Mereka sampai di helipad pribadi. Angin dari baling-baling helikopter mulai terasa meski belum menyala penuh. Kakek Hadi berdiri di dekat pagar pembatas, mengenakan jas ringan, sementara Alina dan Arion baru tiba. Alina membawa kantung kecil, berlari kecil menghampiri kakek, sementara Arion berjalan dengan santai di belakangnya. "Kakek! Wah, kakek terlihat luar biasa hari ini! Aku bahkan hampir tidak mengenali kakek!" Tanpa ragu, Alina memeluk kakek dengan erat, matanya berkaca-kaca melihat kondisi kakek yang jauh lebih baik. Kakek tertawa kecil. "Alina, anak baikku. Lihat aku sekarang. Aku tidak butuh tongkat lagi, bahkan siap naik helikopter. Semua ini karena kamu!" Alina melepas pelukan, mata berbinarnya memandang kakek. "Kek, saya senang sekali. Kesehatan kakek benar-benar membaik. Saya sampai tidak percaya melihatnya!" "Sudah kubilang, kan, Alina? Kakek jadi luar biasa setelah pernikahan kita. Tapi aku juga nggak menyangka sampai secepat ini." "Arion, jangan mer
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dengan senyum cerah. "Saya Adrian, saya akan melayani Anda malam ini." Matanya melirik sekeliling meja, lalu tertuju pada Alina. “Dan Anda pasti pria paling beruntung bisa makan malam dengan wanita cantik ini,” ujarnya. Wajah Alina memerah, tapi dia tidak bisa menahan senyum. Sementara itu, Arion terlihat kesal. Dia menahan pandangannya dari pelayan yang kini tengah pergi setelah menerima pesanan minuman mereka. Setelah beberapa saat, Arion menyesap airnya, lalu mencondongkan tubuh ke meja. “Bagaimana menurutmu tentang pemandangan disini?” “Bagus sekali. Aku senang mereka memberi kita meja yang begitu indah.” Alina tersenyum, matanya menyusuri pemandangan kota. Arion memandangi Alina dengan tatapan serius, seolah ingin memastikan bahwa dia mendengarkan apa yang sedang dia katakan. “Kamu tahu nggak? Gedung setinggi ini dibangun untuk bergoyang tertiup angin. Terkadang, jika kamu memejamkan mata, kamu bisa merasakannya bergerak di bawa
"Ah, hampir lupa," kata Kakek sambil tersenyum penuh semangat. "Aku sudah minta staf menyiapkan kamar untuk kalian berdua. Malam ini, kalian bisa istirahat disini." "K-Kamar untuk kami berdua, Kek?" tanyanya. "Tentu saja," jawab Kakek tanpa ragu. "Kalian kan sudah menikah. Tidak ada alasan untuk tidur terpisah. Aku ingin kalian merasa nyaman di sini." Sebelum Alina sempat protes, Arion sudah memegang lengannya lembut, menggiringnya keluar dari ruang makan. "Ayo, Alina," katanya dengan suara yang terdengar terlalu riang. "Tidak sopan menolak keputusan Kakek." Alina hanya bisa mengikuti, menjaga jarak dari Arion di sepanjang lorong gedung besar itu. Hujan lebat terus melanda, tidak mungkin juga Alina pulang dengan cuaca seperti ini. Ia memandangi jendela kamar. Suara petir di luar hanya menambah suasana hatinya yang sudah buruk sejak makan malam tadi. 'Bagus.. Ranjangnya hanya satu.' Kenyataan ini membuat Alina nyaris kehilangan kendali. Ini permainan lain dari Arion u
"Dua jam lagi..." gumam Alina sambil memandangi jam dinding. "ASTAGA...! ALINA!" Dia hampir lupa. Dua jam lagi dia harus berada di sekolah. Alina langsung menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Alina terburu-buru berdiri di depan cermin dan merias wajahnya dengan riasan tipis. Ia memilih liptint merah muda dan sedikit maskara, memberikan tampilan yang segar namun tetap natural. Setelah puas dengan penampilannya, Alina berbalik dan mengunci pintu depan di belakangnya. Alina membuka aplikasi peta di ponselnya untuk mengecek rute ke sekolah. Saat melihat jarak tempuh, keningnya berkerut. Dia harus berjalan sejauh satu kilometer, yang biasanya tidak menjadi masalah baginya. Namun, mengingat cuaca yang panas dan terik saat ini, dia sedikit cemas. "Dua puluh menit di bawah sinar terik seperti ini? Ini akan jadi tantangan baru," pikirnya sambil menghela napas dan bersiap untuk berangkat. Alina menyusuri jalan sambil menatap aplikasi maps, menyesuaikan gambar dengan
Mulutnya terbuka lebar. Jalanan itu penuh dengan mobil media, dan para wartawan. Mikrofon dan perekam kamera berjejer siap sedia. Sepertinya berita lokal dan nasional ada di sini. Alina mendadak gugup. Dia kembali menatap sobekan di celananya yang lebih besar dari perkiraannya, dan dengan cepat meraih jaket dari tangan Arion, membungkus pahanya agar lebih tertutup. “Terima kasih… aku tidak akan pernah hidup tenang kalau kamu tidak ada disini.” Direktur Eric sudah berdiri di teras kantor sekolah, dan Alina melihat dia bersanding dengan istri dan putrinya. Mereka tersenyum dan melambaikan tangan ke kamera. Saat Arion menggandeng tangan Alina dan mulai menaiki tangga, direktur Eric menyambut dengan ramah. Salah satu wartawan menoleh ke arah mereka berdua, kemudian mengikuti langkah mereka hingga ke tangga untuk bergabung dengan direktur dan keluarganya. "Apakah Anda adalah Alina Sari Mentari? Gadis penuh keberuntungan yang masuk ke Horizon International Academy secara eksklusi
Alina tersentak, merasa bingung dan sedikit terluka. "Apa maksudmu? Apa yang ayahmu lakukan?" Arion menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Ya ampun, Alina, jangan terlalu memikirkannya," Clarissa memutar bola matanya dengan angkuh. "Dan, tolong... jangan ganggu Arion-ku lagi." Arion mendesah, memandang Clarissa frustrasi. "Aku benci panggilan itu, Clarissa. Setiap kali kau menyebutnya, telingaku rasanya sakit! Semua ini hanya akting demi menyenangkan ayah kita!" Clarissa hanya mendengus. "Kau pergilah dulu ke kantor. Aku perlu berbicara empat mata dengan gadis ini." Alina penasaran dan sedikit khawatir, apa yang akan dikatakan Clarissa? Apa yang membuat gadis ini begitu geram padanya? Clarissa menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, tapi entah bagaimana, dia tetap bisa menjaga penampilannya. Kuku panjang berwarna pink tua miliknya menusuk-nusuk dada Alina. "Aku tidak tahu apa tujuan akhirmu," katanya dingin, "Tapi jangan pikir kau bisa bermain-main dengan ayahku.
"Namaku Darren. Dan kamu... Alina, kan?” Alina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. “Ya. Terima kasih sekali lagi, Darren.” Sesaat kemudian, mereka sudah keluar dari sana dan menenteng kantung buku. Keduanya tidak berbicara sambil melanjutkan perjalanan. Darren sesekali memeriksa daftar yang ada di pintu-pintu kelas. Tak lama bel berbunyi. "Hei, ternyata kelasmu disini." lengan Alina ditarik tiba-tiba oleh Darren dan mereka sudah berada di ruang kelas. Clarissa, Arion dan beberapa pria lain berdiri di depannya. Dua lelaki lainnya memiliki rahang dan otot yang kuat. Ketiganya bisa saja merupakan maskot dari brosur sekolah. Tapi saat Arion memusatkan perhatian pada Alina, jantungnya berdetak kencang. "Setidaknya dua murid pindahan sudah berkenalan," kata Arion, rahangnya yang tegang membuat wajahnya yang terpahat semakin kasar. Dari tiga pria di sekitarnya, dialah yang paling tampan sejauh ini. "Ya, kami bertemu dan mengetahui bahwa kami berdua membutuhkan buku untuk
"Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya. “Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya m
"Ah, hampir lupa," kata Kakek sambil tersenyum penuh semangat. "Aku sudah minta staf menyiapkan kamar untuk kalian berdua. Malam ini, kalian bisa istirahat disini." "K-Kamar untuk kami berdua, Kek?" tanyanya. "Tentu saja," jawab Kakek tanpa ragu. "Kalian kan sudah menikah. Tidak ada alasan untuk tidur terpisah. Aku ingin kalian merasa nyaman di sini." Sebelum Alina sempat protes, Arion sudah memegang lengannya lembut, menggiringnya keluar dari ruang makan. "Ayo, Alina," katanya dengan suara yang terdengar terlalu riang. "Tidak sopan menolak keputusan Kakek." Alina hanya bisa mengikuti, menjaga jarak dari Arion di sepanjang lorong gedung besar itu. Hujan lebat terus melanda, tidak mungkin juga Alina pulang dengan cuaca seperti ini. Ia memandangi jendela kamar. Suara petir di luar hanya menambah suasana hatinya yang sudah buruk sejak makan malam tadi. 'Bagus.. Ranjangnya hanya satu.' Kenyataan ini membuat Alina nyaris kehilangan kendali. Ini permainan lain dari Arion u
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dengan senyum cerah. "Saya Adrian, saya akan melayani Anda malam ini." Matanya melirik sekeliling meja, lalu tertuju pada Alina. “Dan Anda pasti pria paling beruntung bisa makan malam dengan wanita cantik ini,” ujarnya. Wajah Alina memerah, tapi dia tidak bisa menahan senyum. Sementara itu, Arion terlihat kesal. Dia menahan pandangannya dari pelayan yang kini tengah pergi setelah menerima pesanan minuman mereka. Setelah beberapa saat, Arion menyesap airnya, lalu mencondongkan tubuh ke meja. “Bagaimana menurutmu tentang pemandangan disini?” “Bagus sekali. Aku senang mereka memberi kita meja yang begitu indah.” Alina tersenyum, matanya menyusuri pemandangan kota. Arion memandangi Alina dengan tatapan serius, seolah ingin memastikan bahwa dia mendengarkan apa yang sedang dia katakan. “Kamu tahu nggak? Gedung setinggi ini dibangun untuk bergoyang tertiup angin. Terkadang, jika kamu memejamkan mata, kamu bisa merasakannya bergerak di bawa
Mereka sampai di helipad pribadi. Angin dari baling-baling helikopter mulai terasa meski belum menyala penuh. Kakek Hadi berdiri di dekat pagar pembatas, mengenakan jas ringan, sementara Alina dan Arion baru tiba. Alina membawa kantung kecil, berlari kecil menghampiri kakek, sementara Arion berjalan dengan santai di belakangnya. "Kakek! Wah, kakek terlihat luar biasa hari ini! Aku bahkan hampir tidak mengenali kakek!" Tanpa ragu, Alina memeluk kakek dengan erat, matanya berkaca-kaca melihat kondisi kakek yang jauh lebih baik. Kakek tertawa kecil. "Alina, anak baikku. Lihat aku sekarang. Aku tidak butuh tongkat lagi, bahkan siap naik helikopter. Semua ini karena kamu!" Alina melepas pelukan, mata berbinarnya memandang kakek. "Kek, saya senang sekali. Kesehatan kakek benar-benar membaik. Saya sampai tidak percaya melihatnya!" "Sudah kubilang, kan, Alina? Kakek jadi luar biasa setelah pernikahan kita. Tapi aku juga nggak menyangka sampai secepat ini." "Arion, jangan mer
"Ya, kami mencari sesuatu yang pas untuk pertemuan dengan keluarga saya." Dia sedikit menekankan kata keluarga dengan sengaja. Alina berusaha menahan tawa, tapi gagal. "Keluarga? Kita kan cuma... ehm... sah-sah aja." Dia melempar senyum yang lebih ke arah mengejek. Pramuniaga yang mendengar itu hanya tersenyum kaku, sementara Arion menatap Alina dengan ekspresi yang bisa dibilang hampir cemas. "Ayo, jangan bikin kakekku ngerasa kita ini belum siap." Lalu, mereka mulai mencoba berbagai pilihan pakaian. Arion langsung memilihkan setelan jas hitam yang sangat formal. "Coba ini," katanya sambil mengulurkannya pada Alina. Alina mengernyit. "Aku gak mau kelihatan kayak bodyguard mu!" Dia meletakkan jas itu kembali dengan kasar. Arion melangkah lebih jauh ke dalam toko dan mengambil beberapa gaun, kemudian menggantungnya di depan Alina. "Coba ini. Kakek bakal suka," katanya, sedikit memaksakan. Alina melirik gaun-gaun tersebut dan hampir tertawa. "Ya ampun, Arion, apa kamu pik
Para pemain tim sepak bola sudah bubar dan disana hanya tersisa Alina dengan Arion."Kamu ini pura-pura gak mengerti apa gimana, sih?" katanya sambil memperhatikan dada Alina yang terlihat belahannya. Suaranya Arion rendah tapi jelas menggoda. "Kamu berlarian di treadmill dan berolahraga dengan pakaian kekecilan seperti itu. Kalau aku gak awasi kamu dari tadi, semua cowok di sini sudah pasti pada ngelihatin, atau bahkan lebih..." Wajah Alina memerah, antara marah dan malu. "Arion! Gak ada yang peduli sama aku, oke?! Sekarang pergi!" Namun, bukannya pergi, Arion malah melangkah masuk ke ruang ganti. Dia bersandar di pintu dengan tangan menyilang di dada. "Dengar, sekarang ganti bajumu dengan benar. Aku akan bawa kamu ke suatu tempat."Alina menyipitkan matanya, curiga. "Kemana? Aku gak mau ikut, apalagi kalau ini ide gila kamu lagi.”Arion menyeringai, jelas menikmati kecurigaan Alina. "Tenang aja, kali ini aku serius. Kakek baru selesai operasi, dan dia mau ketemu sama kamu." Mend
Arion berhenti di depannya, aroma cendana dan amber yang khas menyebar ke penciuman Alina. Ia hanya berdiri beberapa meter darinya. Tubuh ramping dan berotot Arion terlihat sempurna tanpa balutan baju. Bahunya lebar, dan otot perutnya yang berbaris rapi seperti memanggil mata untuk terus menatap. Alina menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengalihkan pandangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Arion yang berat dan seksi terdengar seperti musik. Alina tertegun, lupa bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia terpaku, seperti kehilangan kata-kata, sampai akhirnya Arion menyeringai, menampilkan ekspresi yang lebih menyebalkan dari biasanya. "Mau aku kasih waktu buat motret? Biar lebih lama kamu bisa nikmatinnya," Wajah Alina memerah. Ia cepat-cepat mendongak dengan raut menantang, meskipun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. "Nggak perlu motret! Aku cuma nggak percaya saja ada orang keluyuran tanpa baju di sekolah," balasnya tajam, walau kata-katanya
"Darren.." Bagus, dia sudah masuk ke dalam... Kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari teman-temannya. Darren melangkah santai ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya. Sepatunya menginjak bungkus mi instan kosong di lantai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek olahraganya dan memandang sekitar. "Eh... baru saja aku sampai sini. Tadi pintunya kebuka sendiri gara-gara angin," katanya santai. Alina menyadari pintu memang tidak ditutup rapat tadi. "Oh, ya. Maaf, tadi Vera menumpahkan bir, dan aku lupa menutup pintu," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Vera dan Loly saling melirik dan terkikik. Alina berharap mereka tetap diam, tapi melihat ekspresi mereka, itu mustahil. Darren berdeham dan berkata, "Jadi... kalian ini semua baik-baik saja, atau aku harus cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Alina segera memotong sebelum Loly atau Vera menjawab. "Terima kasih sudah mengantar aku, Darren. Aku benar-benar menghar
"Aku bisa membayangkan rasanya kehilangan orang tua. Pasti berat banget. Aku bahkan nggak sanggup ngebayanginnya. Terus kamu harus datang ke sini... masuk ke sekolah elit ini, jadi sorotan kamera, terus Clarissa, yah, dia... aku tahu itu pasti bikin segalanya lebih sulit buatmu. Aku nggak seharusnya jadi cowok menyebalkan yang malah godain kamu di tengah semua ini." Alina tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kamu nggak bikin aku kesal, kok." Ia berpura-pura melihat sekeliling. "Lagipula, aku nggak lihat siapa-siapa datang buat bikin aku tambah kesal." "Semoga aja nggak ada. Kalau iya, suasananya bakal makin aneh dari sekarang." Alina terkekeh. Sebagian beban di pundaknya terasa surut. "Tapi serius," Darren melanjutkan, menurunkan tangan ke sampingnya. "Aku cuma pengin kamu tahu, aku nggak bermaksud jahat. Aku sebenarnya senang ketemu kamu di sini. Menurut aku kamu itu menarik, lucu, dan..." Darren berhenti bicara mendadak, menyadari ucapannya mulai terdengar aneh.
"Aku... ingin bantu mendobrak pintu saat itu. Luther mengatakan kau terkunci di dalam bersama Clarissa dan grupnya," jelasnya, tampak sedikit menyesal. Alina terkejut, tangannya secara refleks menutupi wajahnya. Ia merasa sedikit malu atas seluruh kejadian itu. "Jadi, Valerian dan Luther tahu?" tanyanya, matanya sedikit melebar, mencoba memahami lebih jauh. "Oh, jadi kalian sudah berkenalan?" Darren menyeringai, seolah mencoba meringankan suasana. "Jangan khawatir, mereka cuma nggak terlalu suka ribut-ribut. Kecuali Valerian, yah... Kau tahu dia kan. Suka bergosip." "Tapi kamu beneran tidak apa-apa kan?" katanya dengan nada serius. Tangannya bergerak cepat, mencari tanda-tanda luka atau kejanggalan lain. Alina sedikit terkejut dengan perhatian Darren yang lebih dari sekadar teman. Ia merasa tidak nyaman tapi juga dihargai. "Darren, tidak ada apa-apa," ujarnya cepat, mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya sedikit terburu-buru. "Aku baik-baik saja." Darren mengerutka