Adrian
Dia terdiam memasang wajah datar.
Apa Fany marah? Tidak, aku tidak mau mengambil resiko membuatnya merasa jijik. Segera aku tertawa kecil, lalu menjawab,
"Aku hanya bercanda.”
“Ini masalah serius. Kamu mau membantuku, kan?”
Fany sampai menjadi seperti ini, pasti sedang ribut dengan Alfred. Ini sudah seperti tradisi, ketika ban utama kempes maka ban serep yang dipakai. Diriku ban serep itu. Pasti Alfred melakukan kebodohan yang sangat besar hingga membuat Fany gusar. Aku jadi ingin tahu perkara apa yang dia buat hingga Fany tidak ingin mendengar namanya.
“Lusa kita pergi ke pantai Manhattan—“
Dia menggeleng dengan cepat. “Kamu pasti ingin ke Club 777. Aku benci tempat itu.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Di sana banyak wanita murahan dan banyak pria berengsek sepertimu.”
Sebenarnya tujuanku membawanya ke sana untuk mengunjungi sebuah tempat yang bisa membuat senyum
Adrian Aku duduk di kap mobil menikmati Pier 69, dermaga tempat tinggal banyak yacht. Suara angin bermain ombak, cahaya remang, aroma laut yang tenang, cocok untuk me-refresh pikiran. Mobil Alfred tiba. Setelah mematikan mobil, dia menghampiriku. “Sorry terlambat. Aku bawakan minuman kesukaanmu.” Dia duduk di kap mobil, menaruh kantung plastik di sana. Kami menikmati bir. Dia membisu. Aku yang mengundang, mungkin aku juga yang harus memulai pembicaraan kecil kami. “Apa kalian bertengkar?” selidikku. “Bisa kamu menjaga Fany?” tanya Alfred, tanpa memberi jawaban. “Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Aku ingin kamu membahagiakannya. Jaga dia, seperti Ayah menjaga Ibu. Buat dia selalu tersenyum, berkeluarga, buat Adrian junior dan Fany junior yang banyak, hidup tenang di Glendale atau daerah lain.” “Berengsek, kamu tidak menjawab pertanyaanku.” Aku meremas kaleng, membuang jauh k
Fany Dadaku berdebar-debar dan seperti ada sayap kupu-kupu yang terbang menggelitik di dalam perut. Kencan dengannya berdua saja, oh Tuhan, ini yang pertama. “Nona, mau turun atau menginap di mobil?” goda Adrian, membuyarkan lamunanku. Ketika aku hendak keluar dari mobil, dia menarik tanganku. “Fan, aku jemput jam tujuh.” Aku mengangguk, hendak tersenyum saja berat rasanya. Setelah dia melepas genggaman, aku masuk ke mobilku sendiri, pulang ke apartemen milikku. Sesampainya di apartemen aku mandi bersih lalu membuka lemari, mengeluarkan pakaian ke atas kasur. Aku ingin tampil manis, tapi juga tidak mau terlalu terbuka sehingga memancing Adrian melakukan sesuatu yang akan dia sesali di kemudian hari. Berkali-kali aku mencoba berbagai macam pakaian yang tersimpan di dalam lemari, tapi tidak ada yang sesuai. Sepertinya kencan ini membuat otakku kelebihan muatan. Aku melakukan video c
Fany Suara pintu diketuk dari luar membuatku berlari membukakan pintu. Ah tidak, tunggu. Aku merapikan kaos oblong, jaket kulit hitam, juga maxi gelap di atas lutut. Ambil napas dalam-dalam, hembuskan. Rileks. Santai. Tidak ada yang spesial, kan? Aku membukakan pintu, mendapati dia berdiri bersandar di tembok lorong sambil mengamati layar hp yang dia pegang, tangan satunya bersembunyi di balik saku celana jeans biru. Ketika keluar, tangan itu kosong. Saku celana itu pun datar tidak ada tonjolan di sana. “Kakimu turunkan, jangan menginjak tembok, nanti kotor.” Sebenarnya tidak apa-apa, hanya saja dia tidak membawa hadiah, jelas aku—oh dia membawa? “Ini, untukmu.” Sebuah lolipop. Dia pun mengulum lolipop sejenis lalu mendahului untuk turun. “Aku tunggu di mobil.” Jadi begini cara dia mengawali kencan? Aku membanting pintu yang mengunci secara otomatis, mengemut permen mengikutinya dari belakang. Menyebalkan!
Fany Adrian membeli dua kembang gula berwarna merah muda. Bentuk makanan manis itu seperti awan. Cukup besar untuk kami makan berdua. “Sudah kan? Bisa kita kembali ke apartemen?” tanya Adrian. Ucapannya membuatku terdiam. “Jadi jauh-jauh kemari, hanya beli kembang gula?” Menyebalkan, dia malah tertawa kecil sembari menggandengku, hingga tenggelam ke dalam lautan manusia. Musik karnaval bersahutan dengan tawa pengunjung. Begitu banyak stall penjual makanan, pakaian, juga mainan. Satu yang menarik perhatian, sebuah wahana merry-go-round. Aku selalu naik itu ketika ada pasar masal di Glendale, kali ini ukurannya lebih besar. “Oh, sampai lupa,” ucapnya. “Tradisi Tuan Puteri, pertama naik kuda, sebelum bersenang-senang.” Dia menggandeng ke sana. Setelah membeli karcis aku duduk di kuda putih, sementara Adrian di kuda hitam sampingku. Musik khas Merry Go Round mulai terdengar. Lampu berkedip-kedip, wah
Adrian Banyak gadis berteriak karena 'insiden' kecil ini, Fany pun tak beda dari yang lain. Suaranya seperti banshe melihat mangsa, gendang telingaku nyaris pecah. "Hei, hei." Aku bekap mulutnya. "Tenang, semua baik-baik saja." Tapi dengan mudah dia lepas. "Baik-baik saja bagaimana? Kamu kira bagaimana cara kita turun dari sini?" "Terjun ke laut?" "Dasar Adrian bodoh, bagaimana kalau jatuh ke dermaga? Ya Tuhan bagaimana ini?" "Ada aku, santai saja." Semua gelap. Bilik ini bergoyang karena berhenti mendadak. Sepertinya ada masalah serius sampai semua lampu di pier mati total, tiada musik karnaval, atau musik konser, hanya suara angin malam. Biar aku tebak, daya listrik tidak kuat untuk konser juga karnaval dan hiburan malam lain? Tak apalah, karena hal ini Fany memeluk lenganku dengan erat. Andai tidak ada boneka kelinci, aku bisa lebih hangat lagi dari sekarang. 
Adrian Ini ciuman terbaik setelah kejadian di belakang sofa dulu. Perlahan aku menarik wajah dan mendapati wajah Fany sangat eksotis. "Jadi, bagaimana?" tanyaku. "Kamu menikmatinya, kan?" "Menikmati?" Nada bicaranya terdengar gugup dan bingung. "Ciuman tadi." "Biasa saja." "Oh ya? Tapi wajahmu mengatakan oh Adrian, kenapa berhenti? Aku mau lagi." Dia mendengus, tersenyum sinis, sembari membuang muka. Dasar gadis sok jual mahal. Apa susahnya mengakui jika diriku mampu membuatnya melayang tadi. Aku menginginkan lagi dan dia pun begitu kan? Aku paksa dagunya kembali menghadapku, lalu aku meng
Adrian Beberapa orang keluar dari kamar mereka, sekedar mengintip apa yang terjadi. Beberapa memandang heran karena hal ini jarang terjadi. Yup, aku jarang membiarkan gadis cantik di depan pintu kamar, kecuali Fany di pagi hari. "Adrian Bened, aku tahu kamu ada di dalam." Dia menggedor pintu seperti gadis kesurupan. "Buka pintunya, Adrian!" "Halo manis." Suara santaiku membuat dia berhenti menggebrak pintu. Dia merapikan pakaian putih dan rok pendeknya yang sedikit kusut. "Aku kira kamu berada di dalam," ujarnya. Mau apa tunangan Alfred ke sini? "Ada perlu apa Messandre … Minerva …." Dia menjawab dengan nada kesal. "Kamu benar-benar tidak ingat namaku?" "Maaf. Aku kesulitan untuk mengingat nama wanita. Ada perlu apa?" "Bisa kita bicara di dalam?" tanyanya, sembari memutar-mutar gagang pintu. "Kita bicara di ruang tunggu saja, yuk. Aku traktir minum." "Kenapa?" Dia me
Fany "Sesuai jadwal, huh?" Komentar Adrian ketika menyambutku. Hmm, dia sudah siap ke kampus dengan berpakaian rapi. "Masuk, aku akan membuat sarapan untuk kita." "Wow … ok, mari kulihat apa yang kamu bisa." Kamar apartemen Adrian wangi. Dia juga harum. Kasurnya rapi, tiada wanita di sana. Bagus, sejauh ini semua berjalan dengan baik. Aku duduk manis di kursi bar kecil, menonton bagaimana dia memasak telur goreng, sosis, dan daging. Menurutku celemek membuatnya bertambah seksi. Apa kelak jika … kami menikah, dia akan seperti ini? Aduh, pikiranku ke mana-mana. "Jadi, bagaimana rencana kita di hari ulang tahun pernikahan orang tuamu?" "Hmm? Kamu datang dan temani aku, simpel." "Baiklah sayang, apapun demimu. Apa aku butuh membeli hadiah untuk Ayah mertua?" Dia membuatku kaget. "Percaya diri sekali kamu memanggilnya Ayah mertua?" Aku menerima makanan buatannya di atas meja, mencicipi