Fany
"Adrian?" Aku tidak percaya dia datang kemari memakai motor besar. Bukannya dia bersumpah tidak naik motor lagi
"Ada apa Nona?" tanya Joshua. "Dia temanmu?"
"Pacar.” Aku menggenggam tangan Josh di atas meja. “Dengar, dia impulsif dan pencemburu, jadi kamu jangan--"
"Dia akan semakin cemburu jika melihatmu menggenggam tanganku."
Oh tidak, dia pasti akan melampiaskan semua amarah pada Joshua.
Joshua terkekeh mengamati gerak-gerik Adrian di luar. "Pacarmu keren, apa dia anggota geng motor?"
"Joshua aku mohon, lari."
Dia tertawa. "Nona terlalu khawatir. Dia pria baik."
"Dulu dia menghajar enam senior yang menggangguku di sekolah. Aku tak mau kamu babak belur."
Adrian masuk ke kafe, menghampiri kami dengan wajah kesetanan, matanya tak berkedip menghakimi kami dengan pikiran-pikiran yang pasti negatif. Aku tahu itu!
Aku berdiri, menggenggam tangannya. "A
Fany Kenapa aku merasa Joshua mirip Adrian. Tampan, urakan, menyebalkan. Ya dia urakan, tetapi di depanku dia bisa menekan hal itu, sementara Adrian malah di depanku lepas kendali. Setelah mandi dan berganti baju kasual, segera menemui Joshua. Sesampainya di sana, aku duduk santai jauh dari jendela. Dia telah berganti pakaian menjadi lebih santai, sweeter lengan panjang, dan celana jeans oblong. Baru saja aku duduk, dia langsung memberi wajah serius tanpa senyum. "Baiklah, Nona. Dengar baik-baik. Aku membongkar dokumen rahasia yang sangat tua." Dia menaruh tumpukan kertas print-print-nan warna putih, bergambar dokumen yang menguning ke atas meja. Terdapat banyak foto di kertas-kertas itu, foto waktu ayah masih muda beserta Tuan Bened. Mungkin dia mengambil foto dokumen-dokumen ini dengan terburu-buru, lalu menge-print-nya. Salah satu dokumen adalah pembukuan awal perusahaan. Joshua berkata, "
(Adrian)"Kamu semakin pagi ya, bangunnya." Aisyah mengunci pintu kamarnya sekarang. Sepertinya dia kaget.Aku beri senyum kecil sembari menutup pintu kamar. "Dapat salam dari Joshua. Mungkin 4 Juli dia bakal menginap di kamarku.""Jadi sekarang kamu mulai mencoba sesama jenis." Wajahnya meledek, menepuk pundakku pergi duluan."Bukan seperti itu. Siapa tau kalian bisa berpesta kopi sambil membaca buku sampai pagi di lantai atap?""Segera pasang bendera pelangimu, Adrian," sahutnya, sembari menuruni tangga.Sekarang dia bersikap lebih lepas dari biasa. Mungkin karena menganggapku sebagai teman? Gadis lucu."Adrian." Seorang pria t
Adrian Tempatku bekerja adalah surga bagiku, mampu merubah mood buruk menjadi cerah. Beruntung aku mengikuti nasihat Carl untuk bekerja di sini. Gaji pertama, $750. "Lihat? Senyummu manis sekali setelah menerima uang," komentar Carl. "Jangan ganggu dia Carl, nanti hasil menato-nya jelek," sahut teman kerjaku. Carl duduk di sofa tunggu menghitung uang kas toko. Matanya bersinar tak berkedip. Tawanya pun mulai mirip Tuan John. "Dua bulan lagi aku bisa beli motor baru," gumamnya. "Belajar dulu naik motor," sahutku. Dia tetap tertawa-tawa tanpa beban. Dasar mata duitan. Setelah 'pasien'-ku puas aku hendak menggarap pasien lain, tapi bocah kecil masuk ke tempatku bekerja. Anak Elisa itu menarik-narik bagian bawah kaosku. Melihat keponakannya menggangguku bekerja, Carl berkomentar, “Bocah, kalau mau main nanti sore, ya, sekarang Paman Adrian sedang bekerja." Bo
Adrian Aku duduk di kursi panjang. Banyak penjahat di sini sedang ditanya oleh polisi, sepertinya terjadi kerusuhan. "Adrian!" Carl duduk di sebelahku, mengamati borgol yang kupakai. "Gelang yang bagus." "Mau mencoba?" "Carl, jangan mengejeknya. Adrian, maaf. Karena hal ini kamu--" "Tidak masalah." Walau masalah ini begitu besar, dia tak perlu tahu. Wanita tidak perlu terbebani oleh urusan pria. Elisa duduk di sisiku yang lain. Daripada melihat Carl, lebih enak melihat bibi muda. Wajahnya merana, penuh beban tak terlihat. Andai tidak diborgol aku pasti menggenggam telapak tangannya, mengusap pipi lembut itu. Sekarang aku hanya bisa ber
Adrian Polisi menanyaiku macam-macam, mulai pertanyaan normal seperti alamat, pekerjaan, status, hingga kartu resmi Imigran. "Aku asli warga Amerika, lahir dan besar di California. Jadi mana mungkin aku punya kartu Imigran." "Kamu yakin? Apa orang tuamu memiliki darah Italia?" Pundakku naik turun. Aku tak pernah bertemu Nenek dan Kakek. "Yang jelas Ibu dan Ayahku orang Amerika." Sesekali aku mengintip pintu ruang komisaris. Semoga dia ingat siapa diriku. Banyak hal yang ingin kubicarakan, terlebih tentang isi pembicaraannya dengan mendiang Ayah dulu. Polisi kekar berengseknpacar Sea masuk ke ruang interogasi. Entah apa yang dia bisikkan pada polisi yang sedang menginterogasik
Fany Aku duduk di kursi depan, menutup pintu mobil. "Jangan lupa sabuk pengaman," ujar Casandra, mengamati dengan penuh perhatian ketika aku memakai sabuk pengaman. "Siap?" Senyum tipisnya semakin jelas ketika aku mengangguk, lalu dia memacu mobil, Peugeot hitamnya pergi dari kampus, tak lupa menglakson beberapa teman yang melambai kecil di trotoar. "Jadi, kenapa tidak meminta supirmu untuk mengantar?" tanyanya. "Adrian sibuk, lagi pula aku hanya perlu dengan pastur Rafael di sana, tidak perlu membawanya. Terima kasih ya, mau mengantar." "Kita bersahabat, jangan sungkan." Syukurlah Casandra tidak mewawancarai. Dia selalu seperti ini, paham mana yang masalah pribadi dan mana yang masalah bisa dibagi. "Kita menginap di rumahnya, tanpa ada dirinya. Apa tidak aneh?" "Malah bagus, di sana hanya ada kita, Kimberly dan Bibi Nicole." "Semua wanita, huh?" tanyanya, bersemanga
Fany Setelah kejadian tempo hari di depan minimarket, aku selalu mengantongi senjata sengat listrik di dalam tas. Jika ternyata pengemudi SUV hitam orang jahat, akan aku setrum hingga otaknya mencair. Sepatu kulit hitam menapak tanah. Celana kain biru tua bergerak terkena hembusan nakal angin. Ya Tuhan, ternyata dia. "Butuh bantuan?" tanya Joshua, melipat lengan kemeja panjang lalu melepas dasi, mendekati kai. "Wow, kamu kenal CEO itu?" bisik Casandra, mengusap telapak tangannya ke bokongku. Padahal tangan itu kotor! "Dia bukan CEO, hanya pria tampan biasa," bisikku, sembari tersenyum menyambut Joshua.
(Fany)Semakin dekat, semakin jelas suara tangis yang berasal dari lantai dua. Suara gadis, tapi siapa? Kim? Bibi? Ya Tuhan, jaga mereka.Kami mengendap-endap seperti maling, mengekor pada Joshua. Jika ada apa-apa biar pria yang maju. Kami sampai di muka kamar lantai dua, mendapati Kim duduk di kasur, menelungkup kepala pada kaki yang melipat.Aku menerobos masuk, duduk di sebelahnya. Kehadiranku membuat tangis Kim makin besar, dia memeluk erat badanku."Kak, bagaimana ini? Kakak harus membantuku.""Ada apa?" tanyaku, sambil mengelus-elus punggungnya, mencoba menenangkan Kim."Apa terjadi sesuatu pada Ibumu?" selidik Joshua, sembari menyimpan senjatanya ke balik jas.