[POV Fany]
-----
Dua pria berbisik-bisik seakan kenal lama. Apa salahnya bicara dengan keras?
Untuk mobil, berkali-kali kunasehati, rawat benda antik ini, tapi Adrian sibuk dengan bir, wanita, rokok. Andai uang rokok ditabung, dia bisa membeli mobil yang lebih bagus.
Dia mengumpat berkali-kali. Jangan bilang benda terkutuk ini mengkhianatinya. Oh Tuhan, beri aku kesabaran.
Adrian menghampiri, membungkuk di sebelah pintu mobil. "Fany, keluar bawa tasmu."
"kenapa?"
"Aku yang punya mobil, menurut saja lah."
[POV Fany] ----- Aku memberi kesempatannya bicara. Lima belas menit cukup. "Bicaralah." Telingaku mendengar, wajah fokus ke depan. Mobilnya melambat. Bagus, bicara sambil mengemudi mobil memang bahaya. Alex berkata, "Aku anak haram, sebekum ini tinggal di panti asuhan. Hanya karena anak-anak Ayah wafat, serta Ibu kandungku tiada, barulah aku berkesempatan masuk ke keluarga ini. Aku menyayangi Ayah, tapi ibu tiriku … dia … bagaimana ya menjelaskannya--" "Dia monster jahat yang hanya menganggapmu sebagai pion?" Alex mengangguk pelan. "B
(Fany) Cahaya di langit mulai remang, di mana matahari nyaris tertelan di barat bumi. Belum ada kabar dari si bodoh. Ke mana? Ada apa? Ini jarang terjadi. Sekali lagi aku mencoba menelepon, sayang sekali daya baterai HP-ku habis. Tiba-tiba atap mobil tertutup. Dingin udara sekarang berubah hangat nan nyaman. Terlebih Alex menyalakan AC dalam mode penghangat. "Bagaimana, mau aku antar pulang atau masih mau menunggu pacarmu di sini?" "Kembali ke apartemen Adrian," jawabku. "Mobilku ada di sana." "Sebelum itu, bisa kita beli makan? Perutku menangis minta di isi." Perutku pun meronta minta makan. Dasar Adrian, awas kamu
(Fany)"Kalian sebaiknya pergi, sebelum aku menendang pantat kalian," ucap Alex memandang berang mereka.Si botak malah tertawa menepuk kepala Alex dari belakang. Entah bicara apa dia, lalu menyiram kopi ke mukanya.Aku tidak bisa diam saja. Alex bukan Adrian, dia terbiasa hidup tinggal suruh orang. Dia terpelajar, bukan preman yang punya fisik baja dan biasa berurusan dengan hewan-hewan seperti mereka."Menjauhlah kalian!" sentakku."Hehehei lihat, si gadis membela si pria!" sahut si Gondrong, memancing tepuk tangan dari teman-temannya.Ini kali pertama aku mendoring mata sampai nyaris jatuh dari kantung mataku dan sepertinya berhasil membuat mereka terdiam memandangku.
(Fany)Seseorang membuka penutup mulutku, lalu mengecup bibirku secara tiba-tiba"Enak sekali kamu manis, aku tidak sabar." Suara itu lalu tertawa."Hentikan, bodoh. Akan lebih nikmat ketika pacarnya melihat," ucap orang di sebelahku. "Lakbannya habis? Bagus, bodoh. Sekarang burung ini bakal berkicau.""Bagus, kan?"Aku memelas pada siapapun yang berada di sekitarku, mungkin mereka masih punya hati nurani?"Tolong, lepaskan aku, kuhomoh. Akan kubayar dan anggap semua ini tidak pernah terjadi."Mereka malah tertawa lepas. Harusnya aku tahu memohon hanya akan membuat mereka melayang puas.
(Adrian)Seorang pria paruh baya bertopi, turun dari dalam mobil derek bersama temannya. Mereka memakai seragam mekanik putih lusuh, kotor seperti wajah mereka. Tercium aroma oli dari badan nereka."Tuan Adrian?" tanya yang lebih muda, bertopi baseball dengan paruh kebelakang."Ya, saya sendiri.""Tuan Alex meminta kami membawa mobil Anda ke bengkel, juga mengundang Anda ke sana untuk memilih mesin.""Baiklah."Mobilku diculik oleh mobil derek. Aku ikut, duduk di kursi depan menuju kediaman Alex. Kami duduk bertiga.Mobil bergerak lambat. Sepertinya akan lama sampai ke tujuan. Ah, sial, terpaksa membolos lagi.
(Adrian)"Waktunya untuk bekerja. Ladies, roll out."Mereka montir-montir cantik begitu menggoda. Setiap gerakan mereka memancung nafsu. Pinggang seksi mereka berlenggak-lenggok seperti minta di tepuk. Tidak, aku tidak boleh tergoda. Aku harus bertahan demi Fany. Janjiku kepadanya adalah segalanya.Mereka mengerumuni mobilku, bermain dengan tang dan alat-alat lain. Gadis Jepang menarik lantai roda dengan kakinya yang indah. Lantai roda berbentuk seperti skateboard tapi luas, beroda empat. Dia terlentang di sana, me dorong lantai itu masuk ke bawah mobilku.Sementara gadis hitam mengambil vacuum cleaner untuk mobil, dia mulai menghisap debu.Gadis Amerika bersangga di pinggir kap mobilku, pinggulnya menantang mundur seperti be
(Adrian) Jilatan nikmat pada alat vitalku memakaku melenguh tinggi. Rabaan di perut, kecupan pada dada, mereka memberi semua tanpa kompromi menyerang. Yeah … ini yang kumau, tidak, tiada! Aku tidak pernah kasar pada wanita, tapi kali ini aku menarik kepala gadis jepang mundur hingga terdengar suara plop. "Cukup." Dia tersenyum menggoda, masih memegang benda berurat yang keras. Suaranya sengaja dimaniskan. "Kamu mau yang lain, my stallion?" Aku menarik celana, menyimpan pedang walau sumpek dalam sana. Segera kuambil kaos yang tergeletak di lantai, melangkah cepat menuju pintu garasi. "Kamu tidak akan bisa membuka benda itu. Harus pakai … kunci."
(Adrian) Aku memarkir motor di gudang kosong dekat dermaga. Sesuai petunjuk harusnya Fany berada di sini, tapi hanya ada beberapa burung camar liar yang terjaga di atas atap gudang berdinding seng tua, remang ini. Apa mungkin mereka-- Seseorang memukulku dengan benda tumpul dari belakang. Sialan, pengecut. Pandanganku berkunang-kunang lalu semua menjadi gelap. Aku masih mendengar suara obrolan beberapa pria. "Ayo kita habisi sekarang--" "Diam kamu. Kita bukan preman jalanan. Ingat, honour, loyalty, dan courage. Itu motto kita. Sesuai rencana, bawa dia ke sana. Biar aku hadapi secara jantan." Mereka membawaku entah ke mana. Suara teriakan dukungan gegap gempita. Perlahan aku bisa melihat dengan jelas. Sekarang aku