Adrian
Aku mengantar Fany pulang seperti biasa.
Enam hari semenjak menjadi pacar Fany, gadis blonde itu belum mengeluh atau minta putus. Aku kira ini mimpi indah, ternyata tidak. Ini kenyataan. Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal semenjak kami pacaran.
Gawai yang melekat di tangannya. Seperti sekarang gawai itu bagai terus menerus mengecup pipinya. Dia jelas mengobrol dengan lelaki. Aku tidak tuli.
"Iya, terima kasih Joshua. Semua aman, usahakan jangan sampai ada yang tahu tentang rahasia kita. Aku tidak sabar bertemu denganmu."
Aku bertanya ketika dia menyudahi telepon. "Rahasia apa?"
"Kalau aku beritahu, bukan rahasia namanya."
Adrian Si cantik memakai pakaian sabrina ketat putih berkombinasi dengan bawahan celana jeans panjang. Dia membenarkan posisi tas lengan hitam. Aku lupa namanya, tapi dia dokter hewan yang pernah menemaniku bermain cinta, cinta satu malam tanpa relasi. Aku tidak bisa cuek, apalagi melampiaskan emosi pada makhluk lembut ini. Jadi aku tersenyum, bicara dengan nada ramah. "Selamat sore Bu Dokter." "Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku memasang badan berdiri di depan pintu. "Sorry, kita bicara di ruang tunggu saja, yuk." Kami pergi ke lantai satu, duduk santai menempati dua sofa berdekatan. Aku mentraktir minum, membeli diet kola di mesin penjual minuman.
Adrian Aroma kopi bercampur bau perpustakaan. Pelan obrolan di sekitar. Kafe kopi baca, lokasi nyaman untuk berbincang. Aku tahu tempat ini dari gadis kutu buku yang kutaklukkan. Siapa sangka aku akan kemari lagi. Aku duduk di sofa berlengan di depannya. Dihadapanku Aisyah duduk santai. Meja bundar menjadi pemisah di antara kami. "Kamu suka?" tanyaku. Dia mengangguk, menaruh buku ke atas meja. "Aku tidak tahu kalau kamu suka membaca?" Hinaan kah? "Nah, aku tidak suka, tapi aku suka kopi dan kue tart di sini. Rasanya enak." "Ya, aku bekerja di sini." Astaga, aku malu sendiri jadinya.
Adrian Aku mengantar Fany pulang dari kampus. Lagi-lagi dia menelepon seseorang. Hubungan cinta butuh rasa 'percaya'. Aku percaya pada Fany. Ok, ada lubang kecil di kalimat 'percaya'. Lubang kecil itu hanya bisa ditutup dengan bertemu Joshua. Aku tebak dia pria pilihan ibunya. Aku memukul stir berkali-kali saking kesalnya. "Sialan!" "Tenanglah, aku sedang menelepon," keluh Fany, tetap fokus menggenggam telepon bodohnya. Biar aku tebak. "Joshua?" Dia mengangguk cepat, menutup mulutku dengan jarinya. "Helo, Joshua? Bagaimana?" Aku menoleh mendapatinya tertawa lepas sampai menutup mulut. Dia
Fany Aku tidak ingin mengajak Adrian menemui Joshua karena khawatir akan tingkahnya nanti. Bukan hal buruk, aku menikmati dia cemburu. Cemburu tanda cinta, kan? Semakin Adrian bertingkah aneh, semakin besar cintanya padaku, tapi bagaimana kelak jika bertemu Joshua? Dia belum siap, butuh waktu. Sementara hubunganku dengan Joshua semakin dekat. Karena umur kami tidak terpaut jauh, dia enak diajak mengobrol. Aku harap kelak Joshua dan Adrian bisa segera bertemu, semoga mereka bisa menjadi teman. Aku memarkir mobil di lengan jalan depan kafe kopi baca. Aroma kopi semerbak di ruang penuh rak buku. Suara obrolan kecil sesekali terdengar mengiringi suara kertas dibalik. Sepertinya ini kafe kopi baca. Aku melambai pada sosok lelaki tampan yang tersenyum padaku. Penampilannya … beda dengan malam terakhir kami bertemu. Dia memakai sweater manis panjang dan celana jeans panjang longgar, lebih seperti mah
Fany "Adrian?" Aku tidak percaya dia datang kemari memakai motor besar. Bukannya dia bersumpah tidak naik motor lagi "Ada apa Nona?" tanya Joshua. "Dia temanmu?" "Pacar.” Aku menggenggam tangan Josh di atas meja. “Dengar, dia impulsif dan pencemburu, jadi kamu jangan--" "Dia akan semakin cemburu jika melihatmu menggenggam tanganku." Oh tidak, dia pasti akan melampiaskan semua amarah pada Joshua. Joshua terkekeh mengamati gerak-gerik Adrian di luar. "Pacarmu keren, apa dia anggota geng motor?" "Joshua aku mohon, lari." Dia tertawa. "Nona terlalu khawatir. Dia pria baik." "Dulu dia menghajar enam senior yang menggangguku di sekolah. Aku tak mau kamu babak belur." Adrian masuk ke kafe, menghampiri kami dengan wajah kesetanan, matanya tak berkedip menghakimi kami dengan pikiran-pikiran yang pasti negatif. Aku tahu itu! Aku berdiri, menggenggam tangannya. "A
Fany Kenapa aku merasa Joshua mirip Adrian. Tampan, urakan, menyebalkan. Ya dia urakan, tetapi di depanku dia bisa menekan hal itu, sementara Adrian malah di depanku lepas kendali. Setelah mandi dan berganti baju kasual, segera menemui Joshua. Sesampainya di sana, aku duduk santai jauh dari jendela. Dia telah berganti pakaian menjadi lebih santai, sweeter lengan panjang, dan celana jeans oblong. Baru saja aku duduk, dia langsung memberi wajah serius tanpa senyum. "Baiklah, Nona. Dengar baik-baik. Aku membongkar dokumen rahasia yang sangat tua." Dia menaruh tumpukan kertas print-print-nan warna putih, bergambar dokumen yang menguning ke atas meja. Terdapat banyak foto di kertas-kertas itu, foto waktu ayah masih muda beserta Tuan Bened. Mungkin dia mengambil foto dokumen-dokumen ini dengan terburu-buru, lalu menge-print-nya. Salah satu dokumen adalah pembukuan awal perusahaan. Joshua berkata, "
(Adrian)"Kamu semakin pagi ya, bangunnya." Aisyah mengunci pintu kamarnya sekarang. Sepertinya dia kaget.Aku beri senyum kecil sembari menutup pintu kamar. "Dapat salam dari Joshua. Mungkin 4 Juli dia bakal menginap di kamarku.""Jadi sekarang kamu mulai mencoba sesama jenis." Wajahnya meledek, menepuk pundakku pergi duluan."Bukan seperti itu. Siapa tau kalian bisa berpesta kopi sambil membaca buku sampai pagi di lantai atap?""Segera pasang bendera pelangimu, Adrian," sahutnya, sembari menuruni tangga.Sekarang dia bersikap lebih lepas dari biasa. Mungkin karena menganggapku sebagai teman? Gadis lucu."Adrian." Seorang pria t
Adrian Tempatku bekerja adalah surga bagiku, mampu merubah mood buruk menjadi cerah. Beruntung aku mengikuti nasihat Carl untuk bekerja di sini. Gaji pertama, $750. "Lihat? Senyummu manis sekali setelah menerima uang," komentar Carl. "Jangan ganggu dia Carl, nanti hasil menato-nya jelek," sahut teman kerjaku. Carl duduk di sofa tunggu menghitung uang kas toko. Matanya bersinar tak berkedip. Tawanya pun mulai mirip Tuan John. "Dua bulan lagi aku bisa beli motor baru," gumamnya. "Belajar dulu naik motor," sahutku. Dia tetap tertawa-tawa tanpa beban. Dasar mata duitan. Setelah 'pasien'-ku puas aku hendak menggarap pasien lain, tapi bocah kecil masuk ke tempatku bekerja. Anak Elisa itu menarik-narik bagian bawah kaosku. Melihat keponakannya menggangguku bekerja, Carl berkomentar, “Bocah, kalau mau main nanti sore, ya, sekarang Paman Adrian sedang bekerja." Bo
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du