(Fany)
Semakin dekat, semakin jelas suara tangis yang berasal dari lantai dua. Suara gadis, tapi siapa? Kim? Bibi? Ya Tuhan, jaga mereka.
Kami mengendap-endap seperti maling, mengekor pada Joshua. Jika ada apa-apa biar pria yang maju. Kami sampai di muka kamar lantai dua, mendapati Kim duduk di kasur, menelungkup kepala pada kaki yang melipat.
Aku menerobos masuk, duduk di sebelahnya. Kehadiranku membuat tangis Kim makin besar, dia memeluk erat badanku.
"Kak, bagaimana ini? Kakak harus membantuku."
"Ada apa?" tanyaku, sambil mengelus-elus punggungnya, mencoba menenangkan Kim.
"Apa terjadi sesuatu pada Ibumu?" selidik Joshua, sembari menyimpan senjatanya ke balik jas.<
(Fany)Aku menarik Casandra mundur dari tempat mengintip, biar Joshua saja yang mengawasi Kim kecil."Ada apa?" keluhnya. "Apa kamu tidak bisa melihat, ini sedang seru-serunya--""Aku tahu, tapi--"Casandra memotong. "Ini sangat hot, Fan. Lebih hot dari cintamu dan si kunyuk Adrian.""Iya tapi--" dia memotong ucapanku."Jadi, pemuda itu sengaja berkata untuk menjauh, supaya Kakaknya yang juga menanti jawab, mundur. Sekarang dia diam-diam datang kemari, mengutarakan cinta.""Casandra diam," sentakku, membekap mulutnya.Setelah dia mengangguk, aku mengeluarkan barang temuanku.
(Fany) Ada teman Bibi Nicole datang menemani Kim. Sepertinya Bibi tidak pergi begitu saja, dia tetap menjaga Kim. Ini membuatku merasa aman, juga gugup. Dengan adanya orang tambahan, gerak Joshua bakal terganggu kan? Aku duduk di teras rumah sambil menikmati sunyi malam di Glendale. Masih terngiang kejadian tempo hari, ketika aku masuk ke mobil Adrian. Siapa sangka dia benar-benar berniat berubah. Aku mendongak mendapati langit cukup cerah, langit khas musim panas. Ada satu bintang terang di sana, yang aku beri nama Adrian Star. Bintang itu memawan seperti Adrian, terang di kelam langit, cahaya biru yang kuat mendominasi yang lain. Hangat air mata terasa di pipi. Aku menangis?
(Adrian)Aku jarang makan di restoran. Sarangku Pub, bar, bukan restoran Italia. Sea yang mengajakku kemari.Sembari mengirim alamat restoran pada Carl, aku tak bisa beralih dari Sea yang duduk di depanku. Aku tidak bisa bohong, dia sangat menawan dan seksi memakai tanktop hitam ketat dan celana jeans panjang.Tato di badannya, tato bunga di dua lengan dan sepertinya menyambung menjadi satu. Aku yakin itu, sayang pakaiannya menutup semua tato di dada.Tempat ini tidak buruk. Suara tv tabung di dinding memberi hiburan, angin sepoi dari kipas di langit-langit lebih terasa hangat dari udara di luar sana. Meja berjajar memanjang di sebelah kaca, kaca dengan tulisan Moreli."Kamu suka tempat ini?" tanya Sea, semb
[POV Adrian] ----- Malam semakin pekat tapi jalanan kota tetap ramai oleh kendaraan. Kami tak ingin menunda. Hari ini harus bertemu dengan Tuan Downson. Alfred masih berjas hitam mengemudi mobil miliknya. Pulang kerja dia langsung menjemputku di apartemen. Untuk menghemat bensin, aku menumpang ke mobilnya. Dia menoleh sejenak kepadaku. "Apa kamu yakin dengan info ini?" Aku mengangguk. Supaya dia tidak banyak tanya, aku ceritakan saja apa yang terjadi. "Kamu menolong gadis?" tanyanya lalu terkekeh, sesekali memandangku tak percaya. "Dia pasti cantik. Biar aku tebak, kamu menidurinya?" "Normalnya iya, tapi … nah,
[POV Adrian] ----- Aku dan Alfred duduk di sofa ruang tengah, sementara Nyonya Downson pergi ke dapur. Hangat di dalam rumah membuat kami nyaman. Remang lampu menerangi ruang tengah yang lumayan berantakan. Mainan bocah di lantai berserakan, juga ada home system game. Sepertinya ada anak-anak di rumah ini. "Aroma kue," bisik Alfred, hidungnya mengendus-endus. "Kamu ingat dulu ketika main ke rumah Tuan Downson yang lama, Nenek sering membuat kue kering?" Aku mengangguk, dulu Fany dan Alfred mencintai kue ini. Sementara aku lebih suka mengagumi pistol Tuan Downson, dia koleksi berbagai macam senjata, sekarang entah di mana. Nenek datang, menemui kami. "Nah ini kue kesukaan
[POV Adrian] ----- Pagi ini aku duduk di sofa dalam ruang tunggu apartemen, menunggu Fany datang menjemput seperti biasa. Kejadian tadi malam membuatku kecewa. Kecewa … suatu kalimat yang jarang terlintas dalam benakku. Karena setelah kematian Ayah, aku tidak banyak berharap dari dunia ini. Sekarang … entah kenapa aku ingin menggigit sesuatu. Seseorang menginjak sepatuku, lalu duduk di sofa sebelah. Ternyata dia. "Ada apa dengan wajah melipat itu? Apa susah bangun pagi hingga memasang raut menyebalkan macam itu?" tanya Fany, senyum nakal menghias wajah. Aku menggeleng. "Bangun pagi membuatku sehat." &n
[POV Fany] ----- Dua pria berbisik-bisik seakan kenal lama. Apa salahnya bicara dengan keras? Untuk mobil, berkali-kali kunasehati, rawat benda antik ini, tapi Adrian sibuk dengan bir, wanita, rokok. Andai uang rokok ditabung, dia bisa membeli mobil yang lebih bagus. Dia mengumpat berkali-kali. Jangan bilang benda terkutuk ini mengkhianatinya. Oh Tuhan, beri aku kesabaran. Adrian menghampiri, membungkuk di sebelah pintu mobil. "Fany, keluar bawa tasmu." "kenapa?" "Aku yang punya mobil, menurut saja lah."
[POV Fany] ----- Aku memberi kesempatannya bicara. Lima belas menit cukup. "Bicaralah." Telingaku mendengar, wajah fokus ke depan. Mobilnya melambat. Bagus, bicara sambil mengemudi mobil memang bahaya. Alex berkata, "Aku anak haram, sebekum ini tinggal di panti asuhan. Hanya karena anak-anak Ayah wafat, serta Ibu kandungku tiada, barulah aku berkesempatan masuk ke keluarga ini. Aku menyayangi Ayah, tapi ibu tiriku … dia … bagaimana ya menjelaskannya--" "Dia monster jahat yang hanya menganggapmu sebagai pion?" Alex mengangguk pelan. "B