Adrian
Carl mencukur jenggot. Aku duduk di kursi tempat pembuatan tato, sementara dia sibuk mengoles busa cukur ke daguku.
"Apa kamu yakin, Carl? Ini akan mulus?" tanyaku.
"Santai Bro. Percaya pada Carl Johnson."
Pria Spanyol, teman kerjaku yang kupanggil Manuel tertawa sambil menato pelanggan. "Carl tidak pernah punya jenggot dan kamu percaya jika dia bisa?"
Aku nyaris bangkit, tapi Yun, gadis Korea, teman kerjaku di sebelah menahanku. "Carl selalu mencukur habis jenggotnya, jadi dia pro."
"Dengar?" sahut Carl, aku tidak suka cara tertawanya. "Rileks, Bro. Kamu berada di tangan orang ahli."
Well, dia tidak berbohong. Bukan hanya jenggot, dia juga menata rambutku dengan bagus memakai jelly.
"Bagus kan?" Dengan bangga Carl memamerkan rambutku, wajahku, di depan cermin.
"Carl?" Elisa datang, kedua alisnya naik melihatku. "Kamu sangat … keren."
"Terima kasih."
"
Adrian "Apa kamu lupa pada Paman terbaikmu, Nak?" "Tentu tidak!" Aku memberi pelukan erat kepada Paman William dan dia balas memeluk sambil menepuk punggung. Dia memandang lekat-lekat dari ujung sepatu sampai rambut. Suaranya begitu bersahabat dan senyum itu tidak pernah berhenti. "Kamu tambah tinggi, tampan, kekar, sungguh lelaki berkelas. Mana Kakak dan Ibumu, apa mereka datang? Oh, mana si cantik Kim?" "Mereka tidak ikut Paman. Hanya aku sendiri. Selamat ulang tahun, Paman." Aku mengeluarkan jam pemberian seorang gadis dulu, yang tidak pernah aku buka dari wadah. "Kamu tidak perlu memberi hadiah. Kehadiranmu saja cukup." Walau paman berkata seperti itu dia langsung melepas jam emas, lalu mengganti dengan jam digital pemberianku."Jadi Adrian, kenapa tidak masuk?" "Para penjaga tidak mengijinkan aku masuk karena tidak membawa undangan dan memakai dasi--" "Kamu bagian dari keluarga,
Adrian "Tuan Zulvian, aku kira kamu tidak datang." Wajah paman William langsung cerah. Sepertinya mereka berteman dekat. "Bagaimana mungkin aku tidak datang ke pesta ulang tahunmu?" Zul tertawa renyah, tawa khas yang dulu sering aku dengar. Dia berdecak kagum memandangku. "Lihat dia, siapa sangka dia akan datang kemari." "Aku tahu," jawab Nyonya. "Aku tidak menyangka orang kampung bertato menjijikkan seperti dia bisa masuk kemari." "Tato tidak ada yang menjijikkan Nyonya, tato adalah seni tubuh." Zul melepas beberapa kancing kemeja bagian atas. "Lihat? Aku memakai tato. Apa kalian di sini ada yang bertato? Ayo jangan malu-malu, calon senator bertanya di sini." Banyak pemuda mengangkat tangan, bahkan beberapa gadis anggun di meja seberang. "Lihat," kata Zul. "Apa semua orang ini juga sampah nyonya? Lagi pula Adrian Bened, adalah pahlawan." Sepertinya Fany penasaran hingga bertanya, "Bagaimana Tuan
Fany Dia tahu apa yang aku suka. Adrian menyetel musik country. Pemanas mobil juga menyala. Sengaja dia mampir ke starbuck untuk membeli green tea milk kesukaanku. "Minumlah, jalanan macet, akan lama sampai ke apartemenku," ujarnya. "Apartemenmu?" "Ya, kamu mau ke tempatku, kan? Ayolah, sekali-kali--" "Tidak. Antar aku pulang ke apartemenku." "Kenapa? Kita pacaran kan?" "Adrian, tolong jangan mendebat. Aku tahu isi kepalamu. Sorry, aku tidak ingin." "Kenapa? "Karena kamu Adrian. Aku tahu semua hal tentangmu dan kemesumanmu." Dia terkekeh dengan nada menyebalkan. "Baiklah, aku mengerti. Hanya suamimu dan Alfred yang bisa kan?" Ya Tuhan dia benar-benar menyebalkan. Aku kira setelah kejadian tadi dia bisa sedikit sadar. Aku kira dia telah move on dari kemesumannya itu. Kenapa pula dia membawa-bawa nama Alfred. Bodoh! "Maaf, aku lupa jika kamu ingin
Fany Aku melangkah mundur. Memandang mereka bertiga. Mereka kira aku bodoh atau bagaimana? "Ini pasti taktik Ibu untuk membawaku pulang, kan?" Mereka bertukar pandang. Aku tahu mereka memang berbohong. "Katakan pada wanita itu, jika ingin bertemu, datang kemari. Aku bukan hewan peliharaan." "Nona, Ayah Anda sakit di rumah. Jika tidak percaya, mari kita cek ke rumah." Pemuda ini berkata dengan nada serius, tiada senyum atau sesuatu yang aneh di wajahnya. Tuhan, apa Ayah memang sakit? Mungkin saja, setelah ribut antara anak dan istrinya. Tidak, aku tadi keterlaluan. Ayah … "Ayah!" Aku tak kuasa menahan tangis. Aku mengikuti mereka bertiga menaiki mobil SUV hitam, duduk di kursi tengah bersama pemuda berjas hitam. Sementara dua orang lain di depan. Selama di perjalanan begitu hening. Pemuda di samping cukup baik mengambil tisu di depan untukku. Walau hanya tisu makan, cukup untukku. "B
Fany "Bisa kita mampir ke starbuck?" pintaku. "Baik Nona." Aku sengaja membawa mereka bertiga ke sana supaya bisa bicara dengan bebas. Kami masuk ke starbuck yang padat pengunjung, duduk di kursi masing-masing memenuhi meja setelah memesan minuman. Ketiganya gugup bermain mata sambil berbisik-bisik. "Maaf membuat kalian bekerja lembur," ucapku. "Tidak apa-apa." Aku tahu mereka pasti bingung. Aku sendiri tidak ingin sampai seperti ini, tapi wanita itu yang memulai. Dia yang hendak menghancurkan hidupku. Apa salah jika aku ingin mempertahankan apa yang aku anggap patut untuk diperjuangkan? Masa depan bukan hal sepele. Aku berdehem kecil supaya mereka bisa fokus kepadaku. "Dengar, aku ingin kalian melakukan sesuatu. Bantu mencari keburukan Ibu. Cari tahu apa yang dia mau kenapa memaksaku menikah dengan Alex. Kalian harus membantuku." Lagi-lagi mereka bertukar mata. Sepertinya
Adrian Aku mengantar Fany pulang seperti biasa. Enam hari semenjak menjadi pacar Fany, gadis blonde itu belum mengeluh atau minta putus. Aku kira ini mimpi indah, ternyata tidak. Ini kenyataan. Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal semenjak kami pacaran. Gawai yang melekat di tangannya. Seperti sekarang gawai itu bagai terus menerus mengecup pipinya. Dia jelas mengobrol dengan lelaki. Aku tidak tuli. "Iya, terima kasih Joshua. Semua aman, usahakan jangan sampai ada yang tahu tentang rahasia kita. Aku tidak sabar bertemu denganmu." Aku bertanya ketika dia menyudahi telepon. "Rahasia apa?" "Kalau aku beritahu, bukan rahasia namanya."
Adrian Si cantik memakai pakaian sabrina ketat putih berkombinasi dengan bawahan celana jeans panjang. Dia membenarkan posisi tas lengan hitam. Aku lupa namanya, tapi dia dokter hewan yang pernah menemaniku bermain cinta, cinta satu malam tanpa relasi. Aku tidak bisa cuek, apalagi melampiaskan emosi pada makhluk lembut ini. Jadi aku tersenyum, bicara dengan nada ramah. "Selamat sore Bu Dokter." "Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku memasang badan berdiri di depan pintu. "Sorry, kita bicara di ruang tunggu saja, yuk." Kami pergi ke lantai satu, duduk santai menempati dua sofa berdekatan. Aku mentraktir minum, membeli diet kola di mesin penjual minuman.
Adrian Aroma kopi bercampur bau perpustakaan. Pelan obrolan di sekitar. Kafe kopi baca, lokasi nyaman untuk berbincang. Aku tahu tempat ini dari gadis kutu buku yang kutaklukkan. Siapa sangka aku akan kemari lagi. Aku duduk di sofa berlengan di depannya. Dihadapanku Aisyah duduk santai. Meja bundar menjadi pemisah di antara kami. "Kamu suka?" tanyaku. Dia mengangguk, menaruh buku ke atas meja. "Aku tidak tahu kalau kamu suka membaca?" Hinaan kah? "Nah, aku tidak suka, tapi aku suka kopi dan kue tart di sini. Rasanya enak." "Ya, aku bekerja di sini." Astaga, aku malu sendiri jadinya.