Pikiran Alina langsung berantakan... 'Duh, kayanya gue bikin dia salah paham.' Alina berharap dia nggak membuat cowok itu berpikir dia bakal mencium cowok mana pun yang mengantar dirinya pulang. Alina buru-buru menarik diri dari pelukannya, mencoba mengalihkan pikiran, sambil mengingatkan dirinya bahwa Darren tetaplah teman baiknya. Dengan cepat, Alina berdiri tegak dan memberikan senyum kecil sebelum membuka pintu mobil, berharap suasana canggung itu cepat berlalu. "Malam, Ren." Dia buru-buru turun dan nggak lupa buat melambaikan tangannya lalu lari masuk ke rumah. *** Mimpi buruk itu lagi-lagi menghantui Alina. Dia terbangun sambil menangis. Entah gimana, alarmnya nggak bunyi, dan sekarang dia kesiangan pergi ke sekolah. Cuaca Jakarta yang lagi panas banget makin bikin mood Alina berantakan. Alina buru-buru pake seragam HIA – rok tartan biru, kemeja putih dan dasi biru polos – lalu menyambar ranselnya. Begitu buka pintu, dia terkaget. Mobil Arion sudah parkir di depan
Saat hampir sampai gerbang sekolah, tiba-tiba ada mobil yang melaju kencang dari belakang. Begitu mobil itu menyerempet, Alina langsung kaget, dan terdengar suara Clarissa yang teriak dari dalam mobil. "Eh cewek miskin sialan! Hati-hati dong kalo jalan!" teriak Clarissa sambil ketawa. Alina panik, berusaha menghindar, tapi karena terlalu dekat, dia malah terjatuh ke trotoar. Lututnya berdarah sedikit, sakit banget. Untungnya, Ines yang kebetulan lewat dengan mobilnya langsung turun dan buru-buru bantu Alina. "Alina, lo nggak apa-apa kan?" tanya Ines khawatir sambil membantunya berdiri. Alina cuma bisa geleng-geleng kepala sambil menahan sakit, "Gue fine, cuma agak sakit aja. Nggak nyangka bakal ketabrak gitu." Ines langsung melirik ke arah mobil Clarissa yang sudah jauh, "Itu Clarissa ya? Dasar cewek psikopat! Emang nggak ada otaknya tuh orang!" "Udah lah, Ines. Lo nggak perlu peduliin dia. Yang penting gue aman," jawabnya, sambil membersihkan roknya dari kotoran. "Eh, t
"Lo kenapa?" tanya Ines sambil ngeliatin Alina yang kayaknya mulai ketar-ketir. "Kok diem aja?" Alina buru-buru jawab, "Gak ada apa-apa kok, Ines. Lo denger gosip itu dari siapa?" Ines tertawa. "Dari temen-temen gue. Dan gue rasa Clarissa mungkin cemburu sama lo. Lihat aja, setelah putus dia juga masih ngedeketin Arion, kan? Direktur Eric sama Pak Remi, ayahnya Arion, mereka itu sahabatan. Jadi nggak heran kalau Clarissa selalu ada deket Arion." Alina terdiam, matanya mulai terbuka lebar. Masa dia nggak peka selama ini? Arion deket sama Clarissa pasti karena ortu mereka. "Jadi... menurut lo, Arion pacaran sama Clarissa karena dijodohin bokapnya?" Ines angguk pelan. "Bisa jadi. Gue nggak heran sih kalau Clarissa ada niat di balik itu. Mereka berdua kan dari keluarga yang powerful, jadi pasti punya kepentingan. Jadi, lo hati-hati aja, ya." Alina menarik napas dalam-dalam. “Oke, Ines. Makasih ya infonya. Gue juga nggak terlalu peduli sama mereka." Bohong. Alina deg-degan
"Ya terus mau gimana? Lo kira gue bakal laporan ke lo setiap gue hampir mati diserempet pacar lo itu?" Dahi Arion mengernyit. "Dia udah bukan pacar gue lagi. Lagian siapa juga yang maksa buat turun?" "Gue nggak nyesel kok minta turun. Oh iya, jadi kalau dia bukan pacar lo, kenapa dia hampir bikin gue jadi korban tabrak lari?" Arion kelihatan mau balas, tapi suara mereka sudah makin kencang, bikin Valerian, yang duduk di depan, nengok. "Eh, eh, gue nggak ngerti, tapi kayanya lo berdua seru banget. Ini kelas kimia apa sinetron, sih?" Arion ngelirik Valerian dengan ekspresi datar. "Lo mau ikut campur? Sini gue kasih peran." "Santai, bro. Gue cuma penonton setia." Tapi sebelum Alina bisa melerai, Ibu Sylvia datang dari meja depan, melirik tajam ke arah mereka. "Arion. Luther. Kalau kalian nggak bisa diam, lebih baik saya pindahkan kalian ke depan meja saya." "Gimana, kapten? Kita pindah aja, seru tuh." Arion menyender di kursi, ekspresinya santai banget. "Nggak usah,
"Ya ampun, Alina, lo nggak bilang kalau lo daftar program 'cowok penjaga pribadi'?" kata Valerian sambil terbahak-bahak. Luther pun ikut nyeletuk, "Paling juga Arion ngomongin dirinya sendiri. Udah jelas dia calon cowok keker lo, Na!" Alina cuma bisa bengong, bibirnya udah kebuka tapi nggak ada kata yang keluar. Dalam pikirannya, dia berusaha keras buat nggak ngelempar pulpen ke kepala Arion. 'Apa-apaan sih nih cowok? Kok bisa-bisanya ngomong kayak gitu? Gue bakal punya cowok keker? Oh, hell no. Sumpah, gue nggak tahu gimana otaknya bisa muter kayak gitu.' Arion balik duduk di kursinya sambil berbisik ke Alina. "Tenang aja, nggak ada yang bakal ngebully lo sekarang," Alina langsung mendelik, mukanya merah padam. "Lo pikir ini bikin gue aman? Lo malah bikin gue kayak cewek desperate yang lagi cari bodyguard!" "Setidaknya nggak ada yang bakal macam-macam lagi sama lo. Lo harus berterima kasih." Alina langsung menjauh dari Arion ketika bel istirahat bunyi. Tanpa pikir
"Laper banget, lo?" Alina tersenyum sambil menunjuk nampan Darren pakai garpu yang sudah ditusuk bakso. "Iya. Pelatih abis nge-push kita habis-habisan." Dia ketawa kecil sambil mengusap perutnya. Ines mengangguk, pipinya agak merah. "Dia emang gitu. Tapi lo keren banget kok tadi." "Thanks." Darren tersenyum balik sambil menusuk spaghetti di piringnya. Dia terus menatap Alina. "Habis latihan gue ke kafe tempat lo kerja pas hari Minggu, tapi tutup." Itu salah satu hal yang Alina suka dari tempat kerjanya. "Iya, kafe itu emang tutup setiap hari Minggu. Tempat itu kayak... semedi kalau Minggu." Darren masih tersenyum. "Temen sekamar lo party lagi nggak malam Minggu? Rumah lo sepi banget Sabtu kemarin pas gue nganterin lo." Ines, yang Alina tahu ada rasa ke Darren, kelihatan tegang. "Enggak," Alina jawab cepat sambil melirik Ines. Alina nggak mau dia merasa ditinggalin dari obrolan. "Temen sekamar gue emang suka mabok dan bikin party sih." Darren ketawa kecil. "Iya, g
"Orang-orang pasti mikir lo lagi pacaran sama dia." Alina merasa dadanya semakin sesak. "Suka-suka gue mau jalan sama siapa aja. Emang lo pikir kita punya hubungan apa selain pernikahan boongan?" Alina merasa ada yang nggak beres, tapi dia nggak tahu harus ngomong apa lagi. "Nggak usah pura-pura nggak tahu." katanya, suara lebih dalam dari sebelumnya. "Lo itu cantik buat gue. Itu masalahnya. Lo terlalu semok." Tubuh Alina bergetar, dan secara fisik dia merasa sakit karena nggak melangkah mendekati Arion. Arion baru aja menyebutnya cantik. Dan mengapa itu penting? Alina tersentak, dia balas dengan suara serak, "Iya, jelas masalahnya gue. Bukan lo dan asumsi-asumsi aneh lo itu." Arion selangkah lebih dekat, dan tatapannya kali ini menyeramkan. "Gimana itu bisa jadi asumsi kalau lo nggak menyangkal apa-apa?" Paru-paru Alina sekarang berhenti bekerja. "Kalau menurut lo gue ini mainin lo, kenapa lo masih ngejar-ngejar gue?" "Lo pasti tahu alasannya." Arion nyaris ngg
Mereka balik ke kelas dengan suasana yang canggung, tapi setidaknya semua berjalan damai sampai jam sekolah selesai. Saat pulang, Arion menawarkan buat antar Alina pulang. “Yah, menurut gue, lo biarin orang lain nganterin lo sementara lo punya gue sebagai suami lo—meskipun pernikahan kita cuma pura-pura—itu nggak sopan,” kata Arion waktu mereka jalan ke arah mobilnya. “Dan, lebih parahnya lagi, gue malah tahu dari Darren.” Oke, itu poin yang masuk akal. Arion memang sudah sering membantu Alina, walaupun caranya selalu bikin Alina kesal. Tapi, sisi Arion yang ini bikin Alina mikir kalau dia perlu memperbaiki semuanya. Supaya Arion nggak lagi jadi brengsek. “Gue nggak bermaksud begitu, gue nggak punya nomor lo,” Alina mengaku. “Lo sering banget bantuin gue, dan gue benci ngerasa kayak gue ini beban.” “Gue nggak pernah minta lo ngelakuin apa pun buat gue,” katanya waktu mereka sampai di mobilnya. “Sebenernya, lo sering banget ngelawan gue. Tapi, ya udah, ini salah gue juga ka
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu