Fany
Aku duduk di kursi depan, menutup pintu mobil.
"Jangan lupa sabuk pengaman," ujar Casandra, mengamati dengan penuh perhatian ketika aku memakai sabuk pengaman.
"Siap?" Senyum tipisnya semakin jelas ketika aku mengangguk, lalu dia memacu mobil, Peugeot hitamnya pergi dari kampus, tak lupa menglakson beberapa teman yang melambai kecil di trotoar.
"Jadi, kenapa tidak meminta supirmu untuk mengantar?" tanyanya.
"Adrian sibuk, lagi pula aku hanya perlu dengan pastur Rafael di sana, tidak perlu membawanya. Terima kasih ya, mau mengantar."
"Kita bersahabat, jangan sungkan."
Syukurlah Casandra tidak mewawancarai. Dia selalu seperti ini, paham mana yang masalah pribadi dan mana yang masalah bisa dibagi.
"Kita menginap di rumahnya, tanpa ada dirinya. Apa tidak aneh?"
"Malah bagus, di sana hanya ada kita, Kimberly dan Bibi Nicole."
"Semua wanita, huh?" tanyanya, bersemanga
Fany Setelah kejadian tempo hari di depan minimarket, aku selalu mengantongi senjata sengat listrik di dalam tas. Jika ternyata pengemudi SUV hitam orang jahat, akan aku setrum hingga otaknya mencair. Sepatu kulit hitam menapak tanah. Celana kain biru tua bergerak terkena hembusan nakal angin. Ya Tuhan, ternyata dia. "Butuh bantuan?" tanya Joshua, melipat lengan kemeja panjang lalu melepas dasi, mendekati kai. "Wow, kamu kenal CEO itu?" bisik Casandra, mengusap telapak tangannya ke bokongku. Padahal tangan itu kotor! "Dia bukan CEO, hanya pria tampan biasa," bisikku, sembari tersenyum menyambut Joshua.
(Fany)Semakin dekat, semakin jelas suara tangis yang berasal dari lantai dua. Suara gadis, tapi siapa? Kim? Bibi? Ya Tuhan, jaga mereka.Kami mengendap-endap seperti maling, mengekor pada Joshua. Jika ada apa-apa biar pria yang maju. Kami sampai di muka kamar lantai dua, mendapati Kim duduk di kasur, menelungkup kepala pada kaki yang melipat.Aku menerobos masuk, duduk di sebelahnya. Kehadiranku membuat tangis Kim makin besar, dia memeluk erat badanku."Kak, bagaimana ini? Kakak harus membantuku.""Ada apa?" tanyaku, sambil mengelus-elus punggungnya, mencoba menenangkan Kim."Apa terjadi sesuatu pada Ibumu?" selidik Joshua, sembari menyimpan senjatanya ke balik jas.
(Fany)Aku menarik Casandra mundur dari tempat mengintip, biar Joshua saja yang mengawasi Kim kecil."Ada apa?" keluhnya. "Apa kamu tidak bisa melihat, ini sedang seru-serunya--""Aku tahu, tapi--"Casandra memotong. "Ini sangat hot, Fan. Lebih hot dari cintamu dan si kunyuk Adrian.""Iya tapi--" dia memotong ucapanku."Jadi, pemuda itu sengaja berkata untuk menjauh, supaya Kakaknya yang juga menanti jawab, mundur. Sekarang dia diam-diam datang kemari, mengutarakan cinta.""Casandra diam," sentakku, membekap mulutnya.Setelah dia mengangguk, aku mengeluarkan barang temuanku.
(Fany) Ada teman Bibi Nicole datang menemani Kim. Sepertinya Bibi tidak pergi begitu saja, dia tetap menjaga Kim. Ini membuatku merasa aman, juga gugup. Dengan adanya orang tambahan, gerak Joshua bakal terganggu kan? Aku duduk di teras rumah sambil menikmati sunyi malam di Glendale. Masih terngiang kejadian tempo hari, ketika aku masuk ke mobil Adrian. Siapa sangka dia benar-benar berniat berubah. Aku mendongak mendapati langit cukup cerah, langit khas musim panas. Ada satu bintang terang di sana, yang aku beri nama Adrian Star. Bintang itu memawan seperti Adrian, terang di kelam langit, cahaya biru yang kuat mendominasi yang lain. Hangat air mata terasa di pipi. Aku menangis?
(Adrian)Aku jarang makan di restoran. Sarangku Pub, bar, bukan restoran Italia. Sea yang mengajakku kemari.Sembari mengirim alamat restoran pada Carl, aku tak bisa beralih dari Sea yang duduk di depanku. Aku tidak bisa bohong, dia sangat menawan dan seksi memakai tanktop hitam ketat dan celana jeans panjang.Tato di badannya, tato bunga di dua lengan dan sepertinya menyambung menjadi satu. Aku yakin itu, sayang pakaiannya menutup semua tato di dada.Tempat ini tidak buruk. Suara tv tabung di dinding memberi hiburan, angin sepoi dari kipas di langit-langit lebih terasa hangat dari udara di luar sana. Meja berjajar memanjang di sebelah kaca, kaca dengan tulisan Moreli."Kamu suka tempat ini?" tanya Sea, semb
[POV Adrian] ----- Malam semakin pekat tapi jalanan kota tetap ramai oleh kendaraan. Kami tak ingin menunda. Hari ini harus bertemu dengan Tuan Downson. Alfred masih berjas hitam mengemudi mobil miliknya. Pulang kerja dia langsung menjemputku di apartemen. Untuk menghemat bensin, aku menumpang ke mobilnya. Dia menoleh sejenak kepadaku. "Apa kamu yakin dengan info ini?" Aku mengangguk. Supaya dia tidak banyak tanya, aku ceritakan saja apa yang terjadi. "Kamu menolong gadis?" tanyanya lalu terkekeh, sesekali memandangku tak percaya. "Dia pasti cantik. Biar aku tebak, kamu menidurinya?" "Normalnya iya, tapi … nah,
[POV Adrian] ----- Aku dan Alfred duduk di sofa ruang tengah, sementara Nyonya Downson pergi ke dapur. Hangat di dalam rumah membuat kami nyaman. Remang lampu menerangi ruang tengah yang lumayan berantakan. Mainan bocah di lantai berserakan, juga ada home system game. Sepertinya ada anak-anak di rumah ini. "Aroma kue," bisik Alfred, hidungnya mengendus-endus. "Kamu ingat dulu ketika main ke rumah Tuan Downson yang lama, Nenek sering membuat kue kering?" Aku mengangguk, dulu Fany dan Alfred mencintai kue ini. Sementara aku lebih suka mengagumi pistol Tuan Downson, dia koleksi berbagai macam senjata, sekarang entah di mana. Nenek datang, menemui kami. "Nah ini kue kesukaan
[POV Adrian] ----- Pagi ini aku duduk di sofa dalam ruang tunggu apartemen, menunggu Fany datang menjemput seperti biasa. Kejadian tadi malam membuatku kecewa. Kecewa … suatu kalimat yang jarang terlintas dalam benakku. Karena setelah kematian Ayah, aku tidak banyak berharap dari dunia ini. Sekarang … entah kenapa aku ingin menggigit sesuatu. Seseorang menginjak sepatuku, lalu duduk di sofa sebelah. Ternyata dia. "Ada apa dengan wajah melipat itu? Apa susah bangun pagi hingga memasang raut menyebalkan macam itu?" tanya Fany, senyum nakal menghias wajah. Aku menggeleng. "Bangun pagi membuatku sehat." &n