“Kenapa lo malah kerja? Bukannya gue sudah kasih lo kartu platinum?” Alina langsung menegang, menggigit bibirnya sebelum menjawab, “Gue nggak pakai kartu itu.” Arion menyipitkan mata, jelas terlihat kecewa. “Kenapa? Lo kerja di mana? Kartu itu gue buat khusus untuk lo, biar nggak perlu kayak gini.” Dia mendekat, wajahnya cuma beberapa senti dari wajah Alina. Suaranya berubah jadi bisikan serius, tapi nada tajamnya tetap terasa. “Kalau Kakek tahu... Ah, nggak. Bahkan Ayah. Kalau mereka tahu lo kerja, apalagi sampai kejadian yang aneh-aneh, Ayah bisa habis-habisan nyalahin gue. Jadi, kalau lo nggak mau gue dimarahi atau malah mati konyol, tolong, berhenti keras kepala dan pakai kartu itu.” Alina menghela napas, tahu nggak ada jalan keluar dari pembicaraan ini. “Sebenernya... Clarissa, dia ngerusak kartunya.” Ekspresi Arion langsung berubah, matanya tajam kayak pedang. “Clarissa? Apa lagi yang dia lakuin ke lo?” Alina diam, rahangnya mengeras. Dia nggak mau, dan nggak mu
Tentu saja. Malam ini, dari semua malam, Arion ada di sini. Ketika Alina menjadi pelayan untuk pertama kalinya dengan seorang pelanggan yang mencoba menyuapnya untuk melepas bajunya. Benar-benar apes. Tapi kali ini, dia agak lega Arion ada di sana. Wajah cowok tadi langsung kesal. “Bukan urusan lo, bro. Sana cari meja lain.” Arion berjalan diapit oleh Luther dan Valerian. Sambil menarik napas dalam-dalam, Alina menoleh pada Arion. Dia bahkan lebih spektakuler dari biasanya, dan Alina hampir tidak mengenalinya dengan celana jeans dan kemeja polo putih kasual. Arion mengenakan topi bisbol Atlanta Braves dengan poninya yang menjuntai menutupi matanya. Rambutnya tampak basah dan aroma kayu cedar-lavender yang bersih dan bersabun itu kembali menusuk hidung Alina. Dia pasti baru saja mandi. “Jadi, kalian mau pesan apa?” Valerian mengusap perutnya sambil menyeringai. “Gue mau steak medium rare, spaghetti, nachos yang pedes, chicken wings, sama iced matcha latte. Oh, tambah so
“Ya, yang tinggi, seksi, gede dan... enak.” jawab Vera dengan tawa kecil di akhir kalimatnya. “Dia lagi di sini. Gue bilang ke dia lo bakal pulang sebentar lagi, tapi gue mulai khawatir. Jadi, lo naik Go-Jek aja, atau... gue tungguin, nih?” Alina mendengus, berusaha menahan kekesalannya. Dia tidak ingin membuang uang untuk naik Go-Jek, apalagi jarak rumah dari kafe hanya lima belas menit jalan kaki. “Gue lagi nunggu teman jemput. Gue bakal jalan sebentar sama dia dulu, tapi gue nyusul kok,” katanya mencoba menenangkan Vera. “Enggak apa-apa,” jawab Vera santai. “Cowok lo gue jagain. Gue pastiin cewek-cewek di sini enggak ngerecokin dia.” Alina terdiam sejenak, menelan ludah. "Cewek-cewek?" pikirnya, ngeri. “Ada berapa orang di sana?” tanyanya akhirnya. “Enggak banyak, cuma dua puluhan orang,” jawab Vera santai, suaranya bercampur tawa kecil yang sedikit mengejek. “Udah ya, hati-hati di jalan. Bye!” Vera menutup telepon begitu saja, tanpa menunggu Alina menjawab. Alina mem
“Ini yang lo sebut ‘pertemuan kecil’?” tanya Arion, melirik ke arahnya sambil menaikkan sebelah alis. Alina ikut menoleh keluar jendela. Pemandangan di depan mereka bikin dia makin pusing: mobil-mobil berjajar di sepanjang jalan. Alina hitung, ada sekitar dua puluhan mobil yang terparkir. Sementara musik EDM yang nggak jelas terdengar menggelegar. "Rumah lo itu yang ada mobil-mobilnya berjejer di jalan masuk dan jalan raya, kan? Sambil muterin musik disko?" Alina menatap ke bawah, menahan rasa malu. “Ya… Temen serumah gue suka, eh… mabok?” katanya, sedikit ragu. Nada suaranya terdengar seperti sebuah pertanyaan, meskipun dia nggak berniat membuatnya terdengar begitu. Arion langsung menoleh cepat ke arah Alina. Matanya melebar, tapi gerakannya tajam banget sampai membuat Alina sedikit merasa seperti sedang diinterogasi polisi. Ketika Arion kembali fokus ke jalan, matanya mulai bergerak-gerak nggak jelas, kayak lagi mikir keras. Tatapannya loncat-loncat dari kaca spion, dashbo
Saat Alina masuk ke dalam rumah, suara musik langsung menghantam telinganya lebih keras. Dia sempat bengong melihat suasana di dalam—sekitar sepuluh orang ada di sana, semua kelihatan asyik dengan dunianya masing-masing. "Gila, ini kok satpam komplek nggak ada yang grebek ya?" pikir Alina. Tapi mungkin mereka menyogok, atau tetangga udah pada biasa aja sama party-party gini. Di sudut ruangan, Vera, temannya yang terkenal rada gila kalau lagi mabuk, langsung nyamperin Alina sambil goyang-goyang nggak jelas. Botol minuman keras ada di tangannya. Mukanya udah merah, jelas banget dia lagi nggak sober. "Alinaaa! Lo udah pulang!" Vera berseru dengan nada tinggi sambil merangkul bahu Alina. "Lo telat banget, sumpah! Nih, ayo ikut gue minum. Seru banget!" Alina meringis kecil. "Gue lagi males minum, Ver. Lo tau kan? Besok gue masih harus masuk kerja." Vera cemberut. "Aduh, Na, jangan cupu deh! Ini asik banget, sumpah!" Lalu, dari arah sofa, Loly datang dengan langkah sempoyon
Alina berusaha menahan tawa gugupnya. Dia cuma berharap Arion nggak dengar suara jantungnya yang berdebar kencang kayak drum dipukul habis-habisan. Rasanya sampai ke tenggorokan. Arion menjatuhkan tangannya, sementara rahangnya mengeras. “Ini gak lucu.” Dia berjalan mendekat, dahinya berkerut. "Kalau ada orang masuk pas lo tidur atau mandi, gimana?!" "Aman kok. Gue ganjel pintu pake kursi, udah gitu aja. Simple, kan?" Alina tersenyum kecil, mencoba meredakan suasana, tapi jelas gagal. "Ganjel pintu? Itu nggak jamin apa-apa! Terus kalau lo ganti baju? Di mana? Di kamar mandi? Atau lo nggak peduli kalau ada yang intip?" "Gue selalu bawa baju ke kamar mandi kok. Nggak ada yang bisa lihat apa-apa. Lagi pula, siapa juga yang mau repot-repot masuk sini?" Arion hanya diam, berjalan ke arah pintu dan menekannya dengan satu tangan, menunjukkan bagaimana pintu itu bisa terbuka dengan mudah. Akhirnya, Arion membuka mulutnya, "Pintu lo nggak ada kuncinya. Lo tinggal sama orang yang
"Lo ada di sana kan? Lo nggak apa-apa?" Itu suara Darren. Alina langsung panik. Sementara Darren semakin mendekat, Arion masih menahannya di tempat tidur, posisinya masih terlalu dekat. Alina mencoba menarik kakinya dari kasur dan mendorong Arion menjauh, tapi cengkeramannya sangat kencang seperti lem. "Tolong, lepasin gue," bisik Alina, setengah memohon. Ia nggak bisa membayangkan apa yang Darren pikirkan kalau melihat mereka begini. Arion hanya menyeringai sebelum perlahan melepaskannya dan bangkit sambil meraih ponselnya. "Oh," Darren berhenti di ambang pintu, kaget. "Gue… nggak tahu…" Matanya bergerak antara Alina dan Arion dengan ekspresi syok, wajahnya pucat pasi. Dengan gugup, Alina merapikan rambutnya, lalu menyadari rambutnya yang masih basah tampak sedikit berantakan. Juga ada tonjolan di celana Arion. Tidak diragukan lagi apa yang telah mereka berdua lakukan. Kalau itu belum cukup mencurigakan, Alina melirik ke arah Arion—bibir cowok itu bengkak. Itu berarti… b
Vera, minum seteguk air sambil mikir. "Oh, yang tinggi, kulit putih, muka kayak campuran Korea sama bule? Itu Arion, kan?" Alina cuma diam, nggak kaget. Dia sudah tahu betapa populernya Arion, tapi dia selalu berusaha nggak terlalu memikirkannya. "Gue pernah ketemu sekali di salah satu clubbing. Anak itu emang terkenal, kan sering nongol di TV. Lo nggak tahu?" Loly langsung ngakak. "Oh. Pantes aja semalem dia berasa kayak Raja Party. Ternyata dia Raja TV juga." "Iya. Waktu itu dia dateng sama beberapa temennya... Gue juga pernah nemuin tuh anak main futsal di salah satu acara olahraga kampus gue. Aura dia tuh beda, kayak... lo tahu lah, anak yang selalu dapet spotlight." Vera menjelaskan sambil menyender di meja dapur. Alina cuma ngaduk mi di panci, pura-pura sibuk, tapi sebenarnya lagi mikir keras. "Dia nggak ngatur party kalian sembarangan, kok. Dia cuma khawatir sama gue," katanya pelan. Vera dan Loly langsung melirik dia bersamaan, mata mereka penuh rasa ingin tahu.
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu