Adrian
Aku berteriak-teriak dalam mobil. “Pak! Pak Polisi, luka di perutku—“
Polisi kekar menggedor kaca jendela dari luar. “Diamlah, jangan banyak bicara!” Dia berdiri bersandar pintu, menutupi semua orang yang hendak mengintip ke dalam mobil.
Sialan polisi satu ini. Aku tahu, pasti dia cemburu karena polisi wanita tadi baik kepadaku. Walau demikian aku warga Amerika! Aku memiliki hak untuk mendapat perawatan ketika terluka! Untuk memperjuangkan hak, aku menggeser duduk ke arah pintu sebelah.
Tanganku diborgol, jadi tidak bisa menggedor jendela. Aku tidak menyerah. Aku memakai kening untuk membuat gaduh, menabrak kaca jendela pintu mobil yang tertutup. Usahaku membuahkan hasil. Seorang polisi tua yang sedang sibuk mengamankan lokasi perkelahian menghampiri diriku sekarang.
Dia membuka pintu mobil, sedikit membungkuk mengintip lalu bertanya, “Ada apa, Nak?”
Aku menggeser badan supaya luka di pingga
Adrian Entah siapa pengendara mobil mewah itu, hanya dengan memberi kartu nama ke polisi, para polisi langsung bersikap ramah. Sekarang dia bersama beberapa polisi menghampiriku. Sea menyondongkan kepala mendekati telingaku, dia berbisik, “Kenalanmu?” Aku menggeleng. Sungguh aku tidak tahu siapa pria berkulit hitam itu. Semakin dekat mereka, semakin jelas apa yang mereka bicarakan. Pria kulit hitam berkata dengan tegas kepada polisi. ”Aku jamin pemuda ini baik dan merupakan pahlawan.”Dia bergaya memegang kedua sisi pinggang dan menjaga senyum ramah sambil menampakkan gigi putihnya. “Saya Lousiana Zulvian, akan menjadi penjamin. Dia bukan penjahat." “Kenapa tidak bilang jika kamu kenal dengan politisi?” bisik Sea. Suara sirine membuat kami menoleh. Mobil patroli lain tiba. Dua polisi … tunggu dulu. Aku kenal mereka. Dua polisi yang tempo hari menolongku dan Fany di depan mini-market. Salah satu dari
Adrian Aku sedang dalam perjalanan, jadi tidak ingin mengangkat telepon. Di saat terjebak lampu merah tidak jauh dari lokasi tato parlour, aku mengecek layar HP. Kakak menelepon lagi dan lagi. Sementara itu Fany juga melakukan hal yang sama. Kompak sekali mereka mengganggu, sebenarnya ada apa? Sepertinya memang ada hal penting, hingga Kakak menelepon berkali-kali. Padahal jalanan sepi, aku bisa langsung melesat menuju kampus untuk menjemput Fany. Akan tetapi tidak ada pilihan, aku menepikan kendaraan sejenak untuk mengangkat telepon darinya. “Ada apa, Kak?” tanyaku sembari memegang telepon. “Aku sedang dalam perjalanan menjemput Fany, bisa kita bicara lagi nanti? “Tidak perlu menjemputnya,” jawab Kakak, entah maksudnya apa. “Fany sudah diantar pulang oleh teman gadisnya yang keturunan Indonesia. Lebih baik kamu langsung pulang ke apartemenmu.” “Terima kasih infonya Kak, kenapa Kakak menemui Fany di kampus—“
Fany Ya Tuhan, Adrian datang dengan wajah babak belur dan kaos kotor. Dia masih tersenyum polos seakan tidak terjadi apa-apa, bahkan bicara dengan santai, "Maaf, tadi aku ada urusan, jadi tidak bisa menjemputmu." "Ada apa dengan wajahmu?" Aku menghampiri, mengelus pipinya yang lebam. "Kamu berkelahi?" "Nah, tadi ada sedikit masalah dengan para preman." Aku pencet luka di sekitar bibirnya dan membuat dia meringis. "Sudah kukatakan jangan berkelahi! Kenapa kamu tidak mau mengerti? Jangan mencari masalah! Kenapa susah sekali membuatmu berhenti melakukan ini?" Dia tertawa kecil. "Cukup, Fan. Aku mengerti." Dia mengusap pipiku dari bulir-bulir air mata. "Jangan menangis. Aku sama sekali tidak mencari masalah. Aku hanya berusaha menolong orang yang sedang kesulitan." "Siapa?" "Namanya Elisa, gadis--" "Ya, terserah." Aku menepis tangannya. Wanita lagi, wanita lagi. Lagi pula dia pikir ak
Fany Adrian cukup cerdas dengan membawaku ke starbucks, membeli teh hijau untukku. Setelah memesan hidangan melalui drive thru, mobil parkir di lahan parkir supermarket padat. Dia membuka sedikit bagian atas dan menyetel musik country dengan volume pelan. "Nyaman?" tanyanya, lalu meneguk Casscara Machiato kesukaannya. "Sekarang katakan, kamu perlu bantuan apa?" "Sebenarnya ini tentang Ibu." Aku langsung meneguk minumanku. Dia mengangguk kecil. "Ada apa dengan Nyonya perfek?" "Dua minggu lagi hari ulang tahun Ayah dan juga hari ulang tahun pernikahan mereka." "Oh, begitu?" Adrian menjadi antusias. "Apa Ayahmu butuh bantuanku?" Aku menggeleng. "Bukan, tapi Ibu mengundangku untuk datang ke pesta kecil di sebuah kafe. Aku tahu, dia wanita seperti apa, pasti akan mengundang banyak pemuda kaya kenalan rekan bisnis Ayah ke sana untuk dijodohkan kepadaku." Aku lanjut bicara, "Aku tidak in
Adrian Dia terdiam memasang wajah datar. Apa Fany marah? Tidak, aku tidak mau mengambil resiko membuatnya merasa jijik. Segera aku tertawa kecil, lalu menjawab, "Aku hanya bercanda.” “Ini masalah serius. Kamu mau membantuku, kan?” Fany sampai menjadi seperti ini, pasti sedang ribut dengan Alfred. Ini sudah seperti tradisi, ketika ban utama kempes maka ban serep yang dipakai. Diriku ban serep itu. Pasti Alfred melakukan kebodohan yang sangat besar hingga membuat Fany gusar. Aku jadi ingin tahu perkara apa yang dia buat hingga Fany tidak ingin mendengar namanya. “Lusa kita pergi ke pantai Manhattan—“ Dia menggeleng dengan cepat. “Kamu pasti ingin ke Club 777. Aku benci tempat itu.” “Kenapa?” tanyaku. “Di sana banyak wanita murahan dan banyak pria berengsek sepertimu.” Sebenarnya tujuanku membawanya ke sana untuk mengunjungi sebuah tempat yang bisa membuat senyum
Adrian Aku duduk di kap mobil menikmati Pier 69, dermaga tempat tinggal banyak yacht. Suara angin bermain ombak, cahaya remang, aroma laut yang tenang, cocok untuk me-refresh pikiran. Mobil Alfred tiba. Setelah mematikan mobil, dia menghampiriku. “Sorry terlambat. Aku bawakan minuman kesukaanmu.” Dia duduk di kap mobil, menaruh kantung plastik di sana. Kami menikmati bir. Dia membisu. Aku yang mengundang, mungkin aku juga yang harus memulai pembicaraan kecil kami. “Apa kalian bertengkar?” selidikku. “Bisa kamu menjaga Fany?” tanya Alfred, tanpa memberi jawaban. “Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Aku ingin kamu membahagiakannya. Jaga dia, seperti Ayah menjaga Ibu. Buat dia selalu tersenyum, berkeluarga, buat Adrian junior dan Fany junior yang banyak, hidup tenang di Glendale atau daerah lain.” “Berengsek, kamu tidak menjawab pertanyaanku.” Aku meremas kaleng, membuang jauh k
Fany Dadaku berdebar-debar dan seperti ada sayap kupu-kupu yang terbang menggelitik di dalam perut. Kencan dengannya berdua saja, oh Tuhan, ini yang pertama. “Nona, mau turun atau menginap di mobil?” goda Adrian, membuyarkan lamunanku. Ketika aku hendak keluar dari mobil, dia menarik tanganku. “Fan, aku jemput jam tujuh.” Aku mengangguk, hendak tersenyum saja berat rasanya. Setelah dia melepas genggaman, aku masuk ke mobilku sendiri, pulang ke apartemen milikku. Sesampainya di apartemen aku mandi bersih lalu membuka lemari, mengeluarkan pakaian ke atas kasur. Aku ingin tampil manis, tapi juga tidak mau terlalu terbuka sehingga memancing Adrian melakukan sesuatu yang akan dia sesali di kemudian hari. Berkali-kali aku mencoba berbagai macam pakaian yang tersimpan di dalam lemari, tapi tidak ada yang sesuai. Sepertinya kencan ini membuat otakku kelebihan muatan. Aku melakukan video c
Fany Suara pintu diketuk dari luar membuatku berlari membukakan pintu. Ah tidak, tunggu. Aku merapikan kaos oblong, jaket kulit hitam, juga maxi gelap di atas lutut. Ambil napas dalam-dalam, hembuskan. Rileks. Santai. Tidak ada yang spesial, kan? Aku membukakan pintu, mendapati dia berdiri bersandar di tembok lorong sambil mengamati layar hp yang dia pegang, tangan satunya bersembunyi di balik saku celana jeans biru. Ketika keluar, tangan itu kosong. Saku celana itu pun datar tidak ada tonjolan di sana. “Kakimu turunkan, jangan menginjak tembok, nanti kotor.” Sebenarnya tidak apa-apa, hanya saja dia tidak membawa hadiah, jelas aku—oh dia membawa? “Ini, untukmu.” Sebuah lolipop. Dia pun mengulum lolipop sejenis lalu mendahului untuk turun. “Aku tunggu di mobil.” Jadi begini cara dia mengawali kencan? Aku membanting pintu yang mengunci secara otomatis, mengemut permen mengikutinya dari belakang. Menyebalkan!
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du