Home / Urban / Audacity / 66. Menuju Kebenaran

Share

66. Menuju Kebenaran

Author: WarmIceBoy
last update Last Updated: 2021-08-29 20:14:03

(Adrian)

Aku jarang makan di restoran. Sarangku Pub, bar, bukan restoran Italia. Sea yang mengajakku kemari. 

Sembari mengirim alamat restoran pada Carl, aku tak bisa beralih dari Sea yang duduk di depanku. Aku tidak bisa bohong, dia sangat menawan dan seksi memakai tanktop hitam ketat dan celana jeans panjang. 

Tato di badannya, tato bunga di dua lengan dan sepertinya menyambung menjadi satu. Aku yakin itu, sayang pakaiannya menutup semua tato di dada.

Tempat ini tidak buruk. Suara tv tabung di dinding memberi hiburan, angin sepoi dari kipas di langit-langit lebih terasa hangat dari udara di luar sana. Meja berjajar memanjang di sebelah kaca, kaca dengan tulisan Moreli. 

"Kamu suka tempat ini?" tanya Sea, semb

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Audacity   67. Bertemu Downson

    [POV Adrian] ----- Malam semakin pekat tapi jalanan kota tetap ramai oleh kendaraan. Kami tak ingin menunda. Hari ini harus bertemu dengan Tuan Downson. Alfred masih berjas hitam mengemudi mobil miliknya. Pulang kerja dia langsung menjemputku di apartemen. Untuk menghemat bensin, aku menumpang ke mobilnya. Dia menoleh sejenak kepadaku. "Apa kamu yakin dengan info ini?" Aku mengangguk. Supaya dia tidak banyak tanya, aku ceritakan saja apa yang terjadi. "Kamu menolong gadis?" tanyanya lalu terkekeh, sesekali memandangku tak percaya. "Dia pasti cantik. Biar aku tebak, kamu menidurinya?" "Normalnya iya, tapi … nah,

    Last Updated : 2021-08-30
  • Audacity   68. Pencarian Downson

    [POV Adrian] ----- Aku dan Alfred duduk di sofa ruang tengah, sementara Nyonya Downson pergi ke dapur. Hangat di dalam rumah membuat kami nyaman. Remang lampu menerangi ruang tengah yang lumayan berantakan. Mainan bocah di lantai berserakan, juga ada home system game. Sepertinya ada anak-anak di rumah ini. "Aroma kue," bisik Alfred, hidungnya mengendus-endus. "Kamu ingat dulu ketika main ke rumah Tuan Downson yang lama, Nenek sering membuat kue kering?" Aku mengangguk, dulu Fany dan Alfred mencintai kue ini. Sementara aku lebih suka mengagumi pistol Tuan Downson, dia koleksi berbagai macam senjata, sekarang entah di mana. Nenek datang, menemui kami. "Nah ini kue kesukaan

    Last Updated : 2021-08-31
  • Audacity   69. Sebuah Pilihan

    [POV Adrian] ----- Pagi ini aku duduk di sofa dalam ruang tunggu apartemen, menunggu Fany datang menjemput seperti biasa. Kejadian tadi malam membuatku kecewa. Kecewa … suatu kalimat yang jarang terlintas dalam benakku. Karena setelah kematian Ayah, aku tidak banyak berharap dari dunia ini. Sekarang … entah kenapa aku ingin menggigit sesuatu. Seseorang menginjak sepatuku, lalu duduk di sofa sebelah. Ternyata dia. "Ada apa dengan wajah melipat itu? Apa susah bangun pagi hingga memasang raut menyebalkan macam itu?" tanya Fany, senyum nakal menghias wajah. Aku menggeleng. "Bangun pagi membuatku sehat." &n

    Last Updated : 2021-09-01
  • Audacity   70. Gara-Gara Mobil.

    [POV Fany] ----- Dua pria berbisik-bisik seakan kenal lama. Apa salahnya bicara dengan keras? Untuk mobil, berkali-kali kunasehati, rawat benda antik ini, tapi Adrian sibuk dengan bir, wanita, rokok. Andai uang rokok ditabung, dia bisa membeli mobil yang lebih bagus. Dia mengumpat berkali-kali. Jangan bilang benda terkutuk ini mengkhianatinya. Oh Tuhan, beri aku kesabaran. Adrian menghampiri, membungkuk di sebelah pintu mobil. "Fany, keluar bawa tasmu." "kenapa?" "Aku yang punya mobil, menurut saja lah."

    Last Updated : 2021-09-02
  • Audacity   71. Menunggu

    [POV Fany] ----- Aku memberi kesempatannya bicara. Lima belas menit cukup. "Bicaralah." Telingaku mendengar, wajah fokus ke depan. Mobilnya melambat. Bagus, bicara sambil mengemudi mobil memang bahaya. Alex berkata, "Aku anak haram, sebekum ini tinggal di panti asuhan. Hanya karena anak-anak Ayah wafat, serta Ibu kandungku tiada, barulah aku berkesempatan masuk ke keluarga ini. Aku menyayangi Ayah, tapi ibu tiriku … dia … bagaimana ya menjelaskannya--" "Dia monster jahat yang hanya menganggapmu sebagai pion?" Alex mengangguk pelan. "B

    Last Updated : 2021-09-03
  • Audacity   72. Alex

    (Fany) Cahaya di langit mulai remang, di mana matahari nyaris tertelan di barat bumi. Belum ada kabar dari si bodoh. Ke mana? Ada apa? Ini jarang terjadi. Sekali lagi aku mencoba menelepon, sayang sekali daya baterai HP-ku habis. Tiba-tiba atap mobil tertutup. Dingin udara sekarang berubah hangat nan nyaman. Terlebih Alex menyalakan AC dalam mode penghangat. "Bagaimana, mau aku antar pulang atau masih mau menunggu pacarmu di sini?" "Kembali ke apartemen Adrian," jawabku. "Mobilku ada di sana." "Sebelum itu, bisa kita beli makan? Perutku menangis minta di isi." Perutku pun meronta minta makan. Dasar Adrian, awas kamu

    Last Updated : 2021-09-04
  • Audacity   73. Perubahan Rencana

    (Fany)"Kalian sebaiknya pergi, sebelum aku menendang pantat kalian," ucap Alex memandang berang mereka.Si botak malah tertawa menepuk kepala Alex dari belakang. Entah bicara apa dia, lalu menyiram kopi ke mukanya.Aku tidak bisa diam saja. Alex bukan Adrian, dia terbiasa hidup tinggal suruh orang. Dia terpelajar, bukan preman yang punya fisik baja dan biasa berurusan dengan hewan-hewan seperti mereka."Menjauhlah kalian!" sentakku."Hehehei lihat, si gadis membela si pria!" sahut si Gondrong, memancing tepuk tangan dari teman-temannya.Ini kali pertama aku mendoring mata sampai nyaris jatuh dari kantung mataku dan sepertinya berhasil membuat mereka terdiam memandangku.

    Last Updated : 2021-09-05
  • Audacity   74. Sial Karena Adrian

    (Fany)Seseorang membuka penutup mulutku, lalu mengecup bibirku secara tiba-tiba"Enak sekali kamu manis, aku tidak sabar." Suara itu lalu tertawa."Hentikan, bodoh. Akan lebih nikmat ketika pacarnya melihat," ucap orang di sebelahku. "Lakbannya habis? Bagus, bodoh. Sekarang burung ini bakal berkicau.""Bagus, kan?"Aku memelas pada siapapun yang berada di sekitarku, mungkin mereka masih punya hati nurani?"Tolong, lepaskan aku, kuhomoh. Akan kubayar dan anggap semua ini tidak pernah terjadi."Mereka malah tertawa lepas. Harusnya aku tahu memohon hanya akan membuat mereka melayang puas.

    Last Updated : 2021-09-06

Latest chapter

  • Audacity   -Epilog-

    [Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb

  • Audacity   157. Akhir Dari Keputusan

    [POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."

  • Audacity   156. Asa

    [POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.

  • Audacity   155. Di Rumah Tuhan

    [POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t

  • Audacity   154. Hukum

    [POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.

  • Audacity   153. Perubahan Adrian

    [POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"

  • Audacity   152. Basilika

    [POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia

  • Audacity   151. Darah Kotor

    [POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja

  • Audacity   150. Don bertemu Don

    [POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du

DMCA.com Protection Status