"Ya ampun, Alina, lo nggak bilang kalau lo daftar program 'cowok penjaga pribadi'?" kata Valerian sambil terbahak-bahak. Luther pun ikut nyeletuk, "Paling juga Arion ngomongin dirinya sendiri. Udah jelas dia calon cowok keker lo, Na!" Alina cuma bisa bengong, bibirnya udah kebuka tapi nggak ada kata yang keluar. Dalam pikirannya, dia berusaha keras buat nggak ngelempar pulpen ke kepala Arion. 'Apa-apaan sih nih cowok? Kok bisa-bisanya ngomong kayak gitu? Gue bakal punya cowok keker? Oh, hell no. Sumpah, gue nggak tahu gimana otaknya bisa muter kayak gitu.' Arion balik duduk di kursinya sambil berbisik ke Alina. "Tenang aja, nggak ada yang bakal ngebully lo sekarang," Alina langsung mendelik, mukanya merah padam. "Lo pikir ini bikin gue aman? Lo malah bikin gue kayak cewek desperate yang lagi cari bodyguard!" "Setidaknya nggak ada yang bakal macam-macam lagi sama lo. Lo harus berterima kasih." Alina langsung menjauh dari Arion ketika bel istirahat bunyi. Tanpa pikir
"Laper banget, lo?" Alina tersenyum sambil menunjuk nampan Darren pakai garpu yang sudah ditusuk bakso. "Iya. Pelatih abis nge-push kita habis-habisan." Dia ketawa kecil sambil mengusap perutnya. Ines mengangguk, pipinya agak merah. "Dia emang gitu. Tapi lo keren banget kok tadi." "Thanks." Darren tersenyum balik sambil menusuk spaghetti di piringnya. Dia terus menatap Alina. "Habis latihan gue ke kafe tempat lo kerja pas hari Minggu, tapi tutup." Itu salah satu hal yang Alina suka dari tempat kerjanya. "Iya, kafe itu emang tutup setiap hari Minggu. Tempat itu kayak... semedi kalau Minggu." Darren masih tersenyum. "Temen sekamar lo party lagi nggak malam Minggu? Rumah lo sepi banget Sabtu kemarin pas gue nganterin lo." Ines, yang Alina tahu ada rasa ke Darren, kelihatan tegang. "Enggak," Alina jawab cepat sambil melirik Ines. Alina nggak mau dia merasa ditinggalin dari obrolan. "Temen sekamar gue emang suka mabok dan bikin party sih." Darren ketawa kecil. "Iya, g
"Orang-orang pasti mikir lo lagi pacaran sama dia." Alina merasa dadanya semakin sesak. "Suka-suka gue mau jalan sama siapa aja. Emang lo pikir kita punya hubungan apa selain pernikahan boongan?" Alina merasa ada yang nggak beres, tapi dia nggak tahu harus ngomong apa lagi. "Nggak usah pura-pura nggak tahu." katanya, suara lebih dalam dari sebelumnya. "Lo itu cantik buat gue. Itu masalahnya. Lo terlalu semok." Tubuh Alina bergetar, dan secara fisik dia merasa sakit karena nggak melangkah mendekati Arion. Arion baru aja menyebutnya cantik. Dan mengapa itu penting? Alina tersentak, dia balas dengan suara serak, "Iya, jelas masalahnya gue. Bukan lo dan asumsi-asumsi aneh lo itu." Arion selangkah lebih dekat, dan tatapannya kali ini menyeramkan. "Gimana itu bisa jadi asumsi kalau lo nggak menyangkal apa-apa?" Paru-paru Alina sekarang berhenti bekerja. "Kalau menurut lo gue ini mainin lo, kenapa lo masih ngejar-ngejar gue?" "Lo pasti tahu alasannya." Arion nyaris ngg
Mereka balik ke kelas dengan suasana yang canggung, tapi setidaknya semua berjalan damai sampai jam sekolah selesai. Saat pulang, Arion menawarkan buat antar Alina pulang. “Yah, menurut gue, lo biarin orang lain nganterin lo sementara lo punya gue sebagai suami lo—meskipun pernikahan kita cuma pura-pura—itu nggak sopan,” kata Arion waktu mereka jalan ke arah mobilnya. “Dan, lebih parahnya lagi, gue malah tahu dari Darren.” Oke, itu poin yang masuk akal. Arion memang sudah sering membantu Alina, walaupun caranya selalu bikin Alina kesal. Tapi, sisi Arion yang ini bikin Alina mikir kalau dia perlu memperbaiki semuanya. Supaya Arion nggak lagi jadi brengsek. “Gue nggak bermaksud begitu, gue nggak punya nomor lo,” Alina mengaku. “Lo sering banget bantuin gue, dan gue benci ngerasa kayak gue ini beban.” “Gue nggak pernah minta lo ngelakuin apa pun buat gue,” katanya waktu mereka sampai di mobilnya. “Sebenernya, lo sering banget ngelawan gue. Tapi, ya udah, ini salah gue juga ka
Alina melihat ke sekeliling. Tempat ini beneran sepuluh kali lebih besar dari SMA Pelita Harapan, sekolah lamanya. Jadi, gak heran stadion ini keliatan luar biasa. Ketika satpam lihat Ines, mereka langsung buka pintunya. Alina ikut masuk, dan suara ramai dari luar perlahan mulai berkurang. Bau sosis bakar dari stand makanan tadi masih tercium samar-samar dan hilang ketika pintu tertutup. Alina menarik napas buat menenangkan diri. “Lo nggak apa-apa?” dahi Ines mengernyit. “Gue gak terlalu kebiasa sama keramaian,” jawab Alina sambil menyeka keringat. “Tenang aja, di lapangan bakal lebih baik. Emang banyak orang, tapi gak sepadet di atas.” Mereka sampai di ujung tangga yang lebar, dan di bawahnya ada aula besar yang lumayan kosong. Aula ini tersambung ke lorong yang mengarah langsung ke lapangan utama. Di sepanjang sisi lorong ada empat pintu yang kayaknya menuju ruang ganti dan kantor. Begitu Alina keluar ke lapangan, Alina lihat dua tim lagi pemanasan. Tim HIA pakai jers
Alina melihat Arion, nomor punggung dua belas. Cowok itu sudah lama banget menjauh dari Alina akhir-akhir ini. Entah kenapa Alina juga jadi males deket-deket sama dia. Tapi apalah daya, Alina punya tanggung jawab di sini. Dia buang jauh-jauh rasa itu dan mulai menghampiri tim. Tiba-tiba, ada pemain yang lari ke arah Alina, terus dia menarik Alina ke pelukannya sambil memutar badan Alina. Itu Darren. Wajahnya keliatan senang banget, sampai Alina nggak bisa menahan senyum. “Lo di sini juga! Gue kira lo bakalan lembur,” katanya sambil nyengir lebar. Alina melirik sambil pura-pura kesal. “Ya iyalah gue di sini. Sepak bola tuh tugas PMR gue, tahu!” Darren menurunkan Alina dari pelukannya, lalu mendekatkan wajahnya sambil nyengir jahil. “Ngaku aja Alina.. pasti lo ke sini buat ketemu gue, kan?” Belum sempat Alina jawab, ada pemain lain yang jalan santai ke arah mereka. “Minggir lo, Darren,” Valerian melirik Darren. “Lo jadi bodyguard pribadinya sekarang? Bagi tugas dong, gue
Sebagian dari Alina masih berharap Arion bakal mengejar. Tapi itu cuma angan-angan bodoh. Ibaratnya, Arion sudah menggadaikannya ke Valerian, dan sejak Clarissa melihat mereka berdua bareng, Arion nggak pernah lagi bicara. Walaupun keberadaan Arion kadang bisa mengurangi kesedihannya, Arion malah lebih sering bikin hidup Alina makin berantakan. Jadi Alina pikir dia harus berhenti bersikap naif. Ia tetap menatap ke tengah lapangan, sengaja menghindari pandangan ke arah para cheerleader. Dia berjalan ke garis tengah sambil bawa tas obat-obatan. Daniel udah balik sekarang. Alina hampir sampai ketika tiba-tiba sesuatu keras menghantam sisi tubuh belakangnya. Hampir jatuh, tapi untungnya Alina masih bisa jaga keseimbangan. Tas obat-obatan di tangannya terlepas, tapi karena ada tali leher, tas itu cuma menghantam lututnya. Sakit, tapi lebih mending daripada Alina harus malu jatuh di depan ribuan orang. Dibelakang, Clarissa berdiri dengan seringai puas. Dia langsung mendekat dan pu
Mereka berjalan ke arah zona akhir dalam keheningan, sambil mengutak-atik perban, antiseptik, dan plester. Alina memastikan semua peralatan ada di tempatnya dan siap dipakai. Begitu sampai, para cheerleader udah pada sibuk. Mereka lari-larian buat berbaris menyambut tim di lapangan. Alina melirik Clarissa dari jauh dan, dengan berat hati, mendekatinya untuk ngecek lututnya yang dibalut. Alina benerin posisi perbannya dan pastiin nggak ada yang salah. Clarissa cuma senyum sinis sambil berkata pelan, "Jangan sampai lo salah, Alina. Ayah gue nggak suka kalau ada yang ngelakuin kesalahan sama anaknya." Alina menahan diri untuk nggak nge-roll mata. Penyiar mulai ngomong lewat interkom, bikin semua orang di stadion heboh. Sorakan penonton makin kencang waktu tim sepak bola masuk lapangan, ngelewatin spanduk biru emas "Tigers." Arion, Valerian, dan Luther ada di depan, memimpin tim masuk dengan percaya diri. Energi stadion langsung bikin suasana jadi panas. Alina mencoba tetap pro
Arion mengerutkan kening. “Kenapa? Ada apa?” “Bisa nggak kita jalan sambil gue cerita? Gue nggak nyaman di sini terus.” Arion mengangguk, lalu menginjak pedal gas, memundurkan mobilnya keluar dari tempat parkir. Dari kursi penumpang, Alina menarik napas dalam. Tapi tatapan Arion yang terus mengawasinya bikin dia makin gugup. Cowok itu mendengus. “Lo bikin gue penasaran banget, sumpah. Gue bukan orang yang sabar, tahu.” Daripada kebanyakan mikir, Alina akhirnya cerita aja semuanya. Semakin lama Alina bicara, ekspresi Arion semakin serius. “Dengar, gue pengin banget lo ada di sana pas liburan,” kata Arion sambil meraih tangan Alina dan meremasnya sebentar sebelum melanjutkan, “Tapi lo nggak bisa gabung sama Clarissa.” Alina menghela napas. “Ya gue juga nggak mau kali. Tapi kalau gue nolak, menurut lo apa yang bakal terjadi?” Arion mengembuskan napas panjang. “Bakal ribet banget. Lo bener, Clarissa pasti nggak bakal tinggal diam. Gue juga nggak tahu harus ngasih solus
Sesaat, gue kehilangan kata-kata setelah melihat tatapan nyebelin Ines. "Apa, Ines? Lo mau ngomong apa?" Ines menjilat bibir bawahnya, pandangannya ke mana-mana kecuali ke Alina. Setelah berdeham sebentar, akhirnya dia buka suara. "Jadi, lo ngapain aja selama liburan akhir semester?" Alina melongo sebentar, bertanya-tanya apakah dia barusan salah dengar. "Maksudnya lo mau ngejek gue kan? Karena gue hidup sebatang kara jadi nggak punya siapa-siapa buat ngabisin waktu liburan?" Alina udah cukup stres mikirin minggu depan. Dia nggak punya keluarga buat menghabiskan liburan bareng, dan meskipun Arion sempat nawarin buat tinggal di rumahnya, Alina nolak. Arion harus ngabisin waktu sama keluarganya. Kalau dia nggak pulang, pasti bakal memunculkan banyak pertanyaan. "Nggak, gue—" Ines mendelik sebentar sebelum mendengus. "Gue cuma penasaran, lo bakal pergi ke suatu tempat nggak? Ya lo tahu... sama seseorang." Dan di sinilah mereka lagi. Balik ke pembicaraan tentang Darren. A
Alina kacau balau. Dia pengen banget ngebanting gelas wine di meja tadi. Daniel dan Clarissa? Mereka adalah duet maut pengacau yang rasanya emang ditakdirkan buat bikin hidupnya makin berantakan. Tangan Alina sedikit gemetar. Dia udah nggak sanggup berada di pesta itu. Matanya juga mulai memanas saat dia terburu-buru menuju pintu keluar. Namun, langkahnya terhenti begitu saja saat mendengar suara keras di kejauhan. Itu suara Daniel dan Arion. Alina berdiri di sudut ruangan, mengintip Arion yang masih tampak tegang setelah perdebatan panasnya dengan Daniel. Beberapa saat kemudian, Arion melihatnya dan berjalan mendekatinya. Langkahnya cepat, dan aura dinginnya begitu terasa hingga membuat Alina menahan napas. "Lo denger semua tadi?" Alina menggeleng pelan, tapi raut wajahnya jelas penuh tanda tanya. "Gue nggak denger, tapi gue lihat. Kenapa lo sama Daniel selalu ribut kayak gitu?" Arion mengembuskan napas panjang, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus menjelaskan
Arion menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. Mata elangnya fokus ke Clarissa, yang sekarang berdiri dengan seringai menyebalkan, lalu beralih ke Daniel. “Gue bahkan nggak ngerti kenapa lo ada di sini sama Daniel, Clarissa,” ucap Arion dingin, suaranya menusuk. “Lo bahkan bukan bagian dari keluarga kita. Lo cuma…” “Cuma apa?” potong Clarissa sambil melipat tangan, ekspresinya puas. “Cuma seseorang yang lebih paham keluarga lo dibanding lo sendiri? Aduh, jangan terlalu sensi deh Arion sayang.” Clarissa tersenyum tipis, lalu tanpa permisi melingkarkan tangannya ke lengan Arion. "Gue udah dianggap keluarga sama bokap lo. Bahkan Pak Remi bilang, dia sedih banget waktu tau kita putus. Dia selalu bilang gue adalah calon yang sempurna buat jadi istri lo. Bahkan kedua keluarga kita udah setuju soal pernikahan itu, kan?" Nada suara Clarissa penuh rasa percaya diri, tapi Arion menepis tangan Clarissa dengan kasar, wajahnya semakin dingin. Ada sedikit rasa puas di hati Alin
Setelah mereka masuk, Arion langsung lepasin tangan Alina, dan Loly cabut bergabung sama segerombolan cowok. "Abis ngapain lo bareng Arion?" bisik Lara tiba-tiba, sambil narik lenganku menjauh. Dia melirik Arion yang lagi berdiri jauh, tapi matanya ngikutin Alina kayak elang. Alina jadi salah tingkah. Abis tadi dia sama Arion bermesraan. Tapi Alina cuman senyum tipis, berusaha nyembunyiin mukanya yang pasti udah semerah kepiting rebus. "Ayo main blackjack!" Lara nyengir sambil narik Alina lagi. "Gue bayarin uang mukanya!" "Seriusan?" Lara langsung narik tangan Alina dari genggamannya. "Lo pada beneran main pake duit asli?" Nada Alina nggak yakin, meskipun seharusnya dia nggak perlu kaget. "Ya iyalah!" "Gue nonton aja deh," Alina nyoba menghindar. 'Mana mungkin gue ikut-ikutan ngeluarin duit yang bahkan bukan duit gue.' "Nggak ada cerita nonton doang! Lo juga harus main. Santai aja, uang mukanya cuma 10 ribu kok," katanya santai. "10 ribu?" "100 ribu," poton
Alina bisa merasakan perhatian Arion di punggungnya, kayak ada arus listrik yang mengalir deras di antara mereka. "Alina," suaranya serak dan bikin telinga Alina gatel-gatel. Alina buru-buru balik badan, bahunya nggak sengaja nyentuh dadanya. "Lo cantik banget," Arion bilang, matanya turun ke bibir Alina. Alina mundur selangkah, dan Arion maju selangkah. Jarak di antara mereka makin tipis, napas Alina juga makin nggak beraturan. "Cuma cantik?" Alina pura-pura bercanda, meskipun suaranya terdengar goyah. Arion tiba-tiba nyamber pinggul Alina dan menariknya lebih dekat. "Bukan cuma cantik," katanya, suaranya rendah. "Cantik banget. Seksi banget sampai gue nggak bisa berhenti bayangin bibir merah lo melingkari punya gue di mobil gue." Arion narik Alina untuk pergi ke arah mobilnya di parkiran. Alina nelen ludah, panik campur malu. "Arion, di sini banyak orang..." Dia melirik kanan-kiri, takut ada orang yang ngelihat. Arion malah ketawa kecil, seolah nggak peduli.
Selama sejam berikutnya, Lara dengan penuh semangat mendandani Alina. Dia menata rambut Alina jadi kuncir kuda tinggi yang ikal, memoles tulang pipinya pakai alat kontur yang Alina bahkan nggak tahu namanya, dan ngasih Alina lipstik merah. "Pakai ini. Trust me, Arion bakal tersiksa kalo lo pake ini. Ini bakal bikin bibir lo jadi super seksi," katanya sambil menyerahkan botol lipstik itu. Alina biasanya nggak suka lipstik—lebih suka liptint atau lipgloss. Tapi kali ini, dia nurut, dan ternyata Lara benar. "Lo cakep banget, Kak!" katanya sambil kami berdiri di depan cermin, mengagumi hasil kerja kerasnya. Alina tersenyum. "Lo juga cantik banget, Ra. Ngomong-ngomong, ada cowok yang lagi lo taksir, nggak, malam ini?" Lara sempat ragu sebelum menjawab. "Nggak ada." Tapi suaranya terdengar melankolis, bikin Alina penasaran. Dan Alina memutuskan untuk nggak nanya lebih jauh. *** Obsidian Chamber ternyata tambang berlian tua di Anyer. Dekat dengan area pegunungan kecil. Dasar
"Lo ngapain, sih?!" Alina mencicit panik sambil berusaha melepaskan diri dari genggaman Arion. "Turunin gue, babe!" Arion nggak menggubris protesnya dan terus menariknya ke sudut ruang tamu. Sejak pulang sekolah tadi, cowok itu terus maksa Alina buat buka bajunya. Alina jelas nggak mau. Dia takut banget Arion bakal tahu soal memarnya. Kalau Arion tahu, masalahnya pasti bakal melebar, dan ujung-ujungnya Arion malah ribut sama Theo. "Biar gue lihat memar lo," kata Arion tegas sebelum akhirnya menurunkan Alina ke sofa. Seketika, dia menarik ujung kaus Alina ke atas. "Arion, stop!" Alina buru-buru melipat tangannya di dada, mukanya merah padam. "Aneh banget sih kelakuan lo. Tenang dikit, kenapa!" Arion menatap Alina dengan sorot tajam, nggak menggubris omelannya. "Gue udah pernah lihat yang lebih dari ini, Alina. Lo bukan alien." "Ya tapi sekarang beda! Gue nggak setuju, titik." Arion nggak peduli. "Berbalik." "Nggak mau." Dia menghela napas panjang, nadanya terdengar m
Tiba-tiba Alina ingat. Pantesan wajahnya familiar. Dia cowok yang pernah digertak Arion waktu dia mencoba merayunya saat Alina lagi kerja. “Lo gila ya?! Gue bukan jablay kayak yang lo bilang, apalagi buat cowok futsal! Lo ngarang banget! Dan soal di Lumina, itu salah lo sendiri yang norak!” Kemudian Alina nendang cowok itu di selangkangan, terus puter badan buat kabur naik tangga. Dua anak tangga sekaligus. Tapi dia lebih cepet. Setengah jalan ke tangga berikutnya, dia nangkep pergelangan kakinya. Alina langsung terjatuh keras. Lutut, pinggul, dan bahunya langsung nabrak tepi tangga. Rasa sakitnya nggak main-main. "Dasar cewek tolol," katanya sambil ngerangkak di atas Alina. “Lo pikir gue peduli sama omong kosong lo? Lo cuma cewek murahan yang ngandelin anak futsal HIA buat nutupin aib lo! Tapi di sini, Arion nggak ada buat nolongin lo. Sekarang lo bakal tahu apa rasanya ngehina gue di depan orang banyak!” Dia mendekat lebih agresif, seringainya makin lebar. “Gue pastiin