Home / Urban / Audacity / 45. Pesta Orang Kaya

Share

45. Pesta Orang Kaya

Author: WarmIceBoy
last update Last Updated: 2021-08-11 09:20:39

Adrian

"Apa kamu lupa pada Paman terbaikmu, Nak?"

"Tentu tidak!"

Aku memberi pelukan erat kepada Paman William dan dia balas memeluk sambil menepuk punggung. Dia memandang lekat-lekat dari ujung sepatu sampai rambut. Suaranya begitu bersahabat dan senyum itu tidak pernah berhenti.

"Kamu tambah tinggi, tampan, kekar, sungguh lelaki berkelas. Mana Kakak dan Ibumu, apa mereka datang? Oh, mana si cantik Kim?"

"Mereka tidak ikut Paman. Hanya aku sendiri. Selamat ulang tahun, Paman." Aku mengeluarkan jam pemberian seorang gadis dulu, yang tidak pernah aku buka dari wadah.

"Kamu tidak perlu memberi hadiah. Kehadiranmu saja cukup." Walau paman berkata seperti itu dia langsung melepas jam emas, lalu mengganti dengan jam digital pemberianku. "Jadi Adrian, kenapa tidak masuk?"

"Para penjaga tidak mengijinkan aku masuk karena tidak membawa undangan dan memakai dasi--"

"Kamu bagian dari keluarga,

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Audacity   46. Perjalanan Ke Ranjang

    Adrian "Tuan Zulvian, aku kira kamu tidak datang." Wajah paman William langsung cerah. Sepertinya mereka berteman dekat. "Bagaimana mungkin aku tidak datang ke pesta ulang tahunmu?" Zul tertawa renyah, tawa khas yang dulu sering aku dengar. Dia berdecak kagum memandangku. "Lihat dia, siapa sangka dia akan datang kemari." "Aku tahu," jawab Nyonya. "Aku tidak menyangka orang kampung bertato menjijikkan seperti dia bisa masuk kemari." "Tato tidak ada yang menjijikkan Nyonya, tato adalah seni tubuh." Zul melepas beberapa kancing kemeja bagian atas. "Lihat? Aku memakai tato. Apa kalian di sini ada yang bertato? Ayo jangan malu-malu, calon senator bertanya di sini." Banyak pemuda mengangkat tangan, bahkan beberapa gadis anggun di meja seberang. "Lihat," kata Zul. "Apa semua orang ini juga sampah nyonya? Lagi pula Adrian Bened, adalah pahlawan." Sepertinya Fany penasaran hingga bertanya, "Bagaimana Tuan

    Last Updated : 2021-08-12
  • Audacity   47. French Kiss

    Fany Dia tahu apa yang aku suka. Adrian menyetel musik country. Pemanas mobil juga menyala. Sengaja dia mampir ke starbuck untuk membeli green tea milk kesukaanku. "Minumlah, jalanan macet, akan lama sampai ke apartemenku," ujarnya. "Apartemenmu?" "Ya, kamu mau ke tempatku, kan? Ayolah, sekali-kali--" "Tidak. Antar aku pulang ke apartemenku." "Kenapa? Kita pacaran kan?" "Adrian, tolong jangan mendebat. Aku tahu isi kepalamu. Sorry, aku tidak ingin." "Kenapa? "Karena kamu Adrian. Aku tahu semua hal tentangmu dan kemesumanmu." Dia terkekeh dengan nada menyebalkan. "Baiklah, aku mengerti. Hanya suamimu dan Alfred yang bisa kan?" Ya Tuhan dia benar-benar menyebalkan. Aku kira setelah kejadian tadi dia bisa sedikit sadar. Aku kira dia telah move on dari kemesumannya itu. Kenapa pula dia membawa-bawa nama Alfred. Bodoh! "Maaf, aku lupa jika kamu ingin

    Last Updated : 2021-08-13
  • Audacity   48. Permainan

    Fany Aku melangkah mundur. Memandang mereka bertiga. Mereka kira aku bodoh atau bagaimana? "Ini pasti taktik Ibu untuk membawaku pulang, kan?" Mereka bertukar pandang. Aku tahu mereka memang berbohong. "Katakan pada wanita itu, jika ingin bertemu, datang kemari. Aku bukan hewan peliharaan." "Nona, Ayah Anda sakit di rumah. Jika tidak percaya, mari kita cek ke rumah." Pemuda ini berkata dengan nada serius, tiada senyum atau sesuatu yang aneh di wajahnya. Tuhan, apa Ayah memang sakit? Mungkin saja, setelah ribut antara anak dan istrinya. Tidak, aku tadi keterlaluan. Ayah … "Ayah!" Aku tak kuasa menahan tangis. Aku mengikuti mereka bertiga menaiki mobil SUV hitam, duduk di kursi tengah bersama pemuda berjas hitam. Sementara dua orang lain di depan. Selama di perjalanan begitu hening. Pemuda di samping cukup baik mengambil tisu di depan untukku. Walau hanya tisu makan, cukup untukku. "B

    Last Updated : 2021-08-14
  • Audacity   49. Rencana Fany

    Fany "Bisa kita mampir ke starbuck?" pintaku. "Baik Nona." Aku sengaja membawa mereka bertiga ke sana supaya bisa bicara dengan bebas. Kami masuk ke starbuck yang padat pengunjung, duduk di kursi masing-masing memenuhi meja setelah memesan minuman. Ketiganya gugup bermain mata sambil berbisik-bisik. "Maaf membuat kalian bekerja lembur," ucapku. "Tidak apa-apa." Aku tahu mereka pasti bingung. Aku sendiri tidak ingin sampai seperti ini, tapi wanita itu yang memulai. Dia yang hendak menghancurkan hidupku. Apa salah jika aku ingin mempertahankan apa yang aku anggap patut untuk diperjuangkan? Masa depan bukan hal sepele. Aku berdehem kecil supaya mereka bisa fokus kepadaku. "Dengar, aku ingin kalian melakukan sesuatu. Bantu mencari keburukan Ibu. Cari tahu apa yang dia mau kenapa memaksaku menikah dengan Alex. Kalian harus membantuku." Lagi-lagi mereka bertukar mata. Sepertinya

    Last Updated : 2021-08-15
  • Audacity   50. Insecure

    Adrian Aku mengantar Fany pulang seperti biasa. Enam hari semenjak menjadi pacar Fany, gadis blonde itu belum mengeluh atau minta putus. Aku kira ini mimpi indah, ternyata tidak. Ini kenyataan. Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal semenjak kami pacaran. Gawai yang melekat di tangannya. Seperti sekarang gawai itu bagai terus menerus mengecup pipinya. Dia jelas mengobrol dengan lelaki. Aku tidak tuli. "Iya, terima kasih Joshua. Semua aman, usahakan jangan sampai ada yang tahu tentang rahasia kita. Aku tidak sabar bertemu denganmu." Aku bertanya ketika dia menyudahi telepon. "Rahasia apa?" "Kalau aku beritahu, bukan rahasia namanya."

    Last Updated : 2021-08-16
  • Audacity   51. Sayonara Dokter

    Adrian Si cantik memakai pakaian sabrina ketat putih berkombinasi dengan bawahan celana jeans panjang. Dia membenarkan posisi tas lengan hitam. Aku lupa namanya, tapi dia dokter hewan yang pernah menemaniku bermain cinta, cinta satu malam tanpa relasi. Aku tidak bisa cuek, apalagi melampiaskan emosi pada makhluk lembut ini. Jadi aku tersenyum, bicara dengan nada ramah. "Selamat sore Bu Dokter." "Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku memasang badan berdiri di depan pintu. "Sorry, kita bicara di ruang tunggu saja, yuk." Kami pergi ke lantai satu, duduk santai menempati dua sofa berdekatan. Aku mentraktir minum, membeli diet kola di mesin penjual minuman.

    Last Updated : 2021-08-17
  • Audacity   52. Percaya

    Adrian Aroma kopi bercampur bau perpustakaan. Pelan obrolan di sekitar. Kafe kopi baca, lokasi nyaman untuk berbincang. Aku tahu tempat ini dari gadis kutu buku yang kutaklukkan. Siapa sangka aku akan kemari lagi. Aku duduk di sofa berlengan di depannya. Dihadapanku Aisyah duduk santai. Meja bundar menjadi pemisah di antara kami. "Kamu suka?" tanyaku. Dia mengangguk, menaruh buku ke atas meja. "Aku tidak tahu kalau kamu suka membaca?" Hinaan kah? "Nah, aku tidak suka, tapi aku suka kopi dan kue tart di sini. Rasanya enak." "Ya, aku bekerja di sini." Astaga, aku malu sendiri jadinya.

    Last Updated : 2021-08-17
  • Audacity   53. Nekat

    Adrian Aku mengantar Fany pulang dari kampus. Lagi-lagi dia menelepon seseorang. Hubungan cinta butuh rasa 'percaya'. Aku percaya pada Fany. Ok, ada lubang kecil di kalimat 'percaya'. Lubang kecil itu hanya bisa ditutup dengan bertemu Joshua. Aku tebak dia pria pilihan ibunya. Aku memukul stir berkali-kali saking kesalnya. "Sialan!" "Tenanglah, aku sedang menelepon," keluh Fany, tetap fokus menggenggam telepon bodohnya. Biar aku tebak. "Joshua?" Dia mengangguk cepat, menutup mulutku dengan jarinya. "Helo, Joshua? Bagaimana?" Aku menoleh mendapatinya tertawa lepas sampai menutup mulut. Dia

    Last Updated : 2021-08-18

Latest chapter

  • Audacity   -Epilog-

    [Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb

  • Audacity   157. Akhir Dari Keputusan

    [POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."

  • Audacity   156. Asa

    [POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.

  • Audacity   155. Di Rumah Tuhan

    [POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t

  • Audacity   154. Hukum

    [POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.

  • Audacity   153. Perubahan Adrian

    [POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"

  • Audacity   152. Basilika

    [POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia

  • Audacity   151. Darah Kotor

    [POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja

  • Audacity   150. Don bertemu Don

    [POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du

DMCA.com Protection Status