[POV Adrian]
-----
Aku dan Alfred duduk di sofa ruang tengah, sementara Nyonya Downson pergi ke dapur.
Hangat di dalam rumah membuat kami nyaman. Remang lampu menerangi ruang tengah yang lumayan berantakan. Mainan bocah di lantai berserakan, juga ada home system game. Sepertinya ada anak-anak di rumah ini.
"Aroma kue," bisik Alfred, hidungnya mengendus-endus. "Kamu ingat dulu ketika main ke rumah Tuan Downson yang lama, Nenek sering membuat kue kering?"
Aku mengangguk, dulu Fany dan Alfred mencintai kue ini. Sementara aku lebih suka mengagumi pistol Tuan Downson, dia koleksi berbagai macam senjata, sekarang entah di mana.
Nenek datang, menemui kami. "Nah ini kue kesukaan
[POV Adrian] ----- Pagi ini aku duduk di sofa dalam ruang tunggu apartemen, menunggu Fany datang menjemput seperti biasa. Kejadian tadi malam membuatku kecewa. Kecewa … suatu kalimat yang jarang terlintas dalam benakku. Karena setelah kematian Ayah, aku tidak banyak berharap dari dunia ini. Sekarang … entah kenapa aku ingin menggigit sesuatu. Seseorang menginjak sepatuku, lalu duduk di sofa sebelah. Ternyata dia. "Ada apa dengan wajah melipat itu? Apa susah bangun pagi hingga memasang raut menyebalkan macam itu?" tanya Fany, senyum nakal menghias wajah. Aku menggeleng. "Bangun pagi membuatku sehat." &n
[POV Fany] ----- Dua pria berbisik-bisik seakan kenal lama. Apa salahnya bicara dengan keras? Untuk mobil, berkali-kali kunasehati, rawat benda antik ini, tapi Adrian sibuk dengan bir, wanita, rokok. Andai uang rokok ditabung, dia bisa membeli mobil yang lebih bagus. Dia mengumpat berkali-kali. Jangan bilang benda terkutuk ini mengkhianatinya. Oh Tuhan, beri aku kesabaran. Adrian menghampiri, membungkuk di sebelah pintu mobil. "Fany, keluar bawa tasmu." "kenapa?" "Aku yang punya mobil, menurut saja lah."
[POV Fany] ----- Aku memberi kesempatannya bicara. Lima belas menit cukup. "Bicaralah." Telingaku mendengar, wajah fokus ke depan. Mobilnya melambat. Bagus, bicara sambil mengemudi mobil memang bahaya. Alex berkata, "Aku anak haram, sebekum ini tinggal di panti asuhan. Hanya karena anak-anak Ayah wafat, serta Ibu kandungku tiada, barulah aku berkesempatan masuk ke keluarga ini. Aku menyayangi Ayah, tapi ibu tiriku … dia … bagaimana ya menjelaskannya--" "Dia monster jahat yang hanya menganggapmu sebagai pion?" Alex mengangguk pelan. "B
(Fany) Cahaya di langit mulai remang, di mana matahari nyaris tertelan di barat bumi. Belum ada kabar dari si bodoh. Ke mana? Ada apa? Ini jarang terjadi. Sekali lagi aku mencoba menelepon, sayang sekali daya baterai HP-ku habis. Tiba-tiba atap mobil tertutup. Dingin udara sekarang berubah hangat nan nyaman. Terlebih Alex menyalakan AC dalam mode penghangat. "Bagaimana, mau aku antar pulang atau masih mau menunggu pacarmu di sini?" "Kembali ke apartemen Adrian," jawabku. "Mobilku ada di sana." "Sebelum itu, bisa kita beli makan? Perutku menangis minta di isi." Perutku pun meronta minta makan. Dasar Adrian, awas kamu
(Fany)"Kalian sebaiknya pergi, sebelum aku menendang pantat kalian," ucap Alex memandang berang mereka.Si botak malah tertawa menepuk kepala Alex dari belakang. Entah bicara apa dia, lalu menyiram kopi ke mukanya.Aku tidak bisa diam saja. Alex bukan Adrian, dia terbiasa hidup tinggal suruh orang. Dia terpelajar, bukan preman yang punya fisik baja dan biasa berurusan dengan hewan-hewan seperti mereka."Menjauhlah kalian!" sentakku."Hehehei lihat, si gadis membela si pria!" sahut si Gondrong, memancing tepuk tangan dari teman-temannya.Ini kali pertama aku mendoring mata sampai nyaris jatuh dari kantung mataku dan sepertinya berhasil membuat mereka terdiam memandangku.
(Fany)Seseorang membuka penutup mulutku, lalu mengecup bibirku secara tiba-tiba"Enak sekali kamu manis, aku tidak sabar." Suara itu lalu tertawa."Hentikan, bodoh. Akan lebih nikmat ketika pacarnya melihat," ucap orang di sebelahku. "Lakbannya habis? Bagus, bodoh. Sekarang burung ini bakal berkicau.""Bagus, kan?"Aku memelas pada siapapun yang berada di sekitarku, mungkin mereka masih punya hati nurani?"Tolong, lepaskan aku, kuhomoh. Akan kubayar dan anggap semua ini tidak pernah terjadi."Mereka malah tertawa lepas. Harusnya aku tahu memohon hanya akan membuat mereka melayang puas.
(Adrian)Seorang pria paruh baya bertopi, turun dari dalam mobil derek bersama temannya. Mereka memakai seragam mekanik putih lusuh, kotor seperti wajah mereka. Tercium aroma oli dari badan nereka."Tuan Adrian?" tanya yang lebih muda, bertopi baseball dengan paruh kebelakang."Ya, saya sendiri.""Tuan Alex meminta kami membawa mobil Anda ke bengkel, juga mengundang Anda ke sana untuk memilih mesin.""Baiklah."Mobilku diculik oleh mobil derek. Aku ikut, duduk di kursi depan menuju kediaman Alex. Kami duduk bertiga.Mobil bergerak lambat. Sepertinya akan lama sampai ke tujuan. Ah, sial, terpaksa membolos lagi.
(Adrian)"Waktunya untuk bekerja. Ladies, roll out."Mereka montir-montir cantik begitu menggoda. Setiap gerakan mereka memancung nafsu. Pinggang seksi mereka berlenggak-lenggok seperti minta di tepuk. Tidak, aku tidak boleh tergoda. Aku harus bertahan demi Fany. Janjiku kepadanya adalah segalanya.Mereka mengerumuni mobilku, bermain dengan tang dan alat-alat lain. Gadis Jepang menarik lantai roda dengan kakinya yang indah. Lantai roda berbentuk seperti skateboard tapi luas, beroda empat. Dia terlentang di sana, me dorong lantai itu masuk ke bawah mobilku.Sementara gadis hitam mengambil vacuum cleaner untuk mobil, dia mulai menghisap debu.Gadis Amerika bersangga di pinggir kap mobilku, pinggulnya menantang mundur seperti be