Home / Urban / Audacity / 33. Membantuku

Share

33. Membantuku

Author: WarmIceBoy
last update Last Updated: 2021-07-20 14:15:14

Fany

Adrian cukup cerdas dengan membawaku ke starbucks, membeli teh hijau untukku. Setelah memesan hidangan melalui drive thru, mobil parkir di lahan parkir supermarket padat.

Dia membuka sedikit bagian atas dan menyetel musik country dengan volume pelan.

"Nyaman?" tanyanya, lalu meneguk Casscara Machiato kesukaannya. "Sekarang katakan, kamu perlu bantuan apa?"

"Sebenarnya ini tentang Ibu." Aku langsung meneguk minumanku.

Dia mengangguk kecil. "Ada apa dengan Nyonya perfek?"

"Dua minggu lagi hari ulang tahun Ayah dan juga hari ulang tahun pernikahan mereka."

"Oh, begitu?" Adrian menjadi antusias. "Apa Ayahmu butuh bantuanku?"

Aku menggeleng. "Bukan, tapi Ibu mengundangku untuk datang ke pesta kecil di sebuah kafe. Aku tahu, dia wanita seperti apa, pasti akan mengundang banyak pemuda kaya kenalan rekan bisnis Ayah ke sana untuk dijodohkan kepadaku."

Aku lanjut bicara, "Aku tidak in

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Audacity   34. Keajaiban

    Adrian Dia terdiam memasang wajah datar. Apa Fany marah? Tidak, aku tidak mau mengambil resiko membuatnya merasa jijik. Segera aku tertawa kecil, lalu menjawab, "Aku hanya bercanda.” “Ini masalah serius. Kamu mau membantuku, kan?” Fany sampai menjadi seperti ini, pasti sedang ribut dengan Alfred. Ini sudah seperti tradisi, ketika ban utama kempes maka ban serep yang dipakai. Diriku ban serep itu. Pasti Alfred melakukan kebodohan yang sangat besar hingga membuat Fany gusar. Aku jadi ingin tahu perkara apa yang dia buat hingga Fany tidak ingin mendengar namanya. “Lusa kita pergi ke pantai Manhattan—“ Dia menggeleng dengan cepat. “Kamu pasti ingin ke Club 777. Aku benci tempat itu.” “Kenapa?” tanyaku. “Di sana banyak wanita murahan dan banyak pria berengsek sepertimu.” Sebenarnya tujuanku membawanya ke sana untuk mengunjungi sebuah tempat yang bisa membuat senyum

    Last Updated : 2021-07-20
  • Audacity   35. Membuang Cinta

    Adrian Aku duduk di kap mobil menikmati Pier 69, dermaga tempat tinggal banyak yacht. Suara angin bermain ombak, cahaya remang, aroma laut yang tenang, cocok untuk me-refresh pikiran. Mobil Alfred tiba. Setelah mematikan mobil, dia menghampiriku. “Sorry terlambat. Aku bawakan minuman kesukaanmu.” Dia duduk di kap mobil, menaruh kantung plastik di sana. Kami menikmati bir. Dia membisu. Aku yang mengundang, mungkin aku juga yang harus memulai pembicaraan kecil kami. “Apa kalian bertengkar?” selidikku. “Bisa kamu menjaga Fany?” tanya Alfred, tanpa memberi jawaban. “Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Aku ingin kamu membahagiakannya. Jaga dia, seperti Ayah menjaga Ibu. Buat dia selalu tersenyum, berkeluarga, buat Adrian junior dan Fany junior yang banyak, hidup tenang di Glendale atau daerah lain.” “Berengsek, kamu tidak menjawab pertanyaanku.” Aku meremas kaleng, membuang jauh k

    Last Updated : 2021-07-21
  • Audacity   36. Persiapan Kencan

    Fany Dadaku berdebar-debar dan seperti ada sayap kupu-kupu yang terbang menggelitik di dalam perut. Kencan dengannya berdua saja, oh Tuhan, ini yang pertama. “Nona, mau turun atau menginap di mobil?” goda Adrian, membuyarkan lamunanku. Ketika aku hendak keluar dari mobil, dia menarik tanganku. “Fan, aku jemput jam tujuh.” Aku mengangguk, hendak tersenyum saja berat rasanya. Setelah dia melepas genggaman, aku masuk ke mobilku sendiri, pulang ke apartemen milikku. Sesampainya di apartemen aku mandi bersih lalu membuka lemari, mengeluarkan pakaian ke atas kasur. Aku ingin tampil manis, tapi juga tidak mau terlalu terbuka sehingga memancing Adrian melakukan sesuatu yang akan dia sesali di kemudian hari. Berkali-kali aku mencoba berbagai macam pakaian yang tersimpan di dalam lemari, tapi tidak ada yang sesuai. Sepertinya kencan ini membuat otakku kelebihan muatan. Aku melakukan video c

    Last Updated : 2021-07-22
  • Audacity   37. Kharisma Adrian

    Fany Suara pintu diketuk dari luar membuatku berlari membukakan pintu. Ah tidak, tunggu. Aku merapikan kaos oblong, jaket kulit hitam, juga maxi gelap di atas lutut. Ambil napas dalam-dalam, hembuskan. Rileks. Santai. Tidak ada yang spesial, kan? Aku membukakan pintu, mendapati dia berdiri bersandar di tembok lorong sambil mengamati layar hp yang dia pegang, tangan satunya bersembunyi di balik saku celana jeans biru. Ketika keluar, tangan itu kosong. Saku celana itu pun datar tidak ada tonjolan di sana. “Kakimu turunkan, jangan menginjak tembok, nanti kotor.” Sebenarnya tidak apa-apa, hanya saja dia tidak membawa hadiah, jelas aku—oh dia membawa? “Ini, untukmu.” Sebuah lolipop. Dia pun mengulum lolipop sejenis lalu mendahului untuk turun. “Aku tunggu di mobil.” Jadi begini cara dia mengawali kencan? Aku membanting pintu yang mengunci secara otomatis, mengemut permen mengikutinya dari belakang. Menyebalkan!

    Last Updated : 2021-07-24
  • Audacity   38. Bianglala

    Fany Adrian membeli dua kembang gula berwarna merah muda. Bentuk makanan manis itu seperti awan. Cukup besar untuk kami makan berdua. “Sudah kan? Bisa kita kembali ke apartemen?” tanya Adrian. Ucapannya membuatku terdiam. “Jadi jauh-jauh kemari, hanya beli kembang gula?” Menyebalkan, dia malah tertawa kecil sembari menggandengku, hingga tenggelam ke dalam lautan manusia. Musik karnaval bersahutan dengan tawa pengunjung. Begitu banyak stall penjual makanan, pakaian, juga mainan. Satu yang menarik perhatian, sebuah wahana merry-go-round. Aku selalu naik itu ketika ada pasar masal di Glendale, kali ini ukurannya lebih besar. “Oh, sampai lupa,” ucapnya. “Tradisi Tuan Puteri, pertama naik kuda, sebelum bersenang-senang.” Dia menggandeng ke sana. Setelah membeli karcis aku duduk di kuda putih, sementara Adrian di kuda hitam sampingku. Musik khas Merry Go Round mulai terdengar. Lampu berkedip-kedip, wah

    Last Updated : 2021-07-26
  • Audacity   39. Pertanyaan Berani

    Adrian Banyak gadis berteriak karena 'insiden' kecil ini, Fany pun tak beda dari yang lain. Suaranya seperti banshe melihat mangsa, gendang telingaku nyaris pecah. "Hei, hei." Aku bekap mulutnya. "Tenang, semua baik-baik saja." Tapi dengan mudah dia lepas. "Baik-baik saja bagaimana? Kamu kira bagaimana cara kita turun dari sini?" "Terjun ke laut?" "Dasar Adrian bodoh, bagaimana kalau jatuh ke dermaga? Ya Tuhan bagaimana ini?" "Ada aku, santai saja." Semua gelap. Bilik ini bergoyang karena berhenti mendadak. Sepertinya ada masalah serius sampai semua lampu di pier mati total, tiada musik karnaval, atau musik konser, hanya suara angin malam. Biar aku tebak, daya listrik tidak kuat untuk konser juga karnaval dan hiburan malam lain? Tak apalah, karena hal ini Fany memeluk lenganku dengan erat. Andai tidak ada boneka kelinci, aku bisa lebih hangat lagi dari sekarang. 

    Last Updated : 2021-08-04
  • Audacity   40. Reaksi

    Adrian Ini ciuman terbaik setelah kejadian di belakang sofa dulu. Perlahan aku menarik wajah dan mendapati wajah Fany sangat eksotis. "Jadi, bagaimana?" tanyaku. "Kamu menikmatinya, kan?" "Menikmati?" Nada bicaranya terdengar gugup dan bingung. "Ciuman tadi." "Biasa saja." "Oh ya? Tapi wajahmu mengatakan oh Adrian, kenapa berhenti? Aku mau lagi." Dia mendengus, tersenyum sinis, sembari membuang muka. Dasar gadis sok jual mahal. Apa susahnya mengakui jika diriku mampu membuatnya melayang tadi. Aku menginginkan lagi dan dia pun begitu kan? Aku paksa dagunya kembali menghadapku, lalu aku meng

    Last Updated : 2021-08-06
  • Audacity   41. Kesungguhan

    Adrian Beberapa orang keluar dari kamar mereka, sekedar mengintip apa yang terjadi. Beberapa memandang heran karena hal ini jarang terjadi. Yup, aku jarang membiarkan gadis cantik di depan pintu kamar, kecuali Fany di pagi hari. "Adrian Bened, aku tahu kamu ada di dalam." Dia menggedor pintu seperti gadis kesurupan. "Buka pintunya, Adrian!" "Halo manis." Suara santaiku membuat dia berhenti menggebrak pintu. Dia merapikan pakaian putih dan rok pendeknya yang sedikit kusut. "Aku kira kamu berada di dalam," ujarnya. Mau apa tunangan Alfred ke sini? "Ada perlu apa Messandre … Minerva …." Dia menjawab dengan nada kesal. "Kamu benar-benar tidak ingat namaku?" "Maaf. Aku kesulitan untuk mengingat nama wanita. Ada perlu apa?" "Bisa kita bicara di dalam?" tanyanya, sembari memutar-mutar gagang pintu. "Kita bicara di ruang tunggu saja, yuk. Aku traktir minum." "Kenapa?" Dia me

    Last Updated : 2021-08-07

Latest chapter

  • Audacity   -Epilog-

    [Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb

  • Audacity   157. Akhir Dari Keputusan

    [POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."

  • Audacity   156. Asa

    [POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.

  • Audacity   155. Di Rumah Tuhan

    [POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t

  • Audacity   154. Hukum

    [POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.

  • Audacity   153. Perubahan Adrian

    [POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"

  • Audacity   152. Basilika

    [POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia

  • Audacity   151. Darah Kotor

    [POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja

  • Audacity   150. Don bertemu Don

    [POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du

DMCA.com Protection Status