“Ini yang lo sebut ‘pertemuan kecil’?” tanya Arion, melirik ke arahnya sambil menaikkan sebelah alis. Alina ikut menoleh keluar jendela. Pemandangan di depan mereka bikin dia makin pusing: mobil-mobil berjajar di sepanjang jalan. Alina hitung, ada sekitar dua puluhan mobil yang terparkir. Sementara musik EDM yang nggak jelas terdengar menggelegar. "Rumah lo itu yang ada mobil-mobilnya berjejer di jalan masuk dan jalan raya, kan? Sambil muterin musik disko?" Alina menatap ke bawah, menahan rasa malu. “Ya… Temen serumah gue suka, eh… mabok?” katanya, sedikit ragu. Nada suaranya terdengar seperti sebuah pertanyaan, meskipun dia nggak berniat membuatnya terdengar begitu. Arion langsung menoleh cepat ke arah Alina. Matanya melebar, tapi gerakannya tajam banget sampai membuat Alina sedikit merasa seperti sedang diinterogasi polisi. Ketika Arion kembali fokus ke jalan, matanya mulai bergerak-gerak nggak jelas, kayak lagi mikir keras. Tatapannya loncat-loncat dari kaca spion, dashbo
Saat Alina masuk ke dalam rumah, suara musik langsung menghantam telinganya lebih keras. Dia sempat bengong melihat suasana di dalam—sekitar sepuluh orang ada di sana, semua kelihatan asyik dengan dunianya masing-masing. "Gila, ini kok satpam komplek nggak ada yang grebek ya?" pikir Alina. Tapi mungkin mereka menyogok, atau tetangga udah pada biasa aja sama party-party gini. Di sudut ruangan, Vera, temannya yang terkenal rada gila kalau lagi mabuk, langsung nyamperin Alina sambil goyang-goyang nggak jelas. Botol minuman keras ada di tangannya. Mukanya udah merah, jelas banget dia lagi nggak sober. "Alinaaa! Lo udah pulang!" Vera berseru dengan nada tinggi sambil merangkul bahu Alina. "Lo telat banget, sumpah! Nih, ayo ikut gue minum. Seru banget!" Alina meringis kecil. "Gue lagi males minum, Ver. Lo tau kan? Besok gue masih harus masuk kerja." Vera cemberut. "Aduh, Na, jangan cupu deh! Ini asik banget, sumpah!" Lalu, dari arah sofa, Loly datang dengan langkah sempoyon
Alina berusaha menahan tawa gugupnya. Dia cuma berharap Arion nggak dengar suara jantungnya yang berdebar kencang kayak drum dipukul habis-habisan. Rasanya sampai ke tenggorokan. Arion menjatuhkan tangannya, sementara rahangnya mengeras. “Ini gak lucu.” Dia berjalan mendekat, dahinya berkerut. "Kalau ada orang masuk pas lo tidur atau mandi, gimana?!" "Aman kok. Gue ganjel pintu pake kursi, udah gitu aja. Simple, kan?" Alina tersenyum kecil, mencoba meredakan suasana, tapi jelas gagal. "Ganjel pintu? Itu nggak jamin apa-apa! Terus kalau lo ganti baju? Di mana? Di kamar mandi? Atau lo nggak peduli kalau ada yang intip?" "Gue selalu bawa baju ke kamar mandi kok. Nggak ada yang bisa lihat apa-apa. Lagi pula, siapa juga yang mau repot-repot masuk sini?" Arion hanya diam, berjalan ke arah pintu dan menekannya dengan satu tangan, menunjukkan bagaimana pintu itu bisa terbuka dengan mudah. Akhirnya, Arion membuka mulutnya, "Pintu lo nggak ada kuncinya. Lo tinggal sama orang yang
"Lo ada di sana kan? Lo nggak apa-apa?" Itu suara Darren. Alina langsung panik. Sementara Darren semakin mendekat, Arion masih menahannya di tempat tidur, posisinya masih terlalu dekat. Alina mencoba menarik kakinya dari kasur dan mendorong Arion menjauh, tapi cengkeramannya sangat kencang seperti lem. "Tolong, lepasin gue," bisik Alina, setengah memohon. Ia nggak bisa membayangkan apa yang Darren pikirkan kalau melihat mereka begini. Arion hanya menyeringai sebelum perlahan melepaskannya dan bangkit sambil meraih ponselnya. "Oh," Darren berhenti di ambang pintu, kaget. "Gue… nggak tahu…" Matanya bergerak antara Alina dan Arion dengan ekspresi syok, wajahnya pucat pasi. Dengan gugup, Alina merapikan rambutnya, lalu menyadari rambutnya yang masih basah tampak sedikit berantakan. Juga ada tonjolan di celana Arion. Tidak diragukan lagi apa yang telah mereka berdua lakukan. Kalau itu belum cukup mencurigakan, Alina melirik ke arah Arion—bibir cowok itu bengkak. Itu berarti… b
Vera, minum seteguk air sambil mikir. "Oh, yang tinggi, kulit putih, muka kayak campuran Korea sama bule? Itu Arion, kan?" Alina cuma diam, nggak kaget. Dia sudah tahu betapa populernya Arion, tapi dia selalu berusaha nggak terlalu memikirkannya. "Gue pernah ketemu sekali di salah satu clubbing. Anak itu emang terkenal, kan sering nongol di TV. Lo nggak tahu?" Loly langsung ngakak. "Oh. Pantes aja semalem dia berasa kayak Raja Party. Ternyata dia Raja TV juga." "Iya. Waktu itu dia dateng sama beberapa temennya... Gue juga pernah nemuin tuh anak main futsal di salah satu acara olahraga kampus gue. Aura dia tuh beda, kayak... lo tahu lah, anak yang selalu dapet spotlight." Vera menjelaskan sambil menyender di meja dapur. Alina cuma ngaduk mi di panci, pura-pura sibuk, tapi sebenarnya lagi mikir keras. "Dia nggak ngatur party kalian sembarangan, kok. Dia cuma khawatir sama gue," katanya pelan. Vera dan Loly langsung melirik dia bersamaan, mata mereka penuh rasa ingin tahu.
Sentuhannya lembut, tapi juga bikin perutnya jungkir balik. Alina nggak sadar mengikuti alurnya, lupa sama segala protes yang tadi dia pikirkan. Tiba-tiba suara dari dalam rumah membuyarkan momen itu. "Siapa tuh?" suara Loly terdengar dari dalam, bikin Alina langsung menjaga jarak. Arion bergurau, kelihatan agak kesal. "Mereka suka banget gangguin orang, ya?" katanya sambil ketawa pelan. Alina nggak bisa nahan senyum kecil juga. Dia buka pintu lebih lebar, menyuruh Arion masuk. "Ini Arion." Begitu mereka masuk, Loly sudah berdiri di ruang tamu. Dia baru selesai mandi, rambutnya basah, dan handuk kecil masih nempel di lehernya. Dia melirik ke arah Arion, terus ke arah Alina, lalu pasang senyum penuh arti. Alina langsung tahu ini bakal panjang. Saat Alina dan Arion masuk, Loly langsung melepas waslap basah yang masih nempel di lehernya dan mulai nyisir rambut dengan jari-jarinya. Dia nyengir, mungkin berusaha kelihatan normal, padahal dia keliatan basah kuyup dan pucat gara-ga
Ketika dia lewat, Alina melemparkan makanan ke mereka dan bilang, "Kalian berdua tuh rakus. Dan tiap akhir pekan lo berdua bangun, pasti lagi hangover, Sabtu Minggu. Gitu aja terus-terusan. Gak ada yang belajar dari pengalaman. Emang gak kapok-kapok lu pada." "Lo kok masih bisa sadar gini sih, Na? Padahal lo ikut minum juga semalam." Vera buka bungkus burger dan menggigitnya. Alina hampir nggak bisa menahan tawa. Kalau mereka tau apa yang Alina lakukan semalam, mereka nggak bakal mau Alina ambil minuman lagi. "Gue sih cuma minum satu, mungkin toleransi gue lebih tinggi daripada kalian berdua." Arion menoleh sejenak sebelum masuk ke dapur, Alina menghampirinya, malas dengar dua cewek itu lanjut mengeluh. Arion menaruh unit AC di depan kompor dan mengeluarkan peralatan buat baut pengaman sambil berbisik, "Lo nggak minum apa-apa semalem. Gue nggak ngerasain sama sekali dari bibir lo..." Arion mendekat dan mengedipkan matanya. Alina kaget otomatis tubuhnya menghangat karena inga
Alina ingin tahu apa mau Arion, tapi ya sudahlah, Alina harus kerja. "Oke." akhirnya dia menyerah, setidaknya harga dirinya masih aman. Sepanjang perjalanan ke kafe, suasananya sunyi. Seperti ada dinding tak kasatmata di antara mereka. Ketika mobilnya berhenti, Arion langsung bertanya, "Jam berapa lo pulang?" Awalnya Alina malas jawab, tapi feeling-nya bilang kalau dia nggak kasih tahu, Arion bakal nongkrong depan kafe sampai Alina selesai. Dan itu nggak akan terjadi. "Sekitar jam yang sama kayak tadi malem." "Oke," jawab Arion. "Gue bakal datang lebih awal. Buat jaga-jaga." Arion nggak lihat ke Alina, cuma fokus ke kaca depan, kayak menyetir itu tugas negara. "Ya, makasih," jawab Alina pendek. Dia keluar dari mobilnya, membanting pintu dengan keras, lalu jalan masuk ke kafe tanpa lihat ke belakang. Untung kafe sudah ramai. Alina menaruh barang-barangnya, ambil buku catatan sama pena, dan bekerja. Alina nggak tahu apa yang Arion rencanakan, tapi kelihatannya dia harus
enin pagi datang, dan Alina masih melayang di awang-awang karena cinta. Sisa liburan mereka habis di rumah kota—nonton film bareng, makan enak, dan ya… ngelakuin hal-hal yang cuma bisa mereka lakuin berdua. Ketika Daniel mengabarkan kalau lamaran kuliahnya ke Universitas Nasional udah di-acc, Alina cuma bisa senyum setengah hati. Dia seneng, tapi juga takut. Rasanya dia belum siap ninggalin “dunia kecil” yang dia punya sama Arion sekarang. Tapi ya namanya juga hidup, kenyataan pasti datang dan menghampiri. Untungnya, mereka sekarang udah nggak perlu ngumpet-ngumpet di sekolah. Mereka jalan bareng, gandengan tangan, dan duduk bareng di kelas. Biasanya Arion duduk di belakang, tapi sekarang dia pindah duduk di sebelah Alina. Valerian yang awalnya duduk di situ, akhirnya ngalah juga. Arion narik Alina biar makin deket dan langsung nyium dia di depan murid lain. Bukan ciuman biasa—yang ini dalem banget sampe bikin lutut Alina lemas dan harus pegangan ke Arion biar nggak ambruk. “Eh,
Direktur Eric. Tatapan pria itu melunak saat menatap tangan Arion dan Alina yang saling menggenggam. Alina mendongak ke belakang, tak menyangka reaksi seperti itu dari ayah Clarissa sendiri. Arion menariknya keluar rumah. Saat pintu tertutup, Alina menarik napas dalam-dalam. “Arion, mungkin kita harus kembali masuk...” “Nggak mungkin,” jawab Arion, menarik Alina ke pelukannya. “Gue cuma butuh lo. Bersama lo adalah tempat yang paling pas buat gue. Gue laper. Yuk, kita cari makan malam yang kayak biasa lo dan nyokap lo masak.” Dada Alina terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena emosi yang numpuk. Sejak orang tuanya meninggal, hari-hari libur selalu bikin dia cemas. Dia pengen nginget masa lalu, tapi rasanya nyakitin banget. Tapi bersama Arion, dia ngerasa... bisa. Bisa ngelewatin semuanya. Pikiran buat makan makanan kayak masakan nyokapnya bikin dia ngangguk semangat. “Emangnya ada tempat yang jual makanan gitu di sini?” Arion ketawa. “Ada aja, kok. Cuma bokap-nyokap gue
Alina melangkah mendekat, meletakkan tangannya di dada Arion. "Gue harus pergi.." Arion mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. "Tapi kata Kakek, lo harus tetap di sini." "Lo serius sekarang? Lo benar-benar mau gue disini?" Alina menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. "Tapi… mereka ayah dan ibu lo Arion. Lo harus nurutin apa kata mereka," ujarnya lirih. "Kalau saja kedua orang tua gue masih hidup… gue akan melakukan apa pun demi bisa menghabiskan satu liburan lagi bersama mereka." Tidakkah Arion menyadari betapa berharganya keberadaan seorang ayah, walau tak sempurna? Arion tersenyum getir. "Dia nggak pernah bertingkah seperti ayah gue. Ibu tiri gue dan saudara perempuan gue juga nggak pernah benar-benar nganggep gue bagian dari keluarga. Semuanya cuma soal kontrol dan citra di depan publik. Gue nggak akan tinggal disini." Ia mengecup puncak kepala Alina dengan lembut. "Tapi makasih ya… karena udah peduli. Ayo, kita
'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."
Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s
Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia
BRAKK! Pintu kamar terbuka dengan kasar. Arion tetap bersikap santai, sementara Alina tersentak kaget. Jantungnya berdebar kencang, dan ia refleks beringsut menjauh, tapi pegangan Arion di pinggangnya terlalu erat. "Apa-apaan ini, Arion? Kenapa ada dia di kamarmu?" suara Pak Remi terdengar tajam, sorot matanya penuh tekanan. Arion melirik sekilas ke arah ayahnya sebelum menunjuk ke layar TV yang masih menampilkan adegan bersambung. "Aku cuma nonton sama dia. Itu aja. Kalau nggak keberatan, kita mau lanjut," jawabnya santai. Pak Remi semakin kesal, rahangnya mengeras. "Kamu mau bikin masalah apalagi? Clarissa nangis tadi, dia sampai telepon Eric sambil sesenggukan!" Arion menghela napas panjang, lalu meraih remote untuk mematikan TV. "Aku nggak pernah nyuruh dia ngurusin hidupku yah, jadi aku nggak ngerti kenapa ayah malah nyalahin aku." Alina menahan napas. Cara Arion menanggapi ayahnya begitu cuek, seolah ini bukan masalah besar. Padahal, Pak Remi jelas-jelas tidak
Alina menegang. Dia bisa merasakan suasana di ruangan ini berubah drastis—udara jadi lebih berat, dan tatapan Arion menggelap, penuh amarah. "Mulut lo itu," Arion mendekat selangkah, bahunya menegang. "Mau gue bikin diem?" Pria itu hanya menyeringai kecil, ekspresinya sama sekali nggak terpengaruh oleh nada tajam yang keluar dari mulut Arion. "Santai aja kali. Lagian Alina juga kayaknya seneng gue disini... By the way, kok lo balik sama Alina?" "Tch," Arion mendecakkan lidahnya, melepaskan genggaman tangannya dari Alina. "Suka-suka gue mau bawa dia kemana aja." Daniel menyipitkan mata, senyumnya tipis tapi penuh arti. "Kenapa lo bawa dia ke sini?" Dia melipat tangan di dada, menatap Arion dengan penuh minat. "Bukannya dia tinggal bareng Clarissa di villa Direktur Eric?" Alina menahan napas, berharap bisa menghilang saat itu juga. Arion melipat tangan di dada, wajahnya tanpa ekspresi. "Emangnya nggak boleh?" Daniel terkekeh, mengangkat bahu santai. "Boleh-boleh aj
Saat Arion menarik dirinya dari Alina, dia hanya melemparkan pandangan tajam ke Clarissa. "Ini cuma awal, Clar. Jangan ganggu hidup kami lagi." Alina, masih terengah-engah, menatap Arion—antara cemas dan bingung, belum sepenuhnya siap untuk apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang jelas, dia tahu ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Clarissa tertawa sinis, matanya berkilat penuh amarah. "Gila. Ini semua nggak beneran kan?" "Gue nggak peduli apa yang lo pikirin." Arion menghela napas sambil menutup ritsleting koper Alina dengan gerakan cepat, lalu menarik koper itu dan menggulirkannya ke arah pintu. Clarissa masih berdiri di sana, menghalangi jalan. "Apa yang lo pikir lo lakuin?!" "Dia datang ke sini sama gue," lanjut Clarissa, nadanya penuh klaim kepemilikan. Arion menyeringai sinis. "Oh, iya? Kedengerannya lebih kayak lo bawa dia ke sini buat jadi samsak tinju lo." Dia melipat tangan di dada, menatap Clarissa dengan penuh penghinaan. "Dia bakal lebih aman d