"Orang-orang pasti mikir lo lagi pacaran sama dia." Alina merasa dadanya semakin sesak. "Suka-suka gue mau jalan sama siapa aja. Emang lo pikir kita punya hubungan apa selain pernikahan boongan?" Alina merasa ada yang nggak beres, tapi dia nggak tahu harus ngomong apa lagi. "Nggak usah pura-pura nggak tahu." katanya, suara lebih dalam dari sebelumnya. "Lo itu cantik buat gue. Itu masalahnya. Lo terlalu semok." Tubuh Alina bergetar, dan secara fisik dia merasa sakit karena nggak melangkah mendekati Arion. Arion baru aja menyebutnya cantik. Dan mengapa itu penting? Alina tersentak, dia balas dengan suara serak, "Iya, jelas masalahnya gue. Bukan lo dan asumsi-asumsi aneh lo itu." Arion selangkah lebih dekat, dan tatapannya kali ini menyeramkan. "Gimana itu bisa jadi asumsi kalau lo nggak menyangkal apa-apa?" Paru-paru Alina sekarang berhenti bekerja. "Kalau menurut lo gue ini mainin lo, kenapa lo masih ngejar-ngejar gue?" "Lo pasti tahu alasannya." Arion nyaris ngg
Mereka balik ke kelas dengan suasana yang canggung, tapi setidaknya semua berjalan damai sampai jam sekolah selesai. Saat pulang, Arion menawarkan buat antar Alina pulang. “Yah, menurut gue, lo biarin orang lain nganterin lo sementara lo punya gue sebagai suami lo—meskipun pernikahan kita cuma pura-pura—itu nggak sopan,” kata Arion waktu mereka jalan ke arah mobilnya. “Dan, lebih parahnya lagi, gue malah tahu dari Darren.” Oke, itu poin yang masuk akal. Arion memang sudah sering membantu Alina, walaupun caranya selalu bikin Alina kesal. Tapi, sisi Arion yang ini bikin Alina mikir kalau dia perlu memperbaiki semuanya. Supaya Arion nggak lagi jadi brengsek. “Gue nggak bermaksud begitu, gue nggak punya nomor lo,” Alina mengaku. “Lo sering banget bantuin gue, dan gue benci ngerasa kayak gue ini beban.” “Gue nggak pernah minta lo ngelakuin apa pun buat gue,” katanya waktu mereka sampai di mobilnya. “Sebenernya, lo sering banget ngelawan gue. Tapi, ya udah, ini salah gue juga ka
Alina melihat ke sekeliling. Tempat ini beneran sepuluh kali lebih besar dari SMA Pelita Harapan, sekolah lamanya. Jadi, gak heran stadion ini keliatan luar biasa. Ketika satpam lihat Ines, mereka langsung buka pintunya. Alina ikut masuk, dan suara ramai dari luar perlahan mulai berkurang. Bau sosis bakar dari stand makanan tadi masih tercium samar-samar dan hilang ketika pintu tertutup. Alina menarik napas buat menenangkan diri. “Lo nggak apa-apa?” dahi Ines mengernyit. “Gue gak terlalu kebiasa sama keramaian,” jawab Alina sambil menyeka keringat. “Tenang aja, di lapangan bakal lebih baik. Emang banyak orang, tapi gak sepadet di atas.” Mereka sampai di ujung tangga yang lebar, dan di bawahnya ada aula besar yang lumayan kosong. Aula ini tersambung ke lorong yang mengarah langsung ke lapangan utama. Di sepanjang sisi lorong ada empat pintu yang kayaknya menuju ruang ganti dan kantor. Begitu Alina keluar ke lapangan, Alina lihat dua tim lagi pemanasan. Tim HIA pakai jers
Alina melihat Arion, nomor punggung dua belas. Cowok itu sudah lama banget menjauh dari Alina akhir-akhir ini. Entah kenapa Alina juga jadi males deket-deket sama dia. Tapi apalah daya, Alina punya tanggung jawab di sini. Dia buang jauh-jauh rasa itu dan mulai menghampiri tim. Tiba-tiba, ada pemain yang lari ke arah Alina, terus dia menarik Alina ke pelukannya sambil memutar badan Alina. Itu Darren. Wajahnya keliatan senang banget, sampai Alina nggak bisa menahan senyum. “Lo di sini juga! Gue kira lo bakalan lembur,” katanya sambil nyengir lebar. Alina melirik sambil pura-pura kesal. “Ya iyalah gue di sini. Sepak bola tuh tugas PMR gue, tahu!” Darren menurunkan Alina dari pelukannya, lalu mendekatkan wajahnya sambil nyengir jahil. “Ngaku aja Alina.. pasti lo ke sini buat ketemu gue, kan?” Belum sempat Alina jawab, ada pemain lain yang jalan santai ke arah mereka. “Minggir lo, Darren,” Valerian melirik Darren. “Lo jadi bodyguard pribadinya sekarang? Bagi tugas dong, gue
Sebagian dari Alina masih berharap Arion bakal mengejar. Tapi itu cuma angan-angan bodoh. Ibaratnya, Arion sudah menggadaikannya ke Valerian, dan sejak Clarissa melihat mereka berdua bareng, Arion nggak pernah lagi bicara. Walaupun keberadaan Arion kadang bisa mengurangi kesedihannya, Arion malah lebih sering bikin hidup Alina makin berantakan. Jadi Alina pikir dia harus berhenti bersikap naif. Ia tetap menatap ke tengah lapangan, sengaja menghindari pandangan ke arah para cheerleader. Dia berjalan ke garis tengah sambil bawa tas obat-obatan. Daniel udah balik sekarang. Alina hampir sampai ketika tiba-tiba sesuatu keras menghantam sisi tubuh belakangnya. Hampir jatuh, tapi untungnya Alina masih bisa jaga keseimbangan. Tas obat-obatan di tangannya terlepas, tapi karena ada tali leher, tas itu cuma menghantam lututnya. Sakit, tapi lebih mending daripada Alina harus malu jatuh di depan ribuan orang. Dibelakang, Clarissa berdiri dengan seringai puas. Dia langsung mendekat dan pu
Mereka berjalan ke arah zona akhir dalam keheningan, sambil mengutak-atik perban, antiseptik, dan plester. Alina memastikan semua peralatan ada di tempatnya dan siap dipakai. Begitu sampai, para cheerleader udah pada sibuk. Mereka lari-larian buat berbaris menyambut tim di lapangan. Alina melirik Clarissa dari jauh dan, dengan berat hati, mendekatinya untuk ngecek lututnya yang dibalut. Alina benerin posisi perbannya dan pastiin nggak ada yang salah. Clarissa cuma senyum sinis sambil berkata pelan, "Jangan sampai lo salah, Alina. Ayah gue nggak suka kalau ada yang ngelakuin kesalahan sama anaknya." Alina menahan diri untuk nggak nge-roll mata. Penyiar mulai ngomong lewat interkom, bikin semua orang di stadion heboh. Sorakan penonton makin kencang waktu tim sepak bola masuk lapangan, ngelewatin spanduk biru emas "Tigers." Arion, Valerian, dan Luther ada di depan, memimpin tim masuk dengan percaya diri. Energi stadion langsung bikin suasana jadi panas. Alina mencoba tetap pro
Darren tiba-tiba ngomong, "Eh, malam ini ada pesta di sekolah. Lo mau ikut nggak, Na?" Alina buru-buru geleng. "Kayaknya gue skip deh. Capek banget. Gue aja susah ngikutin kalian tadi. Lo pada pergi aja, gue bakal pesan Go-Car buat pulang." Alina pura-pura sibuk buka ponsel biar nggak kelihatan kalau Alina emang nggak niat. Valerian langsung ngeluarin kunci mobilnya. "Gue bisa anterin lo. Tenang aja, pesta kan baru dimulai kalau gue dateng." Alina ketawa tanpa sadar. Itulah Valerian; dia selalu bisa bikin suasana cair. "Lo lagi ngutip siapa sekarang, Val?" "Siti Nurhaliza, mungkin?" candanya sambil nepak dada. "Dia nomor satu di daftar orang yang gue kagumi... ya, lo tahu lah." Arion tiba-tiba nyelak, nadanya tegas banget. "Lo udah janji sama anak cheerleaders buat langsung ke sana. Gue aja yang anterin Alina." Jantung Alina mendadak berdebar, makin kesal sama diri sendiri. 'Udah sumpah mau ngehindarin dia, malah begini.' "Nggak usah. Lo nggak perlu repot. Gue bisa n
Alina udah capek denger alasan yang sama. "Kita gak nikah karena sama-sama mau ya, Arion. Lo gak punya hak buat nentuin apa yang gue lakuin. Lo bisa ngeabaikan gue kapan aja, terus sekarang lo tiba-tiba pengen ngobrol? Lo gak punya hak bawa gue ke tempat yang gue gak setuju." Alina ngerasa sakit hati, tapi dia tahan itu semua. "Gue capek diatur sama lo, jadi gue bakal pulang jalan kaki. Pergi dah lo dari sini." Alina menambahkan kecepatan langkahnya, pengin banget nyampe rumah lebih cepat. Alina kira Arion bakal ninggalin dia, tapi mobilnya masih ada di belakang Alina. "Kenapa lo harus selalu sekeras kepala ini sih?" "Di sekolah, gue selalu jalanin hidup gue sendiri, dengan harapan bisa lewatin tahun ini tanpa harus mikirin Clarissa yang nyakitin gue. Lo yang terus ganggu hidup gue, pura-pura diem waktu ekskul bareng, terus maksa Valerian nganterin gue kemana-mana. Gue baik-baik aja sendiri. Kalau lo ninggalin gue, gue bakal ninggalin lo juga, dan semuanya bakal jauh leb
enin pagi datang, dan Alina masih melayang di awang-awang karena cinta. Sisa liburan mereka habis di rumah kota—nonton film bareng, makan enak, dan ya… ngelakuin hal-hal yang cuma bisa mereka lakuin berdua. Ketika Daniel mengabarkan kalau lamaran kuliahnya ke Universitas Nasional udah di-acc, Alina cuma bisa senyum setengah hati. Dia seneng, tapi juga takut. Rasanya dia belum siap ninggalin “dunia kecil” yang dia punya sama Arion sekarang. Tapi ya namanya juga hidup, kenyataan pasti datang dan menghampiri. Untungnya, mereka sekarang udah nggak perlu ngumpet-ngumpet di sekolah. Mereka jalan bareng, gandengan tangan, dan duduk bareng di kelas. Biasanya Arion duduk di belakang, tapi sekarang dia pindah duduk di sebelah Alina. Valerian yang awalnya duduk di situ, akhirnya ngalah juga. Arion narik Alina biar makin deket dan langsung nyium dia di depan murid lain. Bukan ciuman biasa—yang ini dalem banget sampe bikin lutut Alina lemas dan harus pegangan ke Arion biar nggak ambruk. “Eh,
Direktur Eric. Tatapan pria itu melunak saat menatap tangan Arion dan Alina yang saling menggenggam. Alina mendongak ke belakang, tak menyangka reaksi seperti itu dari ayah Clarissa sendiri. Arion menariknya keluar rumah. Saat pintu tertutup, Alina menarik napas dalam-dalam. “Arion, mungkin kita harus kembali masuk...” “Nggak mungkin,” jawab Arion, menarik Alina ke pelukannya. “Gue cuma butuh lo. Bersama lo adalah tempat yang paling pas buat gue. Gue laper. Yuk, kita cari makan malam yang kayak biasa lo dan nyokap lo masak.” Dada Alina terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena emosi yang numpuk. Sejak orang tuanya meninggal, hari-hari libur selalu bikin dia cemas. Dia pengen nginget masa lalu, tapi rasanya nyakitin banget. Tapi bersama Arion, dia ngerasa... bisa. Bisa ngelewatin semuanya. Pikiran buat makan makanan kayak masakan nyokapnya bikin dia ngangguk semangat. “Emangnya ada tempat yang jual makanan gitu di sini?” Arion ketawa. “Ada aja, kok. Cuma bokap-nyokap gue
Alina melangkah mendekat, meletakkan tangannya di dada Arion. "Gue harus pergi.." Arion mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. "Tapi kata Kakek, lo harus tetap di sini." "Lo serius sekarang? Lo benar-benar mau gue disini?" Alina menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. "Tapi… mereka ayah dan ibu lo Arion. Lo harus nurutin apa kata mereka," ujarnya lirih. "Kalau saja kedua orang tua gue masih hidup… gue akan melakukan apa pun demi bisa menghabiskan satu liburan lagi bersama mereka." Tidakkah Arion menyadari betapa berharganya keberadaan seorang ayah, walau tak sempurna? Arion tersenyum getir. "Dia nggak pernah bertingkah seperti ayah gue. Ibu tiri gue dan saudara perempuan gue juga nggak pernah benar-benar nganggep gue bagian dari keluarga. Semuanya cuma soal kontrol dan citra di depan publik. Gue nggak akan tinggal disini." Ia mengecup puncak kepala Alina dengan lembut. "Tapi makasih ya… karena udah peduli. Ayo, kita
'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."
Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s
Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia
BRAKK! Pintu kamar terbuka dengan kasar. Arion tetap bersikap santai, sementara Alina tersentak kaget. Jantungnya berdebar kencang, dan ia refleks beringsut menjauh, tapi pegangan Arion di pinggangnya terlalu erat. "Apa-apaan ini, Arion? Kenapa ada dia di kamarmu?" suara Pak Remi terdengar tajam, sorot matanya penuh tekanan. Arion melirik sekilas ke arah ayahnya sebelum menunjuk ke layar TV yang masih menampilkan adegan bersambung. "Aku cuma nonton sama dia. Itu aja. Kalau nggak keberatan, kita mau lanjut," jawabnya santai. Pak Remi semakin kesal, rahangnya mengeras. "Kamu mau bikin masalah apalagi? Clarissa nangis tadi, dia sampai telepon Eric sambil sesenggukan!" Arion menghela napas panjang, lalu meraih remote untuk mematikan TV. "Aku nggak pernah nyuruh dia ngurusin hidupku yah, jadi aku nggak ngerti kenapa ayah malah nyalahin aku." Alina menahan napas. Cara Arion menanggapi ayahnya begitu cuek, seolah ini bukan masalah besar. Padahal, Pak Remi jelas-jelas tidak
Alina menegang. Dia bisa merasakan suasana di ruangan ini berubah drastis—udara jadi lebih berat, dan tatapan Arion menggelap, penuh amarah. "Mulut lo itu," Arion mendekat selangkah, bahunya menegang. "Mau gue bikin diem?" Pria itu hanya menyeringai kecil, ekspresinya sama sekali nggak terpengaruh oleh nada tajam yang keluar dari mulut Arion. "Santai aja kali. Lagian Alina juga kayaknya seneng gue disini... By the way, kok lo balik sama Alina?" "Tch," Arion mendecakkan lidahnya, melepaskan genggaman tangannya dari Alina. "Suka-suka gue mau bawa dia kemana aja." Daniel menyipitkan mata, senyumnya tipis tapi penuh arti. "Kenapa lo bawa dia ke sini?" Dia melipat tangan di dada, menatap Arion dengan penuh minat. "Bukannya dia tinggal bareng Clarissa di villa Direktur Eric?" Alina menahan napas, berharap bisa menghilang saat itu juga. Arion melipat tangan di dada, wajahnya tanpa ekspresi. "Emangnya nggak boleh?" Daniel terkekeh, mengangkat bahu santai. "Boleh-boleh aj
Saat Arion menarik dirinya dari Alina, dia hanya melemparkan pandangan tajam ke Clarissa. "Ini cuma awal, Clar. Jangan ganggu hidup kami lagi." Alina, masih terengah-engah, menatap Arion—antara cemas dan bingung, belum sepenuhnya siap untuk apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang jelas, dia tahu ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Clarissa tertawa sinis, matanya berkilat penuh amarah. "Gila. Ini semua nggak beneran kan?" "Gue nggak peduli apa yang lo pikirin." Arion menghela napas sambil menutup ritsleting koper Alina dengan gerakan cepat, lalu menarik koper itu dan menggulirkannya ke arah pintu. Clarissa masih berdiri di sana, menghalangi jalan. "Apa yang lo pikir lo lakuin?!" "Dia datang ke sini sama gue," lanjut Clarissa, nadanya penuh klaim kepemilikan. Arion menyeringai sinis. "Oh, iya? Kedengerannya lebih kayak lo bawa dia ke sini buat jadi samsak tinju lo." Dia melipat tangan di dada, menatap Clarissa dengan penuh penghinaan. "Dia bakal lebih aman d