[POV Fany]
-----
Aroma di sini pesing. Dalam ruang remang, lampu gantung bergerak pelan karena embusan angin. Tiada suara lain selain nafasku.
Mereka mendudukkanku di kursi kayu. Para maniak itu mengikat badanku ke sandaran kursi, tangan ke lengan kursi, dan kaki di kaki kursi. Aneh, apa mereka tidak jadi melakukan 'hal itu' kepadaku? Ke mana mereka?
Ini kesempatanku untuk kabur, tapi bagaimana? Tuhan, tolong aku.
Perlahan aku menggerakkan badan, berhasil membuat kursi jatuh ke belakang hingga bagian lengan kursi patah. Beruntung di bagian patahan terdapat paku.
Dengan memakai paku di tangan kiri, aku berusaha melepas ikatan di tangan kanan dan berhasil. Sekarang aku melakukan hal yang sama ke dua tali tambang yang mengikat kaki, lalu ke t
(Fany)Pria besar tinggi memandangku tajam. Ya Tuhan, sia-sia usahaku untuk kabur. Sekarang bagaimana? Kakiku gemetar, bibir pun tak kuasa berucap kalimat apapun."Ssh, jangan berisik." Suara pria serak mendalam, suara yang aku kenal.Telunjuknya berdiri di depan mulut. Terdapat sedikit memar di ujung bibir, tapi wajahnya tetap manis. Pelan dia menarikku menjauh menuju balik mobil SUV.Cemas dia meremas lenganku, memandang dari ujung kaki ke ujung rambut. Dia memelukku sambil berucap, "Syukurlah kamu tidak kenapa-napa.""Alex, bagaimana kamu bisa datang kemari?"Dari samping Alfred berdeham, menghampiri kami. "Aku bertemu dengannya di kantor polisi. Kami melaporkan kasus penculikan, tapi mereka bilang tunggu dua
(Adrian) Sialan, dia petarung bagus. Ini pertama kali adrenaline memuncak sampai merendam otak. Ya, dia sangat piawai dalam menendang dan memukul. "Hitungan kesepuluh tidak bangkit, kalah! Satu, dua, tiga, empat …." Suara hitungan? Apa hanya aku saja yang jatuh atau … Aku berusaha bangkit. Pandanganku perlahan membaik, mendapati si jago juga berusaha bangkit. "Tujuh … Delapan …." Aku berhasil bangkit, dia pun demikian, tapi badannya oleng lalu jatuh terkapar. "Yeah! Aku menang!" Kedua tanganku ke atas, aku ambruk bertekuk lutut. Semua penonton berteriak histeris menyambutku. Beberapa melempar uang, juga gelas plastik
(Adrian)Suara Alfred dalam panggilan telepon terdengar keras dan panik, "Ke mana saja kamu, hah? Sekarang di mana?""Tenang, tenang," jawabku. "Aku ada di dermaga bersama teman baru.""Kamu baru datang?" Sahutnya, terdapat jeda setelah pertanyaan. "Ya Tuhan, pergi dari sana, cepat!""Kenapa? Aku menolong Fany sekarang. Kamu tenang saja, akan kubawa Fany pulang dengan selamat.""Dengar, Fany--" Suara aneh terdengar dari telepon. Sekarang suara Alfred berubah menjadi suara Fany."Segera keluar dari sana, aku mohon. Temui kami di apartemen Alfred, sekarang!"Panggilan telepon ditutup sepihak. Dasar wa
Adrian Ini bukan yang pertama kali aku datang ke apartemen Alfred, hanya saja ini pertama kali aku menemui Fany di sana. Mobil yang aku tumpangi berhenti di seberang jalan. Aku menepuk pundak pria Mexican. "Terima kasih, teman." Aku hendak keluar tapi dia menahan. "Dengar amigo, sekali lagi maaf dengan apa yang terjadi. Sebaiknya berhati-hati." "Kamu juga." Aku keluar dari mobil, bergegas menuju ke kamar apartemen Alfred. Siapa sangka aku akan memiliki hubungan baik dengan para brandal busuk itu. Nah, mereka tidak terlalu buruk. Berbeda dengan Alex yang benar-benar iblis murni karena setan, mereka menjadi iblis karena keadaan.
AdrianAku kenal Kakakku semenjak bayi, jika hendak bicara serius dia punya kebiasaan mengajak ke tempat sepi. Yang membuat tanda tanya, kenapa dia menutup rapat pintu balkon?Sepertinya ini akan menjadi perbincangan serius antar saudara.Dia berdiri bersandar pagar pembatas seperti balok kayu, mengamati Fany dari balik jendela besar sambil mengguyur kerongkongan dengan bir. Kemejanya terbuka total, tertiup angin hingga berkibar. Dia menawari botol bir, tali aku menolak. Walau ingin, aku punya janji yang harus kujaga."Ada apa?" tanyaku.Setelah selesai minum dia menjawab, "Orang bernama Alex. Dia sangat berbahaya. Dia menembak tiga orang malam ini."Aku mengangguk. Menyipitkan mata berta
Fany Cahaya hangat matahari menerpa wajahku. Aroma sedap pancake membuatku perlahan membuka mata. Aku terlentang di kasur kamar Alfred sendiri, tanpa ada yang lain. Perlahan aku bangkit mengoreksi pakaian yang menutup badan. Masih sama, masih aman, tidak ada yang jahil kepadaku siapa kira-kira yang membawaku ke ranjang? Aku melangkah ke luar, duduk di sofa tempatku mulai terlelap tadi malam, menghidupkan tv sambil memandang ke dapur. Pakaian tadi malam membalut badan Adrian yang sedang memasak. So sweet, kadang dia bisa diandalkan. Mungkin suara tv membuatnya menoleh menyapa dengan senyumnya. "Sudah bangun Putri Tidur?"
FanySemua sangat melelahkan. Aku benar-benar bolos kuliah karena masalah ini.Dengan memakai mobil Joshua kami pergi ke apartemenku. Josh yang menyupir, sementara aku merebah kepala ke paha Adrian di kursi belakang.Setidaknya dengan elusan-elusan lembut di kepalaku, dia membuatku lebih nyaman. Suaranya pun terdengar lembut, tidak seperti biasa.“Tenang saja, ada aku di dekatmu. Semua akan berlalu dengan baik, jangan sedih, ya.”Aku berbalik badan, menekan wajah ke perut keras Adrian, memeluknya erat. Ya, ada dia yang senantiasa menjagaku, tapi jika terjadi sesuatu ketika dia menjagaku bagaimana? Aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak ingin semua ini berakhir tragedi.Mobil yang kami tumpangi berhenti di bahu jalan depan apartemenku. Adrian turun duluan, membantuku turun dari mobil. Joshua tetap mengikuti kami ketika masuk ke apartemen.Semakin dekat dengan kamar apartemen, semakin ber
FanyAku tidak mau lepas dari Adrian, duduk di sebelahnya sambil memeluk erat lengan pacarku.Seperti korban yang ditolong pahlawan, Ayah memuji-muji Alex. "Kamu benar-benar hebat, lihat, tembakanmu tepat sasaran."Alex mengangguk terkekeh sambil menonton pelukanku pada Adrian. "Yang penting Fany baik-baik saja, itu cukup bagiku."Ayah mengintip jam di dinding sebelum menepuk pahanya. Dia berdiri, membuat Alex dan Ibu ikut berdiri. Mau tidak mau aku dan Adrian turut berdiri."Baiklah, yang penting semua baik-baik saja. Fany, Ayah pamit dulu. Adrian, jaga baik-baik anakku." Dia memelukku dan Adrian bergantian, lalu menjabat tangan Alex sambil meremas lengannya. "Terima kasih untukmu, sampaikan salamku pada Ayahmu."