Fany
Aku melangkah mundur. Memandang mereka bertiga. Mereka kira aku bodoh atau bagaimana? "Ini pasti taktik Ibu untuk membawaku pulang, kan?"
Mereka bertukar pandang. Aku tahu mereka memang berbohong.
"Katakan pada wanita itu, jika ingin bertemu, datang kemari. Aku bukan hewan peliharaan."
"Nona, Ayah Anda sakit di rumah. Jika tidak percaya, mari kita cek ke rumah." Pemuda ini berkata dengan nada serius, tiada senyum atau sesuatu yang aneh di wajahnya.
Tuhan, apa Ayah memang sakit? Mungkin saja, setelah ribut antara anak dan istrinya. Tidak, aku tadi keterlaluan. Ayah … "Ayah!"
Aku tak kuasa menahan tangis. Aku mengikuti mereka bertiga menaiki mobil SUV hitam, duduk di kursi tengah bersama pemuda berjas hitam. Sementara dua orang lain di depan.
Selama di perjalanan begitu hening. Pemuda di samping cukup baik mengambil tisu di depan untukku. Walau hanya tisu makan, cukup untukku.
"B
Fany "Bisa kita mampir ke starbuck?" pintaku. "Baik Nona." Aku sengaja membawa mereka bertiga ke sana supaya bisa bicara dengan bebas. Kami masuk ke starbuck yang padat pengunjung, duduk di kursi masing-masing memenuhi meja setelah memesan minuman. Ketiganya gugup bermain mata sambil berbisik-bisik. "Maaf membuat kalian bekerja lembur," ucapku. "Tidak apa-apa." Aku tahu mereka pasti bingung. Aku sendiri tidak ingin sampai seperti ini, tapi wanita itu yang memulai. Dia yang hendak menghancurkan hidupku. Apa salah jika aku ingin mempertahankan apa yang aku anggap patut untuk diperjuangkan? Masa depan bukan hal sepele. Aku berdehem kecil supaya mereka bisa fokus kepadaku. "Dengar, aku ingin kalian melakukan sesuatu. Bantu mencari keburukan Ibu. Cari tahu apa yang dia mau kenapa memaksaku menikah dengan Alex. Kalian harus membantuku." Lagi-lagi mereka bertukar mata. Sepertinya
Adrian Aku mengantar Fany pulang seperti biasa. Enam hari semenjak menjadi pacar Fany, gadis blonde itu belum mengeluh atau minta putus. Aku kira ini mimpi indah, ternyata tidak. Ini kenyataan. Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal semenjak kami pacaran. Gawai yang melekat di tangannya. Seperti sekarang gawai itu bagai terus menerus mengecup pipinya. Dia jelas mengobrol dengan lelaki. Aku tidak tuli. "Iya, terima kasih Joshua. Semua aman, usahakan jangan sampai ada yang tahu tentang rahasia kita. Aku tidak sabar bertemu denganmu." Aku bertanya ketika dia menyudahi telepon. "Rahasia apa?" "Kalau aku beritahu, bukan rahasia namanya."
Adrian Si cantik memakai pakaian sabrina ketat putih berkombinasi dengan bawahan celana jeans panjang. Dia membenarkan posisi tas lengan hitam. Aku lupa namanya, tapi dia dokter hewan yang pernah menemaniku bermain cinta, cinta satu malam tanpa relasi. Aku tidak bisa cuek, apalagi melampiaskan emosi pada makhluk lembut ini. Jadi aku tersenyum, bicara dengan nada ramah. "Selamat sore Bu Dokter." "Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku memasang badan berdiri di depan pintu. "Sorry, kita bicara di ruang tunggu saja, yuk." Kami pergi ke lantai satu, duduk santai menempati dua sofa berdekatan. Aku mentraktir minum, membeli diet kola di mesin penjual minuman.
Adrian Aroma kopi bercampur bau perpustakaan. Pelan obrolan di sekitar. Kafe kopi baca, lokasi nyaman untuk berbincang. Aku tahu tempat ini dari gadis kutu buku yang kutaklukkan. Siapa sangka aku akan kemari lagi. Aku duduk di sofa berlengan di depannya. Dihadapanku Aisyah duduk santai. Meja bundar menjadi pemisah di antara kami. "Kamu suka?" tanyaku. Dia mengangguk, menaruh buku ke atas meja. "Aku tidak tahu kalau kamu suka membaca?" Hinaan kah? "Nah, aku tidak suka, tapi aku suka kopi dan kue tart di sini. Rasanya enak." "Ya, aku bekerja di sini." Astaga, aku malu sendiri jadinya.
Adrian Aku mengantar Fany pulang dari kampus. Lagi-lagi dia menelepon seseorang. Hubungan cinta butuh rasa 'percaya'. Aku percaya pada Fany. Ok, ada lubang kecil di kalimat 'percaya'. Lubang kecil itu hanya bisa ditutup dengan bertemu Joshua. Aku tebak dia pria pilihan ibunya. Aku memukul stir berkali-kali saking kesalnya. "Sialan!" "Tenanglah, aku sedang menelepon," keluh Fany, tetap fokus menggenggam telepon bodohnya. Biar aku tebak. "Joshua?" Dia mengangguk cepat, menutup mulutku dengan jarinya. "Helo, Joshua? Bagaimana?" Aku menoleh mendapatinya tertawa lepas sampai menutup mulut. Dia
Fany Aku tidak ingin mengajak Adrian menemui Joshua karena khawatir akan tingkahnya nanti. Bukan hal buruk, aku menikmati dia cemburu. Cemburu tanda cinta, kan? Semakin Adrian bertingkah aneh, semakin besar cintanya padaku, tapi bagaimana kelak jika bertemu Joshua? Dia belum siap, butuh waktu. Sementara hubunganku dengan Joshua semakin dekat. Karena umur kami tidak terpaut jauh, dia enak diajak mengobrol. Aku harap kelak Joshua dan Adrian bisa segera bertemu, semoga mereka bisa menjadi teman. Aku memarkir mobil di lengan jalan depan kafe kopi baca. Aroma kopi semerbak di ruang penuh rak buku. Suara obrolan kecil sesekali terdengar mengiringi suara kertas dibalik. Sepertinya ini kafe kopi baca. Aku melambai pada sosok lelaki tampan yang tersenyum padaku. Penampilannya … beda dengan malam terakhir kami bertemu. Dia memakai sweater manis panjang dan celana jeans panjang longgar, lebih seperti mah
Fany "Adrian?" Aku tidak percaya dia datang kemari memakai motor besar. Bukannya dia bersumpah tidak naik motor lagi "Ada apa Nona?" tanya Joshua. "Dia temanmu?" "Pacar.” Aku menggenggam tangan Josh di atas meja. “Dengar, dia impulsif dan pencemburu, jadi kamu jangan--" "Dia akan semakin cemburu jika melihatmu menggenggam tanganku." Oh tidak, dia pasti akan melampiaskan semua amarah pada Joshua. Joshua terkekeh mengamati gerak-gerik Adrian di luar. "Pacarmu keren, apa dia anggota geng motor?" "Joshua aku mohon, lari." Dia tertawa. "Nona terlalu khawatir. Dia pria baik." "Dulu dia menghajar enam senior yang menggangguku di sekolah. Aku tak mau kamu babak belur." Adrian masuk ke kafe, menghampiri kami dengan wajah kesetanan, matanya tak berkedip menghakimi kami dengan pikiran-pikiran yang pasti negatif. Aku tahu itu! Aku berdiri, menggenggam tangannya. "A
Fany Kenapa aku merasa Joshua mirip Adrian. Tampan, urakan, menyebalkan. Ya dia urakan, tetapi di depanku dia bisa menekan hal itu, sementara Adrian malah di depanku lepas kendali. Setelah mandi dan berganti baju kasual, segera menemui Joshua. Sesampainya di sana, aku duduk santai jauh dari jendela. Dia telah berganti pakaian menjadi lebih santai, sweeter lengan panjang, dan celana jeans oblong. Baru saja aku duduk, dia langsung memberi wajah serius tanpa senyum. "Baiklah, Nona. Dengar baik-baik. Aku membongkar dokumen rahasia yang sangat tua." Dia menaruh tumpukan kertas print-print-nan warna putih, bergambar dokumen yang menguning ke atas meja. Terdapat banyak foto di kertas-kertas itu, foto waktu ayah masih muda beserta Tuan Bened. Mungkin dia mengambil foto dokumen-dokumen ini dengan terburu-buru, lalu menge-print-nya. Salah satu dokumen adalah pembukuan awal perusahaan. Joshua berkata, "