(Fany)
Seseorang membuka penutup mulutku, lalu mengecup bibirku secara tiba-tiba
"Enak sekali kamu manis, aku tidak sabar." Suara itu lalu tertawa.
"Hentikan, bodoh. Akan lebih nikmat ketika pacarnya melihat," ucap orang di sebelahku. "Lakbannya habis? Bagus, bodoh. Sekarang burung ini bakal berkicau."
"Bagus, kan?"
Aku memelas pada siapapun yang berada di sekitarku, mungkin mereka masih punya hati nurani?
"Tolong, lepaskan aku, kuhomoh. Akan kubayar dan anggap semua ini tidak pernah terjadi."
Mereka malah tertawa lepas. Harusnya aku tahu memohon hanya akan membuat mereka melayang puas.
(Adrian)Seorang pria paruh baya bertopi, turun dari dalam mobil derek bersama temannya. Mereka memakai seragam mekanik putih lusuh, kotor seperti wajah mereka. Tercium aroma oli dari badan nereka."Tuan Adrian?" tanya yang lebih muda, bertopi baseball dengan paruh kebelakang."Ya, saya sendiri.""Tuan Alex meminta kami membawa mobil Anda ke bengkel, juga mengundang Anda ke sana untuk memilih mesin.""Baiklah."Mobilku diculik oleh mobil derek. Aku ikut, duduk di kursi depan menuju kediaman Alex. Kami duduk bertiga.Mobil bergerak lambat. Sepertinya akan lama sampai ke tujuan. Ah, sial, terpaksa membolos lagi.
(Adrian)"Waktunya untuk bekerja. Ladies, roll out."Mereka montir-montir cantik begitu menggoda. Setiap gerakan mereka memancung nafsu. Pinggang seksi mereka berlenggak-lenggok seperti minta di tepuk. Tidak, aku tidak boleh tergoda. Aku harus bertahan demi Fany. Janjiku kepadanya adalah segalanya.Mereka mengerumuni mobilku, bermain dengan tang dan alat-alat lain. Gadis Jepang menarik lantai roda dengan kakinya yang indah. Lantai roda berbentuk seperti skateboard tapi luas, beroda empat. Dia terlentang di sana, me dorong lantai itu masuk ke bawah mobilku.Sementara gadis hitam mengambil vacuum cleaner untuk mobil, dia mulai menghisap debu.Gadis Amerika bersangga di pinggir kap mobilku, pinggulnya menantang mundur seperti be
(Adrian) Jilatan nikmat pada alat vitalku memakaku melenguh tinggi. Rabaan di perut, kecupan pada dada, mereka memberi semua tanpa kompromi menyerang. Yeah … ini yang kumau, tidak, tiada! Aku tidak pernah kasar pada wanita, tapi kali ini aku menarik kepala gadis jepang mundur hingga terdengar suara plop. "Cukup." Dia tersenyum menggoda, masih memegang benda berurat yang keras. Suaranya sengaja dimaniskan. "Kamu mau yang lain, my stallion?" Aku menarik celana, menyimpan pedang walau sumpek dalam sana. Segera kuambil kaos yang tergeletak di lantai, melangkah cepat menuju pintu garasi. "Kamu tidak akan bisa membuka benda itu. Harus pakai … kunci."
(Adrian) Aku memarkir motor di gudang kosong dekat dermaga. Sesuai petunjuk harusnya Fany berada di sini, tapi hanya ada beberapa burung camar liar yang terjaga di atas atap gudang berdinding seng tua, remang ini. Apa mungkin mereka-- Seseorang memukulku dengan benda tumpul dari belakang. Sialan, pengecut. Pandanganku berkunang-kunang lalu semua menjadi gelap. Aku masih mendengar suara obrolan beberapa pria. "Ayo kita habisi sekarang--" "Diam kamu. Kita bukan preman jalanan. Ingat, honour, loyalty, dan courage. Itu motto kita. Sesuai rencana, bawa dia ke sana. Biar aku hadapi secara jantan." Mereka membawaku entah ke mana. Suara teriakan dukungan gegap gempita. Perlahan aku bisa melihat dengan jelas. Sekarang aku
[POV Adrian] ----- Dia membalik badanku, lalu menendang dengan kencang lututku, lanju memukul pria lain yang menyerangnya dari belakang. Apa masalahnya? Aku tidak kenal siapa dia, kenapa berkata seperti tadi. Botak, berjenggot tipis, bertato bagus, siapa dia? Pertarungan Royal Rumble begitu brutal. Mereka bersenjata. Apapun mereka pakai untuk menyerang dan bertahan. Dalam sel-ku tidak ada senjata. Aku keluar protes pada pria Italia berjas. "Kau bohong, tidak ada senjata di sana, keparat!" "Merda, siapa yang berbohong?" Jawabnya dengan tawa menyebalkan. "Dengar, pasti temanmu tidak memberi apapun di sana." Dia bicara dengan temannya, lalu melempar tongkat kasti ke dekatku, tongkat mulus yang se
[POV Fany] ----- Aroma di sini pesing. Dalam ruang remang, lampu gantung bergerak pelan karena embusan angin. Tiada suara lain selain nafasku. Mereka mendudukkanku di kursi kayu. Para maniak itu mengikat badanku ke sandaran kursi, tangan ke lengan kursi, dan kaki di kaki kursi. Aneh, apa mereka tidak jadi melakukan 'hal itu' kepadaku? Ke mana mereka? Ini kesempatanku untuk kabur, tapi bagaimana? Tuhan, tolong aku. Perlahan aku menggerakkan badan, berhasil membuat kursi jatuh ke belakang hingga bagian lengan kursi patah. Beruntung di bagian patahan terdapat paku. Dengan memakai paku di tangan kiri, aku berusaha melepas ikatan di tangan kanan dan berhasil. Sekarang aku melakukan hal yang sama ke dua tali tambang yang mengikat kaki, lalu ke t
(Fany)Pria besar tinggi memandangku tajam. Ya Tuhan, sia-sia usahaku untuk kabur. Sekarang bagaimana? Kakiku gemetar, bibir pun tak kuasa berucap kalimat apapun."Ssh, jangan berisik." Suara pria serak mendalam, suara yang aku kenal.Telunjuknya berdiri di depan mulut. Terdapat sedikit memar di ujung bibir, tapi wajahnya tetap manis. Pelan dia menarikku menjauh menuju balik mobil SUV.Cemas dia meremas lenganku, memandang dari ujung kaki ke ujung rambut. Dia memelukku sambil berucap, "Syukurlah kamu tidak kenapa-napa.""Alex, bagaimana kamu bisa datang kemari?"Dari samping Alfred berdeham, menghampiri kami. "Aku bertemu dengannya di kantor polisi. Kami melaporkan kasus penculikan, tapi mereka bilang tunggu dua
(Adrian) Sialan, dia petarung bagus. Ini pertama kali adrenaline memuncak sampai merendam otak. Ya, dia sangat piawai dalam menendang dan memukul. "Hitungan kesepuluh tidak bangkit, kalah! Satu, dua, tiga, empat …." Suara hitungan? Apa hanya aku saja yang jatuh atau … Aku berusaha bangkit. Pandanganku perlahan membaik, mendapati si jago juga berusaha bangkit. "Tujuh … Delapan …." Aku berhasil bangkit, dia pun demikian, tapi badannya oleng lalu jatuh terkapar. "Yeah! Aku menang!" Kedua tanganku ke atas, aku ambruk bertekuk lutut. Semua penonton berteriak histeris menyambutku. Beberapa melempar uang, juga gelas plastik