Fany
Adrian membeli dua kembang gula berwarna merah muda. Bentuk makanan manis itu seperti awan. Cukup besar untuk kami makan berdua.
“Sudah kan? Bisa kita kembali ke apartemen?” tanya Adrian. Ucapannya membuatku terdiam.
“Jadi jauh-jauh kemari, hanya beli kembang gula?” Menyebalkan, dia malah tertawa kecil sembari menggandengku, hingga tenggelam ke dalam lautan manusia.
Musik karnaval bersahutan dengan tawa pengunjung. Begitu banyak stall penjual makanan, pakaian, juga mainan. Satu yang menarik perhatian, sebuah wahana merry-go-round. Aku selalu naik itu ketika ada pasar masal di Glendale, kali ini ukurannya lebih besar.
“Oh, sampai lupa,” ucapnya. “Tradisi Tuan Puteri, pertama naik kuda, sebelum bersenang-senang.” Dia menggandeng ke sana.
Setelah membeli karcis aku duduk di kuda putih, sementara Adrian di kuda hitam sampingku.
Musik khas Merry Go Round mulai terdengar. Lampu berkedip-kedip, wah
Adrian Banyak gadis berteriak karena 'insiden' kecil ini, Fany pun tak beda dari yang lain. Suaranya seperti banshe melihat mangsa, gendang telingaku nyaris pecah. "Hei, hei." Aku bekap mulutnya. "Tenang, semua baik-baik saja." Tapi dengan mudah dia lepas. "Baik-baik saja bagaimana? Kamu kira bagaimana cara kita turun dari sini?" "Terjun ke laut?" "Dasar Adrian bodoh, bagaimana kalau jatuh ke dermaga? Ya Tuhan bagaimana ini?" "Ada aku, santai saja." Semua gelap. Bilik ini bergoyang karena berhenti mendadak. Sepertinya ada masalah serius sampai semua lampu di pier mati total, tiada musik karnaval, atau musik konser, hanya suara angin malam. Biar aku tebak, daya listrik tidak kuat untuk konser juga karnaval dan hiburan malam lain? Tak apalah, karena hal ini Fany memeluk lenganku dengan erat. Andai tidak ada boneka kelinci, aku bisa lebih hangat lagi dari sekarang. 
Adrian Ini ciuman terbaik setelah kejadian di belakang sofa dulu. Perlahan aku menarik wajah dan mendapati wajah Fany sangat eksotis. "Jadi, bagaimana?" tanyaku. "Kamu menikmatinya, kan?" "Menikmati?" Nada bicaranya terdengar gugup dan bingung. "Ciuman tadi." "Biasa saja." "Oh ya? Tapi wajahmu mengatakan oh Adrian, kenapa berhenti? Aku mau lagi." Dia mendengus, tersenyum sinis, sembari membuang muka. Dasar gadis sok jual mahal. Apa susahnya mengakui jika diriku mampu membuatnya melayang tadi. Aku menginginkan lagi dan dia pun begitu kan? Aku paksa dagunya kembali menghadapku, lalu aku meng
Adrian Beberapa orang keluar dari kamar mereka, sekedar mengintip apa yang terjadi. Beberapa memandang heran karena hal ini jarang terjadi. Yup, aku jarang membiarkan gadis cantik di depan pintu kamar, kecuali Fany di pagi hari. "Adrian Bened, aku tahu kamu ada di dalam." Dia menggedor pintu seperti gadis kesurupan. "Buka pintunya, Adrian!" "Halo manis." Suara santaiku membuat dia berhenti menggebrak pintu. Dia merapikan pakaian putih dan rok pendeknya yang sedikit kusut. "Aku kira kamu berada di dalam," ujarnya. Mau apa tunangan Alfred ke sini? "Ada perlu apa Messandre … Minerva …." Dia menjawab dengan nada kesal. "Kamu benar-benar tidak ingat namaku?" "Maaf. Aku kesulitan untuk mengingat nama wanita. Ada perlu apa?" "Bisa kita bicara di dalam?" tanyanya, sembari memutar-mutar gagang pintu. "Kita bicara di ruang tunggu saja, yuk. Aku traktir minum." "Kenapa?" Dia me
Fany "Sesuai jadwal, huh?" Komentar Adrian ketika menyambutku. Hmm, dia sudah siap ke kampus dengan berpakaian rapi. "Masuk, aku akan membuat sarapan untuk kita." "Wow … ok, mari kulihat apa yang kamu bisa." Kamar apartemen Adrian wangi. Dia juga harum. Kasurnya rapi, tiada wanita di sana. Bagus, sejauh ini semua berjalan dengan baik. Aku duduk manis di kursi bar kecil, menonton bagaimana dia memasak telur goreng, sosis, dan daging. Menurutku celemek membuatnya bertambah seksi. Apa kelak jika … kami menikah, dia akan seperti ini? Aduh, pikiranku ke mana-mana. "Jadi, bagaimana rencana kita di hari ulang tahun pernikahan orang tuamu?" "Hmm? Kamu datang dan temani aku, simpel." "Baiklah sayang, apapun demimu. Apa aku butuh membeli hadiah untuk Ayah mertua?" Dia membuatku kaget. "Percaya diri sekali kamu memanggilnya Ayah mertua?" Aku menerima makanan buatannya di atas meja, mencicipi
Fany Mobil Limo sampai ke restoran mewah tempat yang menjadi lokasi perayaan ulang tahun Ayah. Pintu mobil dibuka, angin sepoi hangat menerpa wajahku. Tempat ini dipenuhi orang berjas juga gadis bergaun malam mewah.Aku mengenali beberapa wajah yang tersenyum ramah, mereka teman-teman Ayah. "Mari Nona," ujar supir. "Tuan menanti di dalam." "Tuan siapa?" "Ayah Anda menyuruhku menjemput." Astaga, jadi Ayah? Pikiranku terlalu terpaku pada yang lain. Sungkan juga berdiam diri di limo, karena banyak mobil lain mengantri untuk menurunkan penumpang di belakang. Sepatu hak tinggiku mendarat ke trotoar, mobil limo hitam pergi. Mobil mewah silih berganti menurunkan orang. Lagi-lagi beberapa wajah yang aku kenal. Aku serius berdiri menanti Adrian. Mana mobil jeleknya? Aku tidak ingin dia kenapa-napa. Tunggu dulu, apa mobil sial itu mogok di jalan? Oh Ya Tuhan, jika begini hanc
Adrian Carl mencukur jenggot. Aku duduk di kursi tempat pembuatan tato, sementara dia sibuk mengoles busa cukur ke daguku. "Apa kamu yakin, Carl? Ini akan mulus?" tanyaku. "Santai Bro. Percaya pada Carl Johnson." Pria Spanyol, teman kerjaku yang kupanggil Manuel tertawa sambil menato pelanggan. "Carl tidak pernah punya jenggot dan kamu percaya jika dia bisa?" Aku nyaris bangkit, tapi Yun, gadis Korea, teman kerjaku di sebelah menahanku. "Carl selalu mencukur habis jenggotnya, jadi dia pro." "Dengar?" sahut Carl, aku tidak suka cara tertawanya. "Rileks, Bro. Kamu berada di tangan orang ahli." Well, dia tidak berbohong. Bukan hanya jenggot, dia juga menata rambutku dengan bagus memakai jelly. "Bagus kan?" Dengan bangga Carl memamerkan rambutku, wajahku, di depan cermin. "Carl?" Elisa datang, kedua alisnya naik melihatku. "Kamu sangat … keren." "Terima kasih." "
Adrian "Apa kamu lupa pada Paman terbaikmu, Nak?" "Tentu tidak!" Aku memberi pelukan erat kepada Paman William dan dia balas memeluk sambil menepuk punggung. Dia memandang lekat-lekat dari ujung sepatu sampai rambut. Suaranya begitu bersahabat dan senyum itu tidak pernah berhenti. "Kamu tambah tinggi, tampan, kekar, sungguh lelaki berkelas. Mana Kakak dan Ibumu, apa mereka datang? Oh, mana si cantik Kim?" "Mereka tidak ikut Paman. Hanya aku sendiri. Selamat ulang tahun, Paman." Aku mengeluarkan jam pemberian seorang gadis dulu, yang tidak pernah aku buka dari wadah. "Kamu tidak perlu memberi hadiah. Kehadiranmu saja cukup." Walau paman berkata seperti itu dia langsung melepas jam emas, lalu mengganti dengan jam digital pemberianku."Jadi Adrian, kenapa tidak masuk?" "Para penjaga tidak mengijinkan aku masuk karena tidak membawa undangan dan memakai dasi--" "Kamu bagian dari keluarga,
Adrian "Tuan Zulvian, aku kira kamu tidak datang." Wajah paman William langsung cerah. Sepertinya mereka berteman dekat. "Bagaimana mungkin aku tidak datang ke pesta ulang tahunmu?" Zul tertawa renyah, tawa khas yang dulu sering aku dengar. Dia berdecak kagum memandangku. "Lihat dia, siapa sangka dia akan datang kemari." "Aku tahu," jawab Nyonya. "Aku tidak menyangka orang kampung bertato menjijikkan seperti dia bisa masuk kemari." "Tato tidak ada yang menjijikkan Nyonya, tato adalah seni tubuh." Zul melepas beberapa kancing kemeja bagian atas. "Lihat? Aku memakai tato. Apa kalian di sini ada yang bertato? Ayo jangan malu-malu, calon senator bertanya di sini." Banyak pemuda mengangkat tangan, bahkan beberapa gadis anggun di meja seberang. "Lihat," kata Zul. "Apa semua orang ini juga sampah nyonya? Lagi pula Adrian Bened, adalah pahlawan." Sepertinya Fany penasaran hingga bertanya, "Bagaimana Tuan