(Adrian)
Jilatan nikmat pada alat vitalku memakaku melenguh tinggi. Rabaan di perut, kecupan pada dada, mereka memberi semua tanpa kompromi menyerang. Yeah … ini yang kumau, tidak, tiada!
Aku tidak pernah kasar pada wanita, tapi kali ini aku menarik kepala gadis jepang mundur hingga terdengar suara plop.
"Cukup."
Dia tersenyum menggoda, masih memegang benda berurat yang keras. Suaranya sengaja dimaniskan. "Kamu mau yang lain, my stallion?"
Aku menarik celana, menyimpan pedang walau sumpek dalam sana. Segera kuambil kaos yang tergeletak di lantai, melangkah cepat menuju pintu garasi.
"Kamu tidak akan bisa membuka benda itu. Harus pakai … kunci."
(Adrian) Aku memarkir motor di gudang kosong dekat dermaga. Sesuai petunjuk harusnya Fany berada di sini, tapi hanya ada beberapa burung camar liar yang terjaga di atas atap gudang berdinding seng tua, remang ini. Apa mungkin mereka-- Seseorang memukulku dengan benda tumpul dari belakang. Sialan, pengecut. Pandanganku berkunang-kunang lalu semua menjadi gelap. Aku masih mendengar suara obrolan beberapa pria. "Ayo kita habisi sekarang--" "Diam kamu. Kita bukan preman jalanan. Ingat, honour, loyalty, dan courage. Itu motto kita. Sesuai rencana, bawa dia ke sana. Biar aku hadapi secara jantan." Mereka membawaku entah ke mana. Suara teriakan dukungan gegap gempita. Perlahan aku bisa melihat dengan jelas. Sekarang aku
[POV Adrian] ----- Dia membalik badanku, lalu menendang dengan kencang lututku, lanju memukul pria lain yang menyerangnya dari belakang. Apa masalahnya? Aku tidak kenal siapa dia, kenapa berkata seperti tadi. Botak, berjenggot tipis, bertato bagus, siapa dia? Pertarungan Royal Rumble begitu brutal. Mereka bersenjata. Apapun mereka pakai untuk menyerang dan bertahan. Dalam sel-ku tidak ada senjata. Aku keluar protes pada pria Italia berjas. "Kau bohong, tidak ada senjata di sana, keparat!" "Merda, siapa yang berbohong?" Jawabnya dengan tawa menyebalkan. "Dengar, pasti temanmu tidak memberi apapun di sana." Dia bicara dengan temannya, lalu melempar tongkat kasti ke dekatku, tongkat mulus yang se
[POV Fany] ----- Aroma di sini pesing. Dalam ruang remang, lampu gantung bergerak pelan karena embusan angin. Tiada suara lain selain nafasku. Mereka mendudukkanku di kursi kayu. Para maniak itu mengikat badanku ke sandaran kursi, tangan ke lengan kursi, dan kaki di kaki kursi. Aneh, apa mereka tidak jadi melakukan 'hal itu' kepadaku? Ke mana mereka? Ini kesempatanku untuk kabur, tapi bagaimana? Tuhan, tolong aku. Perlahan aku menggerakkan badan, berhasil membuat kursi jatuh ke belakang hingga bagian lengan kursi patah. Beruntung di bagian patahan terdapat paku. Dengan memakai paku di tangan kiri, aku berusaha melepas ikatan di tangan kanan dan berhasil. Sekarang aku melakukan hal yang sama ke dua tali tambang yang mengikat kaki, lalu ke t
(Fany)Pria besar tinggi memandangku tajam. Ya Tuhan, sia-sia usahaku untuk kabur. Sekarang bagaimana? Kakiku gemetar, bibir pun tak kuasa berucap kalimat apapun."Ssh, jangan berisik." Suara pria serak mendalam, suara yang aku kenal.Telunjuknya berdiri di depan mulut. Terdapat sedikit memar di ujung bibir, tapi wajahnya tetap manis. Pelan dia menarikku menjauh menuju balik mobil SUV.Cemas dia meremas lenganku, memandang dari ujung kaki ke ujung rambut. Dia memelukku sambil berucap, "Syukurlah kamu tidak kenapa-napa.""Alex, bagaimana kamu bisa datang kemari?"Dari samping Alfred berdeham, menghampiri kami. "Aku bertemu dengannya di kantor polisi. Kami melaporkan kasus penculikan, tapi mereka bilang tunggu dua
(Adrian) Sialan, dia petarung bagus. Ini pertama kali adrenaline memuncak sampai merendam otak. Ya, dia sangat piawai dalam menendang dan memukul. "Hitungan kesepuluh tidak bangkit, kalah! Satu, dua, tiga, empat …." Suara hitungan? Apa hanya aku saja yang jatuh atau … Aku berusaha bangkit. Pandanganku perlahan membaik, mendapati si jago juga berusaha bangkit. "Tujuh … Delapan …." Aku berhasil bangkit, dia pun demikian, tapi badannya oleng lalu jatuh terkapar. "Yeah! Aku menang!" Kedua tanganku ke atas, aku ambruk bertekuk lutut. Semua penonton berteriak histeris menyambutku. Beberapa melempar uang, juga gelas plastik
(Adrian)Suara Alfred dalam panggilan telepon terdengar keras dan panik, "Ke mana saja kamu, hah? Sekarang di mana?""Tenang, tenang," jawabku. "Aku ada di dermaga bersama teman baru.""Kamu baru datang?" Sahutnya, terdapat jeda setelah pertanyaan. "Ya Tuhan, pergi dari sana, cepat!""Kenapa? Aku menolong Fany sekarang. Kamu tenang saja, akan kubawa Fany pulang dengan selamat.""Dengar, Fany--" Suara aneh terdengar dari telepon. Sekarang suara Alfred berubah menjadi suara Fany."Segera keluar dari sana, aku mohon. Temui kami di apartemen Alfred, sekarang!"Panggilan telepon ditutup sepihak. Dasar wa
Adrian Ini bukan yang pertama kali aku datang ke apartemen Alfred, hanya saja ini pertama kali aku menemui Fany di sana. Mobil yang aku tumpangi berhenti di seberang jalan. Aku menepuk pundak pria Mexican. "Terima kasih, teman." Aku hendak keluar tapi dia menahan. "Dengar amigo, sekali lagi maaf dengan apa yang terjadi. Sebaiknya berhati-hati." "Kamu juga." Aku keluar dari mobil, bergegas menuju ke kamar apartemen Alfred. Siapa sangka aku akan memiliki hubungan baik dengan para brandal busuk itu. Nah, mereka tidak terlalu buruk. Berbeda dengan Alex yang benar-benar iblis murni karena setan, mereka menjadi iblis karena keadaan.
AdrianAku kenal Kakakku semenjak bayi, jika hendak bicara serius dia punya kebiasaan mengajak ke tempat sepi. Yang membuat tanda tanya, kenapa dia menutup rapat pintu balkon?Sepertinya ini akan menjadi perbincangan serius antar saudara.Dia berdiri bersandar pagar pembatas seperti balok kayu, mengamati Fany dari balik jendela besar sambil mengguyur kerongkongan dengan bir. Kemejanya terbuka total, tertiup angin hingga berkibar. Dia menawari botol bir, tali aku menolak. Walau ingin, aku punya janji yang harus kujaga."Ada apa?" tanyaku.Setelah selesai minum dia menjawab, "Orang bernama Alex. Dia sangat berbahaya. Dia menembak tiga orang malam ini."Aku mengangguk. Menyipitkan mata berta