kaki. Bukan Adrian, dia tidak punya jalan masuk ke sini kecuali jika dia bisa terbang dan menembus dinding."Jangan keluar, aku hanya ingin bicara."Ya Tuhan, suaranya begitu dalam. Aku kenal pemilik suara itu, tapi ... "Siapa kamu?"Aku mengambil mug untuk senjata, menyalakan lampu kamar.Benar dugaanku. "Alex? Kenapa kamu bisa masuk kemari? Keluar! Atau aku teriak!"Alex berdiri menghampiriku, menangkap mug yang kupegang. "Tenang, aku tidak ada niat buruk. Yang aku inginkan hanya bicara denganmu sekarang.""Kamu---"Dia
FanyAku meneguk air dalam gelas ke-tiga sambil duduk di sofa. Kerongkonganku kering.Aku tahu hidup adalah pilihan, tapi apa selalu hanya ada dua pilihan? Apa jawaban tidak boleh kuciptakan sendiri.Kalau memang benar perusahaan Ayah dalam masalah, aku harus membantunya. Aku tahu perusahaan itu harta karun ayah yang akan dia jaga dengan segala cara. Jika memang benar kata Alex tadi, berarti semua menjadi jelas. Itu alasan Ayah bersikap baik ketika berhadapan dengan Alex.Menerima tawaran Alex berarti mengkhianati hati kecilku, cintaku pada Adrian. Entah apa reaksi Adrian kelak ketika mengetahui pengkhianatanku.Aku merebahkan diri ke sofa, yang empuk, berusaha menenangkan pikiran, tapi tidak bisa.
Adrian Sore di Texas, begitu panas dan berbeda dari California. Di sini sedikit tandus, dan banyak mobil tua berseliweran di jalan yang tak terlalu padat. Bahkan ada polisi berkuda lewat, lengkap dengan topi koboi. "Sherif, apa kabar?" tegur Tuan Zul, sambil mengangkat jari ketika mobil chevrolet yang kami tumpangi melintas di sebelah kuda hitam yang Sherif tunggangi. Dia menarik tepi topi, membalas sapaan. Mobil berbelok ke jalan setapak. "Lihat di sana, itu barn tempat tinggal kuda dan sapi." Dia memandang empat barn besar berjajar di lahan luas rerumputan yang menguning di dalam pagar kayu. "Tugasmu simple Ad
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du