Adrian
Ini ciuman terbaik setelah kejadian di belakang sofa dulu. Perlahan aku menarik wajah dan mendapati wajah Fany sangat eksotis.
"Jadi, bagaimana?" tanyaku. "Kamu menikmatinya, kan?"
"Menikmati?" Nada bicaranya terdengar gugup dan bingung.
"Ciuman tadi."
"Biasa saja."
"Oh ya? Tapi wajahmu mengatakan oh Adrian, kenapa berhenti? Aku mau lagi."
Dia mendengus, tersenyum sinis, sembari membuang muka. Dasar gadis sok jual mahal. Apa susahnya mengakui jika diriku mampu membuatnya melayang tadi.
Aku menginginkan lagi dan dia pun begitu kan? Aku paksa dagunya kembali menghadapku, lalu aku meng
Adrian Beberapa orang keluar dari kamar mereka, sekedar mengintip apa yang terjadi. Beberapa memandang heran karena hal ini jarang terjadi. Yup, aku jarang membiarkan gadis cantik di depan pintu kamar, kecuali Fany di pagi hari. "Adrian Bened, aku tahu kamu ada di dalam." Dia menggedor pintu seperti gadis kesurupan. "Buka pintunya, Adrian!" "Halo manis." Suara santaiku membuat dia berhenti menggebrak pintu. Dia merapikan pakaian putih dan rok pendeknya yang sedikit kusut. "Aku kira kamu berada di dalam," ujarnya. Mau apa tunangan Alfred ke sini? "Ada perlu apa Messandre … Minerva …." Dia menjawab dengan nada kesal. "Kamu benar-benar tidak ingat namaku?" "Maaf. Aku kesulitan untuk mengingat nama wanita. Ada perlu apa?" "Bisa kita bicara di dalam?" tanyanya, sembari memutar-mutar gagang pintu. "Kita bicara di ruang tunggu saja, yuk. Aku traktir minum." "Kenapa?" Dia me
Fany "Sesuai jadwal, huh?" Komentar Adrian ketika menyambutku. Hmm, dia sudah siap ke kampus dengan berpakaian rapi. "Masuk, aku akan membuat sarapan untuk kita." "Wow … ok, mari kulihat apa yang kamu bisa." Kamar apartemen Adrian wangi. Dia juga harum. Kasurnya rapi, tiada wanita di sana. Bagus, sejauh ini semua berjalan dengan baik. Aku duduk manis di kursi bar kecil, menonton bagaimana dia memasak telur goreng, sosis, dan daging. Menurutku celemek membuatnya bertambah seksi. Apa kelak jika … kami menikah, dia akan seperti ini? Aduh, pikiranku ke mana-mana. "Jadi, bagaimana rencana kita di hari ulang tahun pernikahan orang tuamu?" "Hmm? Kamu datang dan temani aku, simpel." "Baiklah sayang, apapun demimu. Apa aku butuh membeli hadiah untuk Ayah mertua?" Dia membuatku kaget. "Percaya diri sekali kamu memanggilnya Ayah mertua?" Aku menerima makanan buatannya di atas meja, mencicipi
Fany Mobil Limo sampai ke restoran mewah tempat yang menjadi lokasi perayaan ulang tahun Ayah. Pintu mobil dibuka, angin sepoi hangat menerpa wajahku. Tempat ini dipenuhi orang berjas juga gadis bergaun malam mewah.Aku mengenali beberapa wajah yang tersenyum ramah, mereka teman-teman Ayah. "Mari Nona," ujar supir. "Tuan menanti di dalam." "Tuan siapa?" "Ayah Anda menyuruhku menjemput." Astaga, jadi Ayah? Pikiranku terlalu terpaku pada yang lain. Sungkan juga berdiam diri di limo, karena banyak mobil lain mengantri untuk menurunkan penumpang di belakang. Sepatu hak tinggiku mendarat ke trotoar, mobil limo hitam pergi. Mobil mewah silih berganti menurunkan orang. Lagi-lagi beberapa wajah yang aku kenal. Aku serius berdiri menanti Adrian. Mana mobil jeleknya? Aku tidak ingin dia kenapa-napa. Tunggu dulu, apa mobil sial itu mogok di jalan? Oh Ya Tuhan, jika begini hanc
Adrian Carl mencukur jenggot. Aku duduk di kursi tempat pembuatan tato, sementara dia sibuk mengoles busa cukur ke daguku. "Apa kamu yakin, Carl? Ini akan mulus?" tanyaku. "Santai Bro. Percaya pada Carl Johnson." Pria Spanyol, teman kerjaku yang kupanggil Manuel tertawa sambil menato pelanggan. "Carl tidak pernah punya jenggot dan kamu percaya jika dia bisa?" Aku nyaris bangkit, tapi Yun, gadis Korea, teman kerjaku di sebelah menahanku. "Carl selalu mencukur habis jenggotnya, jadi dia pro." "Dengar?" sahut Carl, aku tidak suka cara tertawanya. "Rileks, Bro. Kamu berada di tangan orang ahli." Well, dia tidak berbohong. Bukan hanya jenggot, dia juga menata rambutku dengan bagus memakai jelly. "Bagus kan?" Dengan bangga Carl memamerkan rambutku, wajahku, di depan cermin. "Carl?" Elisa datang, kedua alisnya naik melihatku. "Kamu sangat … keren." "Terima kasih." "
Adrian "Apa kamu lupa pada Paman terbaikmu, Nak?" "Tentu tidak!" Aku memberi pelukan erat kepada Paman William dan dia balas memeluk sambil menepuk punggung. Dia memandang lekat-lekat dari ujung sepatu sampai rambut. Suaranya begitu bersahabat dan senyum itu tidak pernah berhenti. "Kamu tambah tinggi, tampan, kekar, sungguh lelaki berkelas. Mana Kakak dan Ibumu, apa mereka datang? Oh, mana si cantik Kim?" "Mereka tidak ikut Paman. Hanya aku sendiri. Selamat ulang tahun, Paman." Aku mengeluarkan jam pemberian seorang gadis dulu, yang tidak pernah aku buka dari wadah. "Kamu tidak perlu memberi hadiah. Kehadiranmu saja cukup." Walau paman berkata seperti itu dia langsung melepas jam emas, lalu mengganti dengan jam digital pemberianku."Jadi Adrian, kenapa tidak masuk?" "Para penjaga tidak mengijinkan aku masuk karena tidak membawa undangan dan memakai dasi--" "Kamu bagian dari keluarga,
Adrian "Tuan Zulvian, aku kira kamu tidak datang." Wajah paman William langsung cerah. Sepertinya mereka berteman dekat. "Bagaimana mungkin aku tidak datang ke pesta ulang tahunmu?" Zul tertawa renyah, tawa khas yang dulu sering aku dengar. Dia berdecak kagum memandangku. "Lihat dia, siapa sangka dia akan datang kemari." "Aku tahu," jawab Nyonya. "Aku tidak menyangka orang kampung bertato menjijikkan seperti dia bisa masuk kemari." "Tato tidak ada yang menjijikkan Nyonya, tato adalah seni tubuh." Zul melepas beberapa kancing kemeja bagian atas. "Lihat? Aku memakai tato. Apa kalian di sini ada yang bertato? Ayo jangan malu-malu, calon senator bertanya di sini." Banyak pemuda mengangkat tangan, bahkan beberapa gadis anggun di meja seberang. "Lihat," kata Zul. "Apa semua orang ini juga sampah nyonya? Lagi pula Adrian Bened, adalah pahlawan." Sepertinya Fany penasaran hingga bertanya, "Bagaimana Tuan
Fany Dia tahu apa yang aku suka. Adrian menyetel musik country. Pemanas mobil juga menyala. Sengaja dia mampir ke starbuck untuk membeli green tea milk kesukaanku. "Minumlah, jalanan macet, akan lama sampai ke apartemenku," ujarnya. "Apartemenmu?" "Ya, kamu mau ke tempatku, kan? Ayolah, sekali-kali--" "Tidak. Antar aku pulang ke apartemenku." "Kenapa? Kita pacaran kan?" "Adrian, tolong jangan mendebat. Aku tahu isi kepalamu. Sorry, aku tidak ingin." "Kenapa? "Karena kamu Adrian. Aku tahu semua hal tentangmu dan kemesumanmu." Dia terkekeh dengan nada menyebalkan. "Baiklah, aku mengerti. Hanya suamimu dan Alfred yang bisa kan?" Ya Tuhan dia benar-benar menyebalkan. Aku kira setelah kejadian tadi dia bisa sedikit sadar. Aku kira dia telah move on dari kemesumannya itu. Kenapa pula dia membawa-bawa nama Alfred. Bodoh! "Maaf, aku lupa jika kamu ingin
Fany Aku melangkah mundur. Memandang mereka bertiga. Mereka kira aku bodoh atau bagaimana? "Ini pasti taktik Ibu untuk membawaku pulang, kan?" Mereka bertukar pandang. Aku tahu mereka memang berbohong. "Katakan pada wanita itu, jika ingin bertemu, datang kemari. Aku bukan hewan peliharaan." "Nona, Ayah Anda sakit di rumah. Jika tidak percaya, mari kita cek ke rumah." Pemuda ini berkata dengan nada serius, tiada senyum atau sesuatu yang aneh di wajahnya. Tuhan, apa Ayah memang sakit? Mungkin saja, setelah ribut antara anak dan istrinya. Tidak, aku tadi keterlaluan. Ayah … "Ayah!" Aku tak kuasa menahan tangis. Aku mengikuti mereka bertiga menaiki mobil SUV hitam, duduk di kursi tengah bersama pemuda berjas hitam. Sementara dua orang lain di depan. Selama di perjalanan begitu hening. Pemuda di samping cukup baik mengambil tisu di depan untukku. Walau hanya tisu makan, cukup untukku. "B
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du