Suara musik yang mampu memecahkan gendang telinga, bau alkohol yang sangat tajam menyentuh indra penciuman. Arsa suka sekali bau ini dan juga tempat ini, baginya ini adalah dunianya.
Seorang wanita dengan pakaian minim dengan tatapan mata yang menggoda berjalan menuju Arsa dan langsung bergelayut manja di tangannya.
"Baru datang? Temen kamu pada nungguin, kayanya udah pada tepar deh," celetuk wanita tersebut.
Arsa mengabaikan perkataan wanita itu dan berjalan menuju meja paling ujung dilihatnya para temannya sudah memasuki alam mimpi dan satu temannya lagi sedang berciuman dengan wanita asing yang Arsa yakini itu adalah wanita penghibur.
Arsa duduk di kursi kosong dan diikuti oleh wanita tadi, tanpa mengganggu acara tukar saliva temannya.
Lelaki itu memanggil pelayan untuk memesan minuman beralkohol seperti biasanya dan mengambil kotak rokok yang tergeletak di meja tanpa tahu pemiliknya, membakar puntung rokok tersebut kemudian menghisapnya.
"Berhenti meraba bagian sensitif gue," seru Arsa sambil menghisap rokoknya.
Wanita itu langsung gelagapan melihat raut wajah Arsa yang berubah.
"Oh sorry, aku cuma menghibur kamu kok. Takutnya kamu bosen, soalnya mereka pada sibuk dengan dunia masing-masing," jelas wanita tersebut sambil tersenyum manis ke Arsa.
Arsa hanya mendecih mendengarnya, "Kalau lo ga mau gue telanjangin di sini mending diam."
Wanita itu langsung tutup mulut dan meninggalkan Arsa sendirian. Lelaki itu sedari tadi menghisap rokoknya dan bermain game.
"Sa, sejak kapan lo disini?" tanya temannya tadi yang bertukar saliva.
"Sejak lo ciuman, kalau mau main ranjang jangan di sini. Kebiasaan lo," ujar Arsa tanpa memalingkan pandangannya dari ponsel.
"Hahaha sorry," ucap Satria menyuruh wanita tadi pergi, lelaki itu adalah teman Arsa yang haus akan wanita dan juga sangat mesum. Untung orang tuanya sangat kaya jadi pikiran mesumnya terbayarkan dengan menyewa wanita pemuas nafsu.
"By the way, tadi Mira ke sini nanyain lo. Jangan lari kenapa Sa, kasian gue ngeliat Mira yang bunting nyariin lo ke club begini," ucap Satria sambil meminum alkohol bekasnya tadi.
Arsa mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas meja, "Gue ga lari, dia aja yang lemah nyari gue. Lagi pula itu bukan anak gue," jawab Arsa mematikan rokoknya yang sudah habis setengah batang dan meminum alkohol yang tadi ia pesan.
Satria terkejut mendengar kata-kata tersebut yang keluar dari mulut lelaki itu, "Bohong lu, kok dia minta pertanggung jawaban ke lo?"
Arsa mengangkat bahunya, "Se nafsu-nafsunya gue, ga pernah ga pakai kondom kalau main dan juga inget, gue sama dia ga pernah main. Kalau main gue udah kabarin kalian kayak biasa."
Satria manggut-manggut, "Bener sih, terus itu anak siapa dong?"
Arsa mengangkat bahunya, "Ya mana gue tau, tanya aja ke janinnya langsung."
Satria kembali manggut-manggut, "Bener juga."
"Bego, ya mana bisa lo tanya ke janin anjing," balas Arsa.
Radit, lelaki yang dari tadi tertidur akhirnya bangun dengan mata yang masih terpejam dan mengucek matanya.
"Jam berapa, Bro?" tanyanya.
Satria menyenggol lengan Radit, "Udah jam tiga, ga takut kena marah nyokap lo."
Radit langsung seketika melek dan mengambil ponsel di saku celananya, "Buset jancok, kok pada kaga bangunin gue," ucapnya sambil mengambil dompet dan jaket yang tergeletak di meja.
"Salah lo sendiri bego, dah sana pergi anak ambu," ledek Satria, Arsa hanya menggeleng melihat tingkah laku temannya tersebut.
Radit menggaruk kepalanya, "Asu, yaudah gue cabut. Sa, gue cabut ya," pamit Radit pergi meninggalkan mereka.
"Ga pamitan lo sama gue!" teriak Satria.
"Ga guna bangsat!" balas Radit dengan teriak pula walau sedikit samar-samar terdengar karena musik club.
Arsa meneguk alkoholnya, sudah dua botol habis olehnya, sedangkan satria baru habis satu botol dan satu temannya yang teler baru habis dua botol, Gibran memang lemah terhadap alkohol mungkin kalau dia minum alkohol berarti dia sedang ada masalah.
Arsa melirik Gibran yang tengah tertidur pulas di kursi club dan bertanya kepada satria alasan anak itu ada disini sekarang.
"Kenapa?" tanyanya.
Satria menghela napas, "Biasa, putus lagi sama Tamara," ujarnya.
Gibran lelaki itu cuma mengincar satu cewe yaitu Tamara Gledis yang katanya sehidup semati dengannya. Padahal hubungan mereka berdua tiap kali putus nyambung terus selama lebih enam tahun.
"Dasar bucin, diputusin doang langsung lari ke alkohol," seru Arsa.
Satria langsung tertawa terbahak bahak, memang temannya yang satu ini bucin tingkat dewa dengan mantan pacarnya. Sampai tidak mau pindah hati ke cewek lain.
Gibran bangun dengan mengedipkan matanya dan mengusap air mukanya.
"Baru dateng lo?" ucapnya sambil mengambil kacamata yang tergeletak di meja.
"Udah dari tadi, lo aja yang baru bangun," jawab Arsa.
Gibran mengangguk sambil merapihkan pakaiannya yang tampak acak-acakan.
"Gi, lo mending ngejomblo aja deh kayak nih bocah. Aman aja kayanya hidup dia, dari pada lo galau mulu," seru Satria kepada Gibran yang di maksud adalah Arsa.
Gibran menggeleng, "Mending gua galau dari pada dikejar-kejar cewe, bukan galau lagi yang gue dapet. Yang ada di bunuh gue sama para cewe."
Ucapan Gibran mengundang gelak tawa Arsa dan Satria.
"Haha bener, metal dia mah baja. Anak orang dipakai langsung di buang. Gila memang," balas Satria.
"Yaelah lagi pula emang pada bunting? Gue mah main aman bos, ga bego kayak lo. Main sama pelacur langsung bunting, makanya jangan pakai kondom fiesta rasa duren," ucap Arsa membuat Gibran langsung menendang ke arah Satria.
"Hahaha anjing kondom rasa duren," ledek Gibran.
"Asu, lo kok tau nyet," sahut Satria.
Arsa menunjuk otaknya, "Taulah, dari cewe lo," jawabnya.
"Gue sangka lo baca pikiran gue."
Arsa menggeleng sambil meneguk alkoholnya yang sekarang sudah habis tiga botol.
"Ngapain gue baca pikiran lo yang isinya selangkangan semua," jawabnya.
"Anjeng pedes lo, kayak omongan emak-emak komplek gue," ucap Satria dan di angguki oleh Gibran.
Arsa mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah dan berdiri.
"Mau kemana lo?" tanya Gibran.
Arsa menunjukkan chatnya dengan seorang wanita dan membuat Satria dan Gibran terkejut dengan mulut menganga.
"Gila! Dapet lagi? Sumpah, mau lo apain tuh cewe?" tanya Satria.
Arsa memasuki kembali ponselnya ke saku celananya, "Buat apalagi, ya untuk mainan lah," ucap Arsa dengan enteng.
"Anjing, udah berapa cewe Sa," ujar Gibran.
Arsa membalikkan badannya dan pergi meninggalkan Gibran dan Satria yang sibuk meneriakinya.
Athanasia atau sering di panggil Sia sedang duduk di taman sambil membaca buku, pandangannya tak teralihkan dari buku novel yang ia baca dengan tulisan dan kata-kata yang memikat hatinya untuk masuk dan merasakan bagaimana dunia novel yang selalu ia inginkan.
"Non, ini susunya di minum. Keburu dingin nanti," ucap pembantunya yang senantiasa menjaga Sia dari bayi hingga usianya sekarang.
Sia mengerucutkan bibirnya, "Yah, bibi mah. Kan aku lagi baca novel sampai lupa sampai mana tadi, bibi mah ganggu," ucapnya.
"Nuhun atuh, makanya diminum dulu yuk. Nanti kita ga boleh main kesini lagi sama tuan. Soalnya banyak nyamuk, Non," ujar bibi jami.
Mau tak mau Sia meminum susu yang dibuatkan Bibi Jami untuknya. Saat dia hendak kembali membaca bukunya, tetapi sepertinya gadis itu kehilangan mood dan berakhir menutup buku novelnya.
"Ah bosen, aku mau main keluar," celetuk Sia yang berdiri berjalan pergi.
Bi Jami yang melihat itu langsung mengikuti Sia dari belakang, "Non, kalau mau keluar izin dulu sama tuan. Nanti nona di hukum seperti kemarin."
Sia memberhentikan langkahnya dan langsung berjalan cepat kembali ke kamarnya.
Sepanjang jalan Sia hanya mengutuk ayahnya yang terlalu overprotektif kepadanya.
Sesampai di kamar Sia menutup pintu dengan kencang dan merebahkan tubuhnya ke kasur queen sizenya dan mengambil kuas serta alat untuk menggambar.
Sia menggambar dengan khidmat, dengan pensil di tangannya Sia mulai menggambar dua insan yang saling bergandeng tangan yang berada di suatu pantai dengan ombak dan angin yang sejuk, serta matahari yang mulai tenggelam dengan di iringi nyayian burung yang berimigrasi.
Setelah beberapa menit, akhirnya gambarannya jadi. Sia menempelkan gambarannya di dinding dengan kata-kata semangat dan berjanji suatu saat pemandangan seperti ini akan terjadi kepadanya.
Sia berjalan menuju meja belajarnya dan menghidupkan laptopnya dan membuka web yang ia buat, berisikan kata-kata romantis dan gambaran yang ia buat. Banyak yang meninggalkan komentar seperti.
"Tulisan kamu bagus, pasti kamu tlah melewati perjalanan cinta yang romantis," ucap Sia membaca salah satu komentar.
"Dih, mana ada aku pacaran. Yang ada ga di bolehin sama papa," jawabnya.
Sia beralih menuju akun sosial medianya yang lumayan banyak pengikut dan mengecek postingan para teman sosmednya.
Salah satu teman sosmednya memposting foto bersama teman laki-lakinya yang kemungkinan itu kekasihnya.
"Cocok banget mereka. Jadi, pengen bebas," keluh Sia.
Sia mengecek sosial media lelaki yang katanya kekasih teman pengikutnya itu. Banyak foto bersama teman lelakinya dan foto pemandangan serta foto alkohol?
Ah, anak clubbing yang sering di ceritakan di novel-novel.
Tanpa sadar Sia menyukai foto tersebut. Nama pemilik akun sosial tersebut adalah @arsap__
"Arsa ya nama pemilik akunnya, ganteng juga," celetuk Sia sambil tersenyum tipis.
to be continue.
BUGH Arsa yang baru pulang sudah mendapatkan pukulan dari sang ayah. Melihat perlakuan suaminya tersebut, ibunya membantu Arsa untuk bangkit. "Mas udah, Arsa cuma butuh di didik doang, bukannya malah di pukul seperti ini," celetuk ibunya Arsa kepada suaminya. Arsa menyentuh pinggir bibirnya yang sudah di pastikan terluka dan mengeluarkan darah segar. Arsa mendecih menatap bundanya serta memijat pelipisnya, "Gue ga butuh di didik, kalian cuma memperhatikan si Arka anak emas kalian bukan. Gue cuma sampah yang lahir di keluarga ini, cuma buat malu kalian," ucap Arsa. Ayahnya yang terbalut emosi langsung menarik tangan Arsa memasuki anaknya ke ruang kerjanya. Bunda Arsa langsung mengikuti ayahnya membawa Arsa pergi, tapi saat hendak menarik tangan Arsa keluar dari ruangan tersebut, ayah Arsa langsung menutup pintunya dengan kasar. Lelaki paruh baya itu mendorong Arsa, hampir saja kepalanya mengenai ujung kursi. Lelaki itu langsung mengambi
Akhir-akhir ini gadis itu selalu menghabiskan waktunya dengan ponselnya, menunggu setiap saat notifikasi pesan dari Arsa. Ya, lelaki yang baru dua hari kemarin ia sukai postingannya, malah sekarang lelaki itu mengirim pesan kepadanya. Ternyata lelaki itu juga menyukai seni lukis, maka dari itu mereka berteman karena menyukai hal yang sama. Sekarang Sia sedang menunggu pesan dari lelaki itu, tapi tidak ada balasan dari si pemilik. Karena frustasi menunggu, Sia memberanikan diri untuk menelpon lelaki tersebut. Rasa takut mulai menyelimutinya, takut Sia menganggu Arsa, Sia menunggu telepon tersebut diangkat oleh pemilik sambil menggigit kuku jarinya. Memang seperti ini kebiasaan gadis itu, kalau sedang ketakutan ataupun khawatir. "Halo?" Panggilan tersebut terjawab, tapi anehnya yang menjawab adalah suara perempuan di seberang sana. "Halo?" Dengan cepat Sia mematikan panggilan tersebut dan membuang ponselnya asal.
Baru ingin memejamkan matanya, ponsel Arsa berdering dan terlihat nama Arka muncul. Tanpa berpikir panjang, Arsa langsung mematikan panggilan tersebut, menaruh ponselnya di meja dan kembali memejamkan matanya. Baru beberapa menit memejamkan matanya, ponselnya kembali berdering, karena malas menjawabnya. Arsa menghiraukan panggilan tersebut. Satria yang terbangun gara-gara nada dering ponsel Arsa, langsung mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Arsa lagi tidur," ucap Satria. Saat hendak mematikan panggilan tersebut, teriakan seseorang di ujung sana membuatnya enggan menutup panggilan itu. "Sa! Ayah jantungnya kambuh lagi!" pekik seseorang di seberang sana. Satria merubah posisinya yang tadinya masih tidur, sekarang duduk sambil mengucek matanya berusaha membaca nama di ponsel tersebut. Akibat minum alkohol terlalu banyak tadi malam, ia merasakan efek sampingnya yaitu pusing saat bangun. Arka, nama kontak yang menelepon Arsa. Satr
Lelaki itu berjalan dengan lunglai, dia sedang mabuk. Tadi malam ia menghabiskan waktu untuk meminum alkohol seperti biasa. Tidak ada yang menemaninya untuk menghabiskan beberapa botol alkohol, karena kesibukan temannya masing-masing.Ia memegang kenop pintu rumahnya, terkunci ternyata. Saat ia ingin mengeluarkan kunci dari saku jaketnya, satu tangan lebih dahulu membukakan pintu tersebut, ia adalah Arka kembarannya.Arsa masuk lebih dahulu, ia menerjapkan matanya guna untuk melangkahkan kakinya naik ke tangga untuk menuju kamarnya. Tapi tubuhnya begitu lemah dan pandangannya buram, jadi ia pun beberapa kali tersungkur. Arka dengan sigap membantu Arsa bangun, tapi lelaki itu menepisnya."Gua ga butuh bantuan lo," decak Arsa sambil menunjuk ke arah wajah Arka dan ia kembali naik ke atas menuju kamarnya. Arka menatapinya dari baw
Hujan deras turun menyelimuti kota Bandung. Hawa dingin menelusup masuk ke dalam kulit, Sia memeluk dirinya guna menghangatkan tubuhnya. Sesekali meniup tangannya dan menggosoknya, ia menatap ke luar jendela, dilihatnya awan yang sedang mendung, matahari tak kunjung datang.Ia menghela napas, Arsa janji akan ke rumahnya hari ini, kalau hujan begini kemungkinan besar lelaki itu tak akan datang. Sia mengambil guling dan memeluknya. Bagaimanapun ia juga tidak ingin Arsa sakit dan mendesak lelaki itu mengunjunginya.TRING!Notifikasi pesan masuk, dengan segera ia membuka pesan yang di kirimkan siapa lagi kalau bukan Arsa.Arsa|Aku udah di depan rumah kamu1 11.07Sia membelalakkan matanya dan segera bangkit menuju balkon, terlihat Arsa yang berada di bawah luar gerbang rumahnya, yang masih duduk di motornya. Arsa hanya memakai jaket kulit dan bawahan celana jeans, tapi pakaiannya sudah basah kuyup semua.Dengan cepat Sia kel
Tadi malam Arsa banyak sekali minum, sekarang kesusahan untuk tidur dan tubuhnya terasa sangat dingin. Arsa mencoba melilit tubuhnya dengan selimut dan mematikan AC nya, berusaha untuk tidur tapi tetap saja ia terbangun dari tidurnya.Pagi ini Arsa benar-benar tidak enak badan. Suhu badannya juga tinggi, tubuhnya benar-benar lemah, apa lagi ia merasakan nyeri di bagian perutnya. Walaupun begitu Arsa harus bangkit dan pergi ke rumah Sia, karena lelaki itu sudah janji dan tidak ingin membuat gadis itu khawatir.TRING!Notifikasi pesan dari Sia masuk, Arsa mengambil ponselnya yang berada di meja kecil samping kasurnya.SiaAku tunggu di balkon.Hati-hati Sa ^.^08.24 WIBDengan lemah Arsa mengukir senyumnya dan menuju ke kamar mandi membasuh tubuhnya. Setelah selesai dengan kegiatan membasuhnya, Arsa segera turun ke bawah. Arka serta Bunda ada di bawah, sementara Ayahnya masih di rumah sakit."Sa, ayo sarapan," ajak Bunda s
Tepat jam 8 malam, Arsa akan menjemput Sia. Kemarin saat siang dia sudah mengelilingi rumah Sia beberapa kali, mencari jalan persembunyian keluar dari sana. Kalau lewat depan tidak akan mungkin bukan, maka dari itu dia mencari jalan keluar.Terkesan gila memang tindakan Arsa yang mengajak Sia keluar dari rumahnya. Arsa sudah menunggu Sia, tepat di luar tembok besar belakang dekat taman rumahnya, disana memang terdapat lubang yang sepertinya akan dipakai untuk pembuangan sampah.Sia sudah bersiap untuk keluar dari sana, biasanya jam 8 adalah jadwal ia untuk tidur. Kebiasaannya memang seperti itu, tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam. Berbeda sekali dengan Arsa yang selalu begadang tiap malam.Setelah menurut Sia situasi di luar aman, ia keluar kamarnya dengan langkah pelan seperti mengendap-endap. Ia menutupi bajunya dengan hoodie, saat hendak ingin pergi ke dapur, suara kenop pintu terdengar."Mau kemana, sudah jam 8 malam," celetuk Brian, Pap
Brian mengusap wajahnya kasar. Johnny memberi beberapa informasi tentang Arsa yang sudah ia gali sampai ujung. Tentang kapan lelaki itu lahir, dari kasta mana lelaki itu berasal, teman-temannya, suku, agama, ras, sampai kesehatan lelaki itu.Lelaki paruh baya itu sangat marah, bagaimana bisa lelaki pecandu alkohol dan memiliki penyakit kronis bisa mendekati anak gadisnya yang polos serta naif itu."Siapa dokter yang menanganinya?" tanya Brian kepada Jhonny, ia sedang membaca beberapa lembar kata yang berisi biodata Arsa."Dr. Daniel Yogaswara, Tuan," jawabnya.Brian mengangguk dan bangkit sambil membawa kertas biodata itu, "Sediakan mobil, kita akan temui dokter Daniel," ucapnya. Johnny mengangguk setelah itu keluar dari ruang kerja Brian dengan tergesa-gesa.Sia melihat Johnny yang keluar dari ruangan kerja Papanya, ia langsung melirik ke Bi Jami, "Papa belum berangkat kerja, Bi?" tanyanya.Bi Jami mengangguk, "Belum Non," ucapn
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik
Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke
Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam