Fany
Kenapa aku merasa Joshua mirip Adrian. Tampan, urakan, menyebalkan. Ya dia urakan, tetapi di depanku dia bisa menekan hal itu, sementara Adrian malah di depanku lepas kendali.
Setelah mandi dan berganti baju kasual, segera menemui Joshua. Sesampainya di sana, aku duduk santai jauh dari jendela. Dia telah berganti pakaian menjadi lebih santai, sweeter lengan panjang, dan celana jeans oblong.
Baru saja aku duduk, dia langsung memberi wajah serius tanpa senyum. "Baiklah, Nona. Dengar baik-baik. Aku membongkar dokumen rahasia yang sangat tua."
Dia menaruh tumpukan kertas print-print-nan warna putih, bergambar dokumen yang menguning ke atas meja. Terdapat banyak foto di kertas-kertas itu, foto waktu ayah masih muda beserta Tuan Bened. Mungkin dia mengambil foto dokumen-dokumen ini dengan terburu-buru, lalu menge-print-nya.
Salah satu dokumen adalah pembukuan awal perusahaan.
Joshua berkata, "
(Adrian)"Kamu semakin pagi ya, bangunnya." Aisyah mengunci pintu kamarnya sekarang. Sepertinya dia kaget.Aku beri senyum kecil sembari menutup pintu kamar. "Dapat salam dari Joshua. Mungkin 4 Juli dia bakal menginap di kamarku.""Jadi sekarang kamu mulai mencoba sesama jenis." Wajahnya meledek, menepuk pundakku pergi duluan."Bukan seperti itu. Siapa tau kalian bisa berpesta kopi sambil membaca buku sampai pagi di lantai atap?""Segera pasang bendera pelangimu, Adrian," sahutnya, sembari menuruni tangga.Sekarang dia bersikap lebih lepas dari biasa. Mungkin karena menganggapku sebagai teman? Gadis lucu."Adrian." Seorang pria t
Adrian Tempatku bekerja adalah surga bagiku, mampu merubah mood buruk menjadi cerah. Beruntung aku mengikuti nasihat Carl untuk bekerja di sini. Gaji pertama, $750. "Lihat? Senyummu manis sekali setelah menerima uang," komentar Carl. "Jangan ganggu dia Carl, nanti hasil menato-nya jelek," sahut teman kerjaku. Carl duduk di sofa tunggu menghitung uang kas toko. Matanya bersinar tak berkedip. Tawanya pun mulai mirip Tuan John. "Dua bulan lagi aku bisa beli motor baru," gumamnya. "Belajar dulu naik motor," sahutku. Dia tetap tertawa-tawa tanpa beban. Dasar mata duitan. Setelah 'pasien'-ku puas aku hendak menggarap pasien lain, tapi bocah kecil masuk ke tempatku bekerja. Anak Elisa itu menarik-narik bagian bawah kaosku. Melihat keponakannya menggangguku bekerja, Carl berkomentar, “Bocah, kalau mau main nanti sore, ya, sekarang Paman Adrian sedang bekerja." Bo
Adrian Aku duduk di kursi panjang. Banyak penjahat di sini sedang ditanya oleh polisi, sepertinya terjadi kerusuhan. "Adrian!" Carl duduk di sebelahku, mengamati borgol yang kupakai. "Gelang yang bagus." "Mau mencoba?" "Carl, jangan mengejeknya. Adrian, maaf. Karena hal ini kamu--" "Tidak masalah." Walau masalah ini begitu besar, dia tak perlu tahu. Wanita tidak perlu terbebani oleh urusan pria. Elisa duduk di sisiku yang lain. Daripada melihat Carl, lebih enak melihat bibi muda. Wajahnya merana, penuh beban tak terlihat. Andai tidak diborgol aku pasti menggenggam telapak tangannya, mengusap pipi lembut itu. Sekarang aku hanya bisa ber
Adrian Polisi menanyaiku macam-macam, mulai pertanyaan normal seperti alamat, pekerjaan, status, hingga kartu resmi Imigran. "Aku asli warga Amerika, lahir dan besar di California. Jadi mana mungkin aku punya kartu Imigran." "Kamu yakin? Apa orang tuamu memiliki darah Italia?" Pundakku naik turun. Aku tak pernah bertemu Nenek dan Kakek. "Yang jelas Ibu dan Ayahku orang Amerika." Sesekali aku mengintip pintu ruang komisaris. Semoga dia ingat siapa diriku. Banyak hal yang ingin kubicarakan, terlebih tentang isi pembicaraannya dengan mendiang Ayah dulu. Polisi kekar berengseknpacar Sea masuk ke ruang interogasi. Entah apa yang dia bisikkan pada polisi yang sedang menginterogasik
Fany Aku duduk di kursi depan, menutup pintu mobil. "Jangan lupa sabuk pengaman," ujar Casandra, mengamati dengan penuh perhatian ketika aku memakai sabuk pengaman. "Siap?" Senyum tipisnya semakin jelas ketika aku mengangguk, lalu dia memacu mobil, Peugeot hitamnya pergi dari kampus, tak lupa menglakson beberapa teman yang melambai kecil di trotoar. "Jadi, kenapa tidak meminta supirmu untuk mengantar?" tanyanya. "Adrian sibuk, lagi pula aku hanya perlu dengan pastur Rafael di sana, tidak perlu membawanya. Terima kasih ya, mau mengantar." "Kita bersahabat, jangan sungkan." Syukurlah Casandra tidak mewawancarai. Dia selalu seperti ini, paham mana yang masalah pribadi dan mana yang masalah bisa dibagi. "Kita menginap di rumahnya, tanpa ada dirinya. Apa tidak aneh?" "Malah bagus, di sana hanya ada kita, Kimberly dan Bibi Nicole." "Semua wanita, huh?" tanyanya, bersemanga
Fany Setelah kejadian tempo hari di depan minimarket, aku selalu mengantongi senjata sengat listrik di dalam tas. Jika ternyata pengemudi SUV hitam orang jahat, akan aku setrum hingga otaknya mencair. Sepatu kulit hitam menapak tanah. Celana kain biru tua bergerak terkena hembusan nakal angin. Ya Tuhan, ternyata dia. "Butuh bantuan?" tanya Joshua, melipat lengan kemeja panjang lalu melepas dasi, mendekati kai. "Wow, kamu kenal CEO itu?" bisik Casandra, mengusap telapak tangannya ke bokongku. Padahal tangan itu kotor! "Dia bukan CEO, hanya pria tampan biasa," bisikku, sembari tersenyum menyambut Joshua.
(Fany)Semakin dekat, semakin jelas suara tangis yang berasal dari lantai dua. Suara gadis, tapi siapa? Kim? Bibi? Ya Tuhan, jaga mereka.Kami mengendap-endap seperti maling, mengekor pada Joshua. Jika ada apa-apa biar pria yang maju. Kami sampai di muka kamar lantai dua, mendapati Kim duduk di kasur, menelungkup kepala pada kaki yang melipat.Aku menerobos masuk, duduk di sebelahnya. Kehadiranku membuat tangis Kim makin besar, dia memeluk erat badanku."Kak, bagaimana ini? Kakak harus membantuku.""Ada apa?" tanyaku, sambil mengelus-elus punggungnya, mencoba menenangkan Kim."Apa terjadi sesuatu pada Ibumu?" selidik Joshua, sembari menyimpan senjatanya ke balik jas.
(Fany)Aku menarik Casandra mundur dari tempat mengintip, biar Joshua saja yang mengawasi Kim kecil."Ada apa?" keluhnya. "Apa kamu tidak bisa melihat, ini sedang seru-serunya--""Aku tahu, tapi--"Casandra memotong. "Ini sangat hot, Fan. Lebih hot dari cintamu dan si kunyuk Adrian.""Iya tapi--" dia memotong ucapanku."Jadi, pemuda itu sengaja berkata untuk menjauh, supaya Kakaknya yang juga menanti jawab, mundur. Sekarang dia diam-diam datang kemari, mengutarakan cinta.""Casandra diam," sentakku, membekap mulutnya.Setelah dia mengangguk, aku mengeluarkan barang temuanku.
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du