Adrian
"Hei, bukan kah dia yang tempo hari?" Pria Mexican lain datang menghampiri sambil menunjukku. "Dia pemuda yang datang bersama gadis seksi di depan mini-market!"
Sepertinya mereka kawanan tempo hari, yang mengganggu Fany. Bagus, kali ini aku bisa menghajar mereka semua sekaligus tanpa takut menyeret Fany masuk ke dalam masalah.
Aku berlari melempar tutup tong sampah seperti melempar Frisbee, mengenai muka salah seorang dari mereka. Aku menendang kemaluan pria terdekat, lalu meninju dagunya dari bawah sampai dia mendongak ke atas.
Seorang dari mereka menyerang memakai pisau lipat, berhasil melukai pinggangku. Pada sabetan kedua, aku memegang bagian tajam pisau sampai telapak tanganku luka. Aku sundul keningnya hingga dia jatuh terkapar.
Suara sirine mobil polisi terdengar dari jauh. Aku melempar pisau ke dinding. Bahaya jika sampai polisi melihatku memegang pisau.
Banyak polisi bermunculan, me
Fany Setelah pelajaran terakhir di kampus hari ini selesai, aku menunggu Adrian, berdiri di trotoar bersama teman-teman. Aku mencoba tersenyum menutupi perasaan hati dengan bersikap normal dan berhasil. Sampai detik ini hanya Casandra yang tahu apa yang aku rasakan. Aku mengobrol dengan beberapa teman, hingga akhirnya kami berpisah. Sekarang hanya Casandra yang tersisa menemaniku di sini. Dia memasang wajah murung sembari memeriksa layar gawainya. "Fany, aku ada kegiatan latihan cheerleader. Lebih baik kamu menunggu di lapangan, dari pada di sini sendirian." Aku mengangguk pelan, mengikutinya. Lebih baik di sana dari pada menunggu di trotoar kan? Lapangan universitas selalu hijau dengan garis-haris putih seperti garis pada penggaris. Aku duduk di tribune penonton anggota tim amerika football berlatih, mereka berteriak seperti di hutan. Para cheerleader pun berlatih di pinggir lapangan rerumputan hijau dengan pen
Fany Mobil Alfred berhenti tepat di seberang jalan. Dia turun dari mobil menghampiriku. "Fany, kenapa tidak menjawab teleponku?" "Kamu menelepon?" tanyaku pura-pura membuka gawai. "Maaf, tidak sempat kuangkat karena tadi sedang berada dalam kelas." Dia memandang sekitar. "Mana Adrian?" "Entahlah, mungkin sibuk." "Kalau begitu biar aku antar pulang, ya." "Tidak usah, aku menunggu teman," jawabku, sembari melepaskan lenganku dari genggamannya.. Aku tidak berani memandang langsung matanya yang sangat cemas sekarang. Aku memilih memandang ujung kakiku. "Fany,kenapa hari ini kamu aneh?" tanyanya. Aku menggeleng dan itu membuat kedua telapak tangannya mendarat ke pundakku. "Fany, ayo jujur ada apa? Aku mengenalmu sangat lama, kamu selalu begini jika ada masalah. Apa Adrian nakal?" Entah kenapa aku malah tertawa kecil. Adrian memang nakal, kalau dia menjadi baik baru aku
Adrian Aku berteriak-teriak dalam mobil. “Pak! Pak Polisi, luka di perutku—“ Polisi kekar menggedor kaca jendela dari luar. “Diamlah, jangan banyak bicara!” Dia berdiri bersandar pintu, menutupi semua orang yang hendak mengintip ke dalam mobil. Sialan polisi satu ini. Aku tahu, pasti dia cemburu karena polisi wanita tadi baik kepadaku. Walau demikian aku warga Amerika! Aku memiliki hak untuk mendapat perawatan ketika terluka! Untuk memperjuangkan hak, aku menggeser duduk ke arah pintu sebelah. Tanganku diborgol, jadi tidak bisa menggedor jendela. Aku tidak menyerah. Aku memakai kening untuk membuat gaduh, menabrak kaca jendela pintu mobil yang tertutup. Usahaku membuahkan hasil. Seorang polisi tua yang sedang sibuk mengamankan lokasi perkelahian menghampiri diriku sekarang. Dia membuka pintu mobil, sedikit membungkuk mengintip lalu bertanya, “Ada apa, Nak?” Aku menggeser badan supaya luka di pingga
Adrian Entah siapa pengendara mobil mewah itu, hanya dengan memberi kartu nama ke polisi, para polisi langsung bersikap ramah. Sekarang dia bersama beberapa polisi menghampiriku. Sea menyondongkan kepala mendekati telingaku, dia berbisik, “Kenalanmu?” Aku menggeleng. Sungguh aku tidak tahu siapa pria berkulit hitam itu. Semakin dekat mereka, semakin jelas apa yang mereka bicarakan. Pria kulit hitam berkata dengan tegas kepada polisi. ”Aku jamin pemuda ini baik dan merupakan pahlawan.”Dia bergaya memegang kedua sisi pinggang dan menjaga senyum ramah sambil menampakkan gigi putihnya. “Saya Lousiana Zulvian, akan menjadi penjamin. Dia bukan penjahat." “Kenapa tidak bilang jika kamu kenal dengan politisi?” bisik Sea. Suara sirine membuat kami menoleh. Mobil patroli lain tiba. Dua polisi … tunggu dulu. Aku kenal mereka. Dua polisi yang tempo hari menolongku dan Fany di depan mini-market. Salah satu dari
Adrian Aku sedang dalam perjalanan, jadi tidak ingin mengangkat telepon. Di saat terjebak lampu merah tidak jauh dari lokasi tato parlour, aku mengecek layar HP. Kakak menelepon lagi dan lagi. Sementara itu Fany juga melakukan hal yang sama. Kompak sekali mereka mengganggu, sebenarnya ada apa? Sepertinya memang ada hal penting, hingga Kakak menelepon berkali-kali. Padahal jalanan sepi, aku bisa langsung melesat menuju kampus untuk menjemput Fany. Akan tetapi tidak ada pilihan, aku menepikan kendaraan sejenak untuk mengangkat telepon darinya. “Ada apa, Kak?” tanyaku sembari memegang telepon. “Aku sedang dalam perjalanan menjemput Fany, bisa kita bicara lagi nanti? “Tidak perlu menjemputnya,” jawab Kakak, entah maksudnya apa. “Fany sudah diantar pulang oleh teman gadisnya yang keturunan Indonesia. Lebih baik kamu langsung pulang ke apartemenmu.” “Terima kasih infonya Kak, kenapa Kakak menemui Fany di kampus—“
Fany Ya Tuhan, Adrian datang dengan wajah babak belur dan kaos kotor. Dia masih tersenyum polos seakan tidak terjadi apa-apa, bahkan bicara dengan santai, "Maaf, tadi aku ada urusan, jadi tidak bisa menjemputmu." "Ada apa dengan wajahmu?" Aku menghampiri, mengelus pipinya yang lebam. "Kamu berkelahi?" "Nah, tadi ada sedikit masalah dengan para preman." Aku pencet luka di sekitar bibirnya dan membuat dia meringis. "Sudah kukatakan jangan berkelahi! Kenapa kamu tidak mau mengerti? Jangan mencari masalah! Kenapa susah sekali membuatmu berhenti melakukan ini?" Dia tertawa kecil. "Cukup, Fan. Aku mengerti." Dia mengusap pipiku dari bulir-bulir air mata. "Jangan menangis. Aku sama sekali tidak mencari masalah. Aku hanya berusaha menolong orang yang sedang kesulitan." "Siapa?" "Namanya Elisa, gadis--" "Ya, terserah." Aku menepis tangannya. Wanita lagi, wanita lagi. Lagi pula dia pikir ak
Fany Adrian cukup cerdas dengan membawaku ke starbucks, membeli teh hijau untukku. Setelah memesan hidangan melalui drive thru, mobil parkir di lahan parkir supermarket padat. Dia membuka sedikit bagian atas dan menyetel musik country dengan volume pelan. "Nyaman?" tanyanya, lalu meneguk Casscara Machiato kesukaannya. "Sekarang katakan, kamu perlu bantuan apa?" "Sebenarnya ini tentang Ibu." Aku langsung meneguk minumanku. Dia mengangguk kecil. "Ada apa dengan Nyonya perfek?" "Dua minggu lagi hari ulang tahun Ayah dan juga hari ulang tahun pernikahan mereka." "Oh, begitu?" Adrian menjadi antusias. "Apa Ayahmu butuh bantuanku?" Aku menggeleng. "Bukan, tapi Ibu mengundangku untuk datang ke pesta kecil di sebuah kafe. Aku tahu, dia wanita seperti apa, pasti akan mengundang banyak pemuda kaya kenalan rekan bisnis Ayah ke sana untuk dijodohkan kepadaku." Aku lanjut bicara, "Aku tidak in
Adrian Dia terdiam memasang wajah datar. Apa Fany marah? Tidak, aku tidak mau mengambil resiko membuatnya merasa jijik. Segera aku tertawa kecil, lalu menjawab, "Aku hanya bercanda.” “Ini masalah serius. Kamu mau membantuku, kan?” Fany sampai menjadi seperti ini, pasti sedang ribut dengan Alfred. Ini sudah seperti tradisi, ketika ban utama kempes maka ban serep yang dipakai. Diriku ban serep itu. Pasti Alfred melakukan kebodohan yang sangat besar hingga membuat Fany gusar. Aku jadi ingin tahu perkara apa yang dia buat hingga Fany tidak ingin mendengar namanya. “Lusa kita pergi ke pantai Manhattan—“ Dia menggeleng dengan cepat. “Kamu pasti ingin ke Club 777. Aku benci tempat itu.” “Kenapa?” tanyaku. “Di sana banyak wanita murahan dan banyak pria berengsek sepertimu.” Sebenarnya tujuanku membawanya ke sana untuk mengunjungi sebuah tempat yang bisa membuat senyum