“Oh, ya,” jawab Alina dengan datar. “Dia memang cowok baik.” Ines mencondongkan tubuh, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Kamu kenal Darren?” “Hmm, ya,” jawab Alina sambil merapikan kotak P3K-nya. “Kemarin dia bantu aku mencari toko buku. Kebetulan kami juga sempat ngobrol di danau.” Ines tampak kecewa, tapi berusaha menyembunyikannya dengan senyuman. “Oh, begitu. Yah, kalau kamu butuh saran tentang tim sepak bola, aku tahu semuanya. Ayahku selalu bicara tentang mereka seolah-olah mereka anak-anaknya sendiri.” Alina mengangguk pelan. “Mungkin aku akan butuh bantuanmu nanti.” Ines melirik ponselnya. “Mereka memang menyebalkan, tapi paling nggak mereka enak dilihat.” Profesor Gracia bertepuk tangan, menarik perhatian semua orang. “Baiklah, cukup untuk hari ini. Jangan lupa mempersiapkan diri untuk proyek kalian. Mulai biasakan dengan semua dasar-dasar yang diperlukan di kelas berikutnya.” Alina segera membereskan barang-barangnya. Para siswa dengan cepat bersiap u
"Kenapa kamu malah bekerja? Bukannya aku sudah kasih kamu kartu platinum?" “Aku nggak pakai kartu itu.” Alina mengigit bibirnya dan menegang, sementara Arion tampak kecewa. Dia menyipitkan matanya. “Dimana kau bekerja? dan kenapa nggak kau pakai fasilitas yang sudah kuberikan? Kartu itu aku buatkan khusus untukmu.” Arion berhenti sejenak, wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Alina. Kemudian ia berbisik, “Kalau kakek tahu... Ah, tidak. Bahkan ayah juga. Kalau dia tahu kamu bekerja. Apalagi sampai terjadi sesuatu yang aneh-aneh di tempat kerjamu, ayahku bisa membunuhku karena tidak mengawasimu. Jadi kalau kau nggak mau bikin aku mati, berhenti keras kepala dan pakai kartu itu.” Alina menggigit bibir. “Hmm... Sebenarnya... Clarissa... Dia merusaknya.” "Clarissa?" Arion mengerutkan dahi dan tatapannya berubah tajam. “Apa yang sudah dia lakukan padamu?” Rahang Arion mengeras dan Alina kehilangan kata-kata. Ia tidak mungkin memberitahu Arion. Namun, seakan dibicarakan langsu
Tentu saja. Malam ini, dari semua malam, Arion ada di sini. Ketika Alina menjadi pelayan untuk pertama kalinya dengan seorang pelanggan yang mencoba menyuapnya untuk melepas bajunya. Benar-benar apes. Tapi kali ini, dia agak lega Arion ada di sana. Wajah cowok tadi langsung kesal. “Bukan urusan lo, bro. Sana cari meja lain.” Arion berjalan diapit oleh Luther dan Valerian. Sambil menarik napas dalam-dalam, Alina menoleh pada Arion. Dia bahkan lebih spektakuler dari biasanya, dan Alina hampir tidak mengenalinya dengan celana jeans dan kemeja polo putih kasual. Arion mengenakan topi bisbol Atlanta Braves dengan poninya yang menjuntai menutupi matanya. Rambutnya tampak basah dan aroma kayu cedar-lavender yang bersih dan bersabun itu kembali menusuk hidung Alina. Dia pasti baru saja mandi. “Jadi, kalian mau pesan apa?” Valerian mengusap perutnya sambil menyeringai ke arah Alina. “Gue mau burger medium rare, kentang goreng double, chicken wings, sama milkshake cokelat. Oh,
“Ya, yang tinggi, seksi, gede dan... enak.” jawab Vera dengan tawa kecil di akhir kalimatnya. “Dia lagi di sini. Gue bilang ke dia lo bakal pulang sebentar lagi, tapi gue mulai khawatir. Jadi, lo naik Go-Jek aja, atau... gue tungguin, nih?” Alina mendengus, berusaha menahan kekesalannya. Dia tidak ingin membuang uang untuk naik Go-Jek, apalagi jarak rumah dari kafe hanya lima belas menit jalan kaki. “Gue lagi nunggu teman jemput. Gue bakal jalan sebentar sama dia dulu, tapi gue nyusul kok,” katanya mencoba menenangkan Vera. “Enggak apa-apa,” jawab Vera santai. “Cowok lo gue jagain. Gue pastiin cewek-cewek di sini enggak ngerecokin dia.” Alina terdiam sejenak, menelan ludah. "Cewek-cewek?" pikirnya, ngeri. “Ada berapa orang di sana?” tanyanya akhirnya. “Enggak banyak, cuma dua puluhan orang,” jawab Vera santai, suaranya bercampur tawa kecil yang sedikit mengejek. “Udah ya, hati-hati di jalan. Bye!” Vera menutup telepon begitu saja, tanpa menunggu Alina menjawab. Alina me
Alina mendengar dentuman musik keras yang bikin jantung serasa ikut bergetar. Begitu rumahnya mulai terlihat di kejauhan, dia langsung mendesah. “Ini yang lo sebut ‘pertemuan kecil’?” tanya Arion, melirik ke arahnya sambil menaikkan sebelah alis. Alina ikut menoleh keluar jendela. Pemandangan di depan mereka bikin dia makin pusing: mobil-mobil berjajar di sepanjang jalan. Alina hitung, ada sekitar dua puluhan mobil yang terparkir. Sementara musik EDM yang nggak jelas terdengar menggelegar. "Rumah lo itu yang ada mobil-mobilnya berjejer di jalan masuk dan jalan raya, kan? Sambil muterin musik jelek?" Alina menatap ke bawah, menahan rasa malu. “Ya… Temen serumah gue suka, eh… mabok?” katanya, sedikit ragu. Nada suaranya terdengar seperti sebuah pertanyaan, meskipun dia nggak berniat membuatnya terdengar begitu. Arion langsung menoleh cepat ke arah Alina. Matanya melebar, tapi gerakannya tajam banget sampai membuat Alina sedikit merasa seperti sedang diinterogasi polisi. Ket
Saat Alina masuk ke dalam rumah, suara musik langsung menghantam telinganya lebih keras. Dia sempat bengong melihat suasana di dalam—sekitar sepuluh orang ada di sana, semua kelihatan asyik dengan dunianya masing-masing. "Gila, ini kok satpam komplek nggak ada yang grebek ya?" pikir Alina. Tapi mungkin mereka menyogok, atau tetangga udah pada biasa aja sama party-party gini. Di sudut ruangan, Vera, temannya yang terkenal rada gila kalau lagi mabuk, langsung nyamperin Alina sambil goyang-goyang nggak jelas. Botol minuman keras ada di tangannya. Mukanya udah merah, jelas banget dia lagi nggak sober. "Alinaaa! Lo udah pulang!" Vera berseru dengan nada tinggi sambil merangkul bahu Alina. "Lo telat banget, sumpah! Nih, ayo ikut gue minum. Seru banget!" Alina meringis kecil. "Gue lagi males minum, Ver. Lo tau kan? Besok gue masih harus masuk kerja." Vera cemberut. "Aduh, Na, jangan cupu deh! Ini asik banget, sumpah!" Lalu, dari arah sofa, Loly datang dengan langkah sempoyo
"Ah, masih lama. Dua jam lagi..." gumam Alina sambil melirik jam dinding. Dia lagi rebahan mendengarkan musik di tempat tidur. Tapi dia merasa kayak ada yang salah.. "ASTOGE! JAM DELAPAN YA INI! UDAH JAM SEGINI AJA!" Alina langsung panik. Ini jam delapan yang berarti dua jam lagi dia harus sampai sekolah! Tanpa mikir panjang, dia langsung nyambar handuk dan lari ke kamar mandi. Setelah mandi dan pakai baju dengan kilat, Alina berdiri di depan cermin. Dia mengambil liptint merah muda dan maskara tipis, biar kelihatan fresh tapi nggak menor. Ketika sudah puas dengan penampilannya, dia buru-buru mengunci pintu rumah dan cek peta di ponsel untuk lihat rute ke sekolah. "Serius harus jalan sejauh ini? Duh, kenapa gak ada angkot lewat sih disekitar sini?" Dia menghela napas panjang. Sebenarnya satu kilometer bukan masalah. Tapi siang itu panas banget, matahari terik kayak mengajak duel. Bikin dia jadi mikir dua kali buat jalan. “Dua puluh menit ke sekolah, nembus cuaca kayak oven… fix
Mulutnya terbuka lebar. Jalanan itu penuh dengan mobil media, dan para wartawan. Mikrofon dan perekam kamera berjejer siap sedia. Sepertinya berita lokal dan nasional ada di sini. Alina mendadak gugup. Dia kembali menatap sobekan di celananya yang lebih besar dari perkiraannya, dan dengan cepat meraih jaket dari tangan Arion, membungkus pahanya agar lebih tertutup. “Terima kasih… aku tidak akan pernah hidup tenang kalau kamu tidak ada disini.” Direktur Eric sudah berdiri di teras kantor sekolah, dan Alina melihat dia bersanding dengan istri dan putrinya. Mereka tersenyum dan melambaikan tangan ke kamera. Saat Arion menggandeng tangan Alina dan mulai menaiki tangga, direktur Eric menyambut dengan ramah. Salah satu wartawan menoleh ke arah mereka berdua, kemudian mengikuti langkah mereka hingga ke tangga untuk bergabung dengan direktur dan keluarganya. "Apakah Anda adalah Alina Sari Mentari? Gadis penuh keberuntungan yang masuk ke Horizon International Academy secara eksklusi
Saat Alina masuk ke dalam rumah, suara musik langsung menghantam telinganya lebih keras. Dia sempat bengong melihat suasana di dalam—sekitar sepuluh orang ada di sana, semua kelihatan asyik dengan dunianya masing-masing. "Gila, ini kok satpam komplek nggak ada yang grebek ya?" pikir Alina. Tapi mungkin mereka menyogok, atau tetangga udah pada biasa aja sama party-party gini. Di sudut ruangan, Vera, temannya yang terkenal rada gila kalau lagi mabuk, langsung nyamperin Alina sambil goyang-goyang nggak jelas. Botol minuman keras ada di tangannya. Mukanya udah merah, jelas banget dia lagi nggak sober. "Alinaaa! Lo udah pulang!" Vera berseru dengan nada tinggi sambil merangkul bahu Alina. "Lo telat banget, sumpah! Nih, ayo ikut gue minum. Seru banget!" Alina meringis kecil. "Gue lagi males minum, Ver. Lo tau kan? Besok gue masih harus masuk kerja." Vera cemberut. "Aduh, Na, jangan cupu deh! Ini asik banget, sumpah!" Lalu, dari arah sofa, Loly datang dengan langkah sempoyo
Alina mendengar dentuman musik keras yang bikin jantung serasa ikut bergetar. Begitu rumahnya mulai terlihat di kejauhan, dia langsung mendesah. “Ini yang lo sebut ‘pertemuan kecil’?” tanya Arion, melirik ke arahnya sambil menaikkan sebelah alis. Alina ikut menoleh keluar jendela. Pemandangan di depan mereka bikin dia makin pusing: mobil-mobil berjajar di sepanjang jalan. Alina hitung, ada sekitar dua puluhan mobil yang terparkir. Sementara musik EDM yang nggak jelas terdengar menggelegar. "Rumah lo itu yang ada mobil-mobilnya berjejer di jalan masuk dan jalan raya, kan? Sambil muterin musik jelek?" Alina menatap ke bawah, menahan rasa malu. “Ya… Temen serumah gue suka, eh… mabok?” katanya, sedikit ragu. Nada suaranya terdengar seperti sebuah pertanyaan, meskipun dia nggak berniat membuatnya terdengar begitu. Arion langsung menoleh cepat ke arah Alina. Matanya melebar, tapi gerakannya tajam banget sampai membuat Alina sedikit merasa seperti sedang diinterogasi polisi. Ket
“Ya, yang tinggi, seksi, gede dan... enak.” jawab Vera dengan tawa kecil di akhir kalimatnya. “Dia lagi di sini. Gue bilang ke dia lo bakal pulang sebentar lagi, tapi gue mulai khawatir. Jadi, lo naik Go-Jek aja, atau... gue tungguin, nih?” Alina mendengus, berusaha menahan kekesalannya. Dia tidak ingin membuang uang untuk naik Go-Jek, apalagi jarak rumah dari kafe hanya lima belas menit jalan kaki. “Gue lagi nunggu teman jemput. Gue bakal jalan sebentar sama dia dulu, tapi gue nyusul kok,” katanya mencoba menenangkan Vera. “Enggak apa-apa,” jawab Vera santai. “Cowok lo gue jagain. Gue pastiin cewek-cewek di sini enggak ngerecokin dia.” Alina terdiam sejenak, menelan ludah. "Cewek-cewek?" pikirnya, ngeri. “Ada berapa orang di sana?” tanyanya akhirnya. “Enggak banyak, cuma dua puluhan orang,” jawab Vera santai, suaranya bercampur tawa kecil yang sedikit mengejek. “Udah ya, hati-hati di jalan. Bye!” Vera menutup telepon begitu saja, tanpa menunggu Alina menjawab. Alina me
Tentu saja. Malam ini, dari semua malam, Arion ada di sini. Ketika Alina menjadi pelayan untuk pertama kalinya dengan seorang pelanggan yang mencoba menyuapnya untuk melepas bajunya. Benar-benar apes. Tapi kali ini, dia agak lega Arion ada di sana. Wajah cowok tadi langsung kesal. “Bukan urusan lo, bro. Sana cari meja lain.” Arion berjalan diapit oleh Luther dan Valerian. Sambil menarik napas dalam-dalam, Alina menoleh pada Arion. Dia bahkan lebih spektakuler dari biasanya, dan Alina hampir tidak mengenalinya dengan celana jeans dan kemeja polo putih kasual. Arion mengenakan topi bisbol Atlanta Braves dengan poninya yang menjuntai menutupi matanya. Rambutnya tampak basah dan aroma kayu cedar-lavender yang bersih dan bersabun itu kembali menusuk hidung Alina. Dia pasti baru saja mandi. “Jadi, kalian mau pesan apa?” Valerian mengusap perutnya sambil menyeringai ke arah Alina. “Gue mau burger medium rare, kentang goreng double, chicken wings, sama milkshake cokelat. Oh,
"Kenapa kamu malah bekerja? Bukannya aku sudah kasih kamu kartu platinum?" “Aku nggak pakai kartu itu.” Alina mengigit bibirnya dan menegang, sementara Arion tampak kecewa. Dia menyipitkan matanya. “Dimana kau bekerja? dan kenapa nggak kau pakai fasilitas yang sudah kuberikan? Kartu itu aku buatkan khusus untukmu.” Arion berhenti sejenak, wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Alina. Kemudian ia berbisik, “Kalau kakek tahu... Ah, tidak. Bahkan ayah juga. Kalau dia tahu kamu bekerja. Apalagi sampai terjadi sesuatu yang aneh-aneh di tempat kerjamu, ayahku bisa membunuhku karena tidak mengawasimu. Jadi kalau kau nggak mau bikin aku mati, berhenti keras kepala dan pakai kartu itu.” Alina menggigit bibir. “Hmm... Sebenarnya... Clarissa... Dia merusaknya.” "Clarissa?" Arion mengerutkan dahi dan tatapannya berubah tajam. “Apa yang sudah dia lakukan padamu?” Rahang Arion mengeras dan Alina kehilangan kata-kata. Ia tidak mungkin memberitahu Arion. Namun, seakan dibicarakan langsu
“Oh, ya,” jawab Alina dengan datar. “Dia memang cowok baik.” Ines mencondongkan tubuh, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Kamu kenal Darren?” “Hmm, ya,” jawab Alina sambil merapikan kotak P3K-nya. “Kemarin dia bantu aku mencari toko buku. Kebetulan kami juga sempat ngobrol di danau.” Ines tampak kecewa, tapi berusaha menyembunyikannya dengan senyuman. “Oh, begitu. Yah, kalau kamu butuh saran tentang tim sepak bola, aku tahu semuanya. Ayahku selalu bicara tentang mereka seolah-olah mereka anak-anaknya sendiri.” Alina mengangguk pelan. “Mungkin aku akan butuh bantuanmu nanti.” Ines melirik ponselnya. “Mereka memang menyebalkan, tapi paling nggak mereka enak dilihat.” Profesor Gracia bertepuk tangan, menarik perhatian semua orang. “Baiklah, cukup untuk hari ini. Jangan lupa mempersiapkan diri untuk proyek kalian. Mulai biasakan dengan semua dasar-dasar yang diperlukan di kelas berikutnya.” Alina segera membereskan barang-barangnya. Para siswa dengan cepat bersiap u
"Ah, hampir lupa," kata Kakek sambil tersenyum penuh semangat. "Aku sudah minta staf menyiapkan kamar untuk kalian berdua. Malam ini, kalian bisa istirahat disini." "K-Kamar untuk kami berdua, Kek?" tanyanya. "Tentu saja," jawab Kakek tanpa ragu. "Kalian kan sudah menikah. Tidak ada alasan untuk tidur terpisah. Aku ingin kalian merasa nyaman di sini." Sebelum Alina sempat protes, Arion sudah memegang lengannya lembut, menggiringnya keluar dari ruang makan. "Ayo, Alina," katanya dengan suara yang terdengar terlalu riang. "Tidak sopan menolak keputusan Kakek." Alina hanya bisa mengikuti, menjaga jarak dari Arion di sepanjang lorong gedung besar itu. Hujan lebat terus melanda, tidak mungkin juga Alina pulang dengan cuaca seperti ini. Ia memandangi jendela kamar. Suara petir di luar hanya menambah suasana hatinya yang sudah buruk sejak makan malam tadi. 'Bagus.. Ranjangnya hanya satu.' Kenyataan ini membuat Alina nyaris kehilangan kendali. Ini permainan lain dari Arion u
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dengan senyum cerah. "Saya Adrian, saya akan melayani Anda malam ini." Matanya melirik sekeliling meja, lalu tertuju pada Alina. “Dan Anda pasti pria paling beruntung bisa makan malam dengan wanita cantik ini,” ujarnya. Wajah Alina memerah, tapi dia tidak bisa menahan senyum. Sementara itu, Arion terlihat kesal. Dia menahan pandangannya dari pelayan yang kini tengah pergi setelah menerima pesanan minuman mereka. Setelah beberapa saat, Arion menyesap airnya, lalu mencondongkan tubuh ke meja. “Bagaimana menurutmu tentang pemandangan disini?” “Bagus sekali. Aku senang mereka memberi kita meja yang begitu indah.” Alina tersenyum, matanya menyusuri pemandangan kota. Arion memandangi Alina dengan tatapan serius, seolah ingin memastikan bahwa dia mendengarkan apa yang sedang dia katakan. “Kamu tahu nggak? Gedung setinggi ini dibangun untuk bergoyang tertiup angin. Terkadang, jika kamu memejamkan mata, kamu bisa merasakannya bergerak di bawa
Mereka sampai di helipad pribadi. Angin dari baling-baling helikopter mulai terasa meski belum menyala penuh. Kakek Hadi berdiri di dekat pagar pembatas, mengenakan jas ringan, sementara Alina dan Arion baru tiba. Alina membawa kantung kecil, berlari kecil menghampiri kakek, sementara Arion berjalan dengan santai di belakangnya. "Kakek! Wah, kakek terlihat luar biasa hari ini! Aku bahkan hampir tidak mengenali kakek!" Tanpa ragu, Alina memeluk kakek dengan erat, matanya berkaca-kaca melihat kondisi kakek yang jauh lebih baik. Kakek tertawa kecil. "Alina, anak baikku. Lihat aku sekarang. Aku tidak butuh tongkat lagi, bahkan siap naik helikopter. Semua ini karena kamu!" Alina melepas pelukan, mata berbinarnya memandang kakek. "Kek, saya senang sekali. Kesehatan kakek benar-benar membaik. Saya sampai tidak percaya melihatnya!" "Sudah kubilang, kan, Alina? Kakek jadi luar biasa setelah pernikahan kita. Tapi aku juga nggak menyangka sampai secepat ini." "Arion, jangan mere