(Fany)
Cahaya di langit mulai remang, di mana matahari nyaris tertelan di barat bumi.
Belum ada kabar dari si bodoh. Ke mana? Ada apa? Ini jarang terjadi. Sekali lagi aku mencoba menelepon, sayang sekali daya baterai HP-ku habis.
Tiba-tiba atap mobil tertutup. Dingin udara sekarang berubah hangat nan nyaman. Terlebih Alex menyalakan AC dalam mode penghangat.
"Bagaimana, mau aku antar pulang atau masih mau menunggu pacarmu di sini?"
"Kembali ke apartemen Adrian," jawabku. "Mobilku ada di sana."
"Sebelum itu, bisa kita beli makan? Perutku menangis minta di isi."
Perutku pun meronta minta makan. Dasar Adrian, awas kamu
(Fany)"Kalian sebaiknya pergi, sebelum aku menendang pantat kalian," ucap Alex memandang berang mereka.Si botak malah tertawa menepuk kepala Alex dari belakang. Entah bicara apa dia, lalu menyiram kopi ke mukanya.Aku tidak bisa diam saja. Alex bukan Adrian, dia terbiasa hidup tinggal suruh orang. Dia terpelajar, bukan preman yang punya fisik baja dan biasa berurusan dengan hewan-hewan seperti mereka."Menjauhlah kalian!" sentakku."Hehehei lihat, si gadis membela si pria!" sahut si Gondrong, memancing tepuk tangan dari teman-temannya.Ini kali pertama aku mendoring mata sampai nyaris jatuh dari kantung mataku dan sepertinya berhasil membuat mereka terdiam memandangku.
(Fany)Seseorang membuka penutup mulutku, lalu mengecup bibirku secara tiba-tiba"Enak sekali kamu manis, aku tidak sabar." Suara itu lalu tertawa."Hentikan, bodoh. Akan lebih nikmat ketika pacarnya melihat," ucap orang di sebelahku. "Lakbannya habis? Bagus, bodoh. Sekarang burung ini bakal berkicau.""Bagus, kan?"Aku memelas pada siapapun yang berada di sekitarku, mungkin mereka masih punya hati nurani?"Tolong, lepaskan aku, kuhomoh. Akan kubayar dan anggap semua ini tidak pernah terjadi."Mereka malah tertawa lepas. Harusnya aku tahu memohon hanya akan membuat mereka melayang puas.
(Adrian)Seorang pria paruh baya bertopi, turun dari dalam mobil derek bersama temannya. Mereka memakai seragam mekanik putih lusuh, kotor seperti wajah mereka. Tercium aroma oli dari badan nereka."Tuan Adrian?" tanya yang lebih muda, bertopi baseball dengan paruh kebelakang."Ya, saya sendiri.""Tuan Alex meminta kami membawa mobil Anda ke bengkel, juga mengundang Anda ke sana untuk memilih mesin.""Baiklah."Mobilku diculik oleh mobil derek. Aku ikut, duduk di kursi depan menuju kediaman Alex. Kami duduk bertiga.Mobil bergerak lambat. Sepertinya akan lama sampai ke tujuan. Ah, sial, terpaksa membolos lagi.
(Adrian)"Waktunya untuk bekerja. Ladies, roll out."Mereka montir-montir cantik begitu menggoda. Setiap gerakan mereka memancung nafsu. Pinggang seksi mereka berlenggak-lenggok seperti minta di tepuk. Tidak, aku tidak boleh tergoda. Aku harus bertahan demi Fany. Janjiku kepadanya adalah segalanya.Mereka mengerumuni mobilku, bermain dengan tang dan alat-alat lain. Gadis Jepang menarik lantai roda dengan kakinya yang indah. Lantai roda berbentuk seperti skateboard tapi luas, beroda empat. Dia terlentang di sana, me dorong lantai itu masuk ke bawah mobilku.Sementara gadis hitam mengambil vacuum cleaner untuk mobil, dia mulai menghisap debu.Gadis Amerika bersangga di pinggir kap mobilku, pinggulnya menantang mundur seperti be
(Adrian) Jilatan nikmat pada alat vitalku memakaku melenguh tinggi. Rabaan di perut, kecupan pada dada, mereka memberi semua tanpa kompromi menyerang. Yeah … ini yang kumau, tidak, tiada! Aku tidak pernah kasar pada wanita, tapi kali ini aku menarik kepala gadis jepang mundur hingga terdengar suara plop. "Cukup." Dia tersenyum menggoda, masih memegang benda berurat yang keras. Suaranya sengaja dimaniskan. "Kamu mau yang lain, my stallion?" Aku menarik celana, menyimpan pedang walau sumpek dalam sana. Segera kuambil kaos yang tergeletak di lantai, melangkah cepat menuju pintu garasi. "Kamu tidak akan bisa membuka benda itu. Harus pakai … kunci."
(Adrian) Aku memarkir motor di gudang kosong dekat dermaga. Sesuai petunjuk harusnya Fany berada di sini, tapi hanya ada beberapa burung camar liar yang terjaga di atas atap gudang berdinding seng tua, remang ini. Apa mungkin mereka-- Seseorang memukulku dengan benda tumpul dari belakang. Sialan, pengecut. Pandanganku berkunang-kunang lalu semua menjadi gelap. Aku masih mendengar suara obrolan beberapa pria. "Ayo kita habisi sekarang--" "Diam kamu. Kita bukan preman jalanan. Ingat, honour, loyalty, dan courage. Itu motto kita. Sesuai rencana, bawa dia ke sana. Biar aku hadapi secara jantan." Mereka membawaku entah ke mana. Suara teriakan dukungan gegap gempita. Perlahan aku bisa melihat dengan jelas. Sekarang aku
[POV Adrian] ----- Dia membalik badanku, lalu menendang dengan kencang lututku, lanju memukul pria lain yang menyerangnya dari belakang. Apa masalahnya? Aku tidak kenal siapa dia, kenapa berkata seperti tadi. Botak, berjenggot tipis, bertato bagus, siapa dia? Pertarungan Royal Rumble begitu brutal. Mereka bersenjata. Apapun mereka pakai untuk menyerang dan bertahan. Dalam sel-ku tidak ada senjata. Aku keluar protes pada pria Italia berjas. "Kau bohong, tidak ada senjata di sana, keparat!" "Merda, siapa yang berbohong?" Jawabnya dengan tawa menyebalkan. "Dengar, pasti temanmu tidak memberi apapun di sana." Dia bicara dengan temannya, lalu melempar tongkat kasti ke dekatku, tongkat mulus yang se
[POV Fany] ----- Aroma di sini pesing. Dalam ruang remang, lampu gantung bergerak pelan karena embusan angin. Tiada suara lain selain nafasku. Mereka mendudukkanku di kursi kayu. Para maniak itu mengikat badanku ke sandaran kursi, tangan ke lengan kursi, dan kaki di kaki kursi. Aneh, apa mereka tidak jadi melakukan 'hal itu' kepadaku? Ke mana mereka? Ini kesempatanku untuk kabur, tapi bagaimana? Tuhan, tolong aku. Perlahan aku menggerakkan badan, berhasil membuat kursi jatuh ke belakang hingga bagian lengan kursi patah. Beruntung di bagian patahan terdapat paku. Dengan memakai paku di tangan kiri, aku berusaha melepas ikatan di tangan kanan dan berhasil. Sekarang aku melakukan hal yang sama ke dua tali tambang yang mengikat kaki, lalu ke t
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du