(Fany)
Pria besar tinggi memandangku tajam. Ya Tuhan, sia-sia usahaku untuk kabur. Sekarang bagaimana? Kakiku gemetar, bibir pun tak kuasa berucap kalimat apapun.
"Ssh, jangan berisik." Suara pria serak mendalam, suara yang aku kenal.
Telunjuknya berdiri di depan mulut. Terdapat sedikit memar di ujung bibir, tapi wajahnya tetap manis. Pelan dia menarikku menjauh menuju balik mobil SUV.
Cemas dia meremas lenganku, memandang dari ujung kaki ke ujung rambut. Dia memelukku sambil berucap, "Syukurlah kamu tidak kenapa-napa."
"Alex, bagaimana kamu bisa datang kemari?"
Dari samping Alfred berdeham, menghampiri kami. "Aku bertemu dengannya di kantor polisi. Kami melaporkan kasus penculikan, tapi mereka bilang tunggu dua
(Adrian) Sialan, dia petarung bagus. Ini pertama kali adrenaline memuncak sampai merendam otak. Ya, dia sangat piawai dalam menendang dan memukul. "Hitungan kesepuluh tidak bangkit, kalah! Satu, dua, tiga, empat …." Suara hitungan? Apa hanya aku saja yang jatuh atau … Aku berusaha bangkit. Pandanganku perlahan membaik, mendapati si jago juga berusaha bangkit. "Tujuh … Delapan …." Aku berhasil bangkit, dia pun demikian, tapi badannya oleng lalu jatuh terkapar. "Yeah! Aku menang!" Kedua tanganku ke atas, aku ambruk bertekuk lutut. Semua penonton berteriak histeris menyambutku. Beberapa melempar uang, juga gelas plastik
(Adrian)Suara Alfred dalam panggilan telepon terdengar keras dan panik, "Ke mana saja kamu, hah? Sekarang di mana?""Tenang, tenang," jawabku. "Aku ada di dermaga bersama teman baru.""Kamu baru datang?" Sahutnya, terdapat jeda setelah pertanyaan. "Ya Tuhan, pergi dari sana, cepat!""Kenapa? Aku menolong Fany sekarang. Kamu tenang saja, akan kubawa Fany pulang dengan selamat.""Dengar, Fany--" Suara aneh terdengar dari telepon. Sekarang suara Alfred berubah menjadi suara Fany."Segera keluar dari sana, aku mohon. Temui kami di apartemen Alfred, sekarang!"Panggilan telepon ditutup sepihak. Dasar wa
Adrian Ini bukan yang pertama kali aku datang ke apartemen Alfred, hanya saja ini pertama kali aku menemui Fany di sana. Mobil yang aku tumpangi berhenti di seberang jalan. Aku menepuk pundak pria Mexican. "Terima kasih, teman." Aku hendak keluar tapi dia menahan. "Dengar amigo, sekali lagi maaf dengan apa yang terjadi. Sebaiknya berhati-hati." "Kamu juga." Aku keluar dari mobil, bergegas menuju ke kamar apartemen Alfred. Siapa sangka aku akan memiliki hubungan baik dengan para brandal busuk itu. Nah, mereka tidak terlalu buruk. Berbeda dengan Alex yang benar-benar iblis murni karena setan, mereka menjadi iblis karena keadaan.
AdrianAku kenal Kakakku semenjak bayi, jika hendak bicara serius dia punya kebiasaan mengajak ke tempat sepi. Yang membuat tanda tanya, kenapa dia menutup rapat pintu balkon?Sepertinya ini akan menjadi perbincangan serius antar saudara.Dia berdiri bersandar pagar pembatas seperti balok kayu, mengamati Fany dari balik jendela besar sambil mengguyur kerongkongan dengan bir. Kemejanya terbuka total, tertiup angin hingga berkibar. Dia menawari botol bir, tali aku menolak. Walau ingin, aku punya janji yang harus kujaga."Ada apa?" tanyaku.Setelah selesai minum dia menjawab, "Orang bernama Alex. Dia sangat berbahaya. Dia menembak tiga orang malam ini."Aku mengangguk. Menyipitkan mata berta
Fany Cahaya hangat matahari menerpa wajahku. Aroma sedap pancake membuatku perlahan membuka mata. Aku terlentang di kasur kamar Alfred sendiri, tanpa ada yang lain. Perlahan aku bangkit mengoreksi pakaian yang menutup badan. Masih sama, masih aman, tidak ada yang jahil kepadaku siapa kira-kira yang membawaku ke ranjang? Aku melangkah ke luar, duduk di sofa tempatku mulai terlelap tadi malam, menghidupkan tv sambil memandang ke dapur. Pakaian tadi malam membalut badan Adrian yang sedang memasak. So sweet, kadang dia bisa diandalkan. Mungkin suara tv membuatnya menoleh menyapa dengan senyumnya. "Sudah bangun Putri Tidur?"
FanySemua sangat melelahkan. Aku benar-benar bolos kuliah karena masalah ini.Dengan memakai mobil Joshua kami pergi ke apartemenku. Josh yang menyupir, sementara aku merebah kepala ke paha Adrian di kursi belakang.Setidaknya dengan elusan-elusan lembut di kepalaku, dia membuatku lebih nyaman. Suaranya pun terdengar lembut, tidak seperti biasa.“Tenang saja, ada aku di dekatmu. Semua akan berlalu dengan baik, jangan sedih, ya.”Aku berbalik badan, menekan wajah ke perut keras Adrian, memeluknya erat. Ya, ada dia yang senantiasa menjagaku, tapi jika terjadi sesuatu ketika dia menjagaku bagaimana? Aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak ingin semua ini berakhir tragedi.Mobil yang kami tumpangi berhenti di bahu jalan depan apartemenku. Adrian turun duluan, membantuku turun dari mobil. Joshua tetap mengikuti kami ketika masuk ke apartemen.Semakin dekat dengan kamar apartemen, semakin ber
FanyAku tidak mau lepas dari Adrian, duduk di sebelahnya sambil memeluk erat lengan pacarku.Seperti korban yang ditolong pahlawan, Ayah memuji-muji Alex. "Kamu benar-benar hebat, lihat, tembakanmu tepat sasaran."Alex mengangguk terkekeh sambil menonton pelukanku pada Adrian. "Yang penting Fany baik-baik saja, itu cukup bagiku."Ayah mengintip jam di dinding sebelum menepuk pahanya. Dia berdiri, membuat Alex dan Ibu ikut berdiri. Mau tidak mau aku dan Adrian turut berdiri."Baiklah, yang penting semua baik-baik saja. Fany, Ayah pamit dulu. Adrian, jaga baik-baik anakku." Dia memelukku dan Adrian bergantian, lalu menjabat tangan Alex sambil meremas lengannya. "Terima kasih untukmu, sampaikan salamku pada Ayahmu."
AdrianDari dulu keinginan Fany adalah mandat yang harus dilaksanakan. Biasanya aku bisa minta tolong Alfred, tapi kali ini tidak, aku ingin mencoba mandiri dengan usaha sendiri.Lagipula kelak ketika menjadi suami, aku tidak bisa bergantung pada saudara.Di tempat kerja aku sedang meng-service badan Tuan Zul. Ini yang kedua kalinya dia datang dalam minggu ini untuk menghapus tato."Jadi semua tato ini harus hilang?" tanyaku."Ya, semua Nak, semua harus lenyap. Kira-kira butuh waktu berapa lama?"Aku mengecek berapa banyak tato di badan gempalnya. "Kira-kira dua sampai tiga kali pertemuan."Ca
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du