Hujan deras turun menyelimuti kota Bandung. Hawa dingin menelusup masuk ke dalam kulit, Sia memeluk dirinya guna menghangatkan tubuhnya. Sesekali meniup tangannya dan menggosoknya, ia menatap ke luar jendela, dilihatnya awan yang sedang mendung, matahari tak kunjung datang.
Ia menghela napas, Arsa janji akan ke rumahnya hari ini, kalau hujan begini kemungkinan besar lelaki itu tak akan datang. Sia mengambil guling dan memeluknya. Bagaimanapun ia juga tidak ingin Arsa sakit dan mendesak lelaki itu mengunjunginya.
TRING!
Notifikasi pesan masuk, dengan segera ia membuka pesan yang di kirimkan siapa lagi kalau bukan Arsa.
Arsa
|Aku udah di depan rumah kamu1
11.07
Sia membelalakkan matanya dan segera bangkit menuju balkon, terlihat Arsa yang berada di bawah luar gerbang rumahnya, yang masih duduk di motornya. Arsa hanya memakai jaket kulit dan bawahan celana jeans, tapi pakaiannya sudah basah kuyup semua.
Dengan cepat Sia keluar dari kamarnya dan turun kebawah, "Bi Jami! Ada payung ga?" pekik Sia.
Bi Jami yang lagi memotong sayuran terkejut dengan Sia yang teriak dari atas. Tanpa bertanya Bi Jami langsung menurut mengambil payung yang berada di sudut ruang tamu dan memberikan kepada Sia.
Sia langsung keluar rumah dan berlari sambil memegang payung. Bi Jami langsung mengekori Sia, ia melihat ada seorang pria sedang menatap nonanya dengan senyum yang amat tulus. Pak Udin terkejut melihat Sia yang membuka gerbang, tanpa memerintahkannya. Apa lagi sekarang sedang hujan, Pak Udin buru-buru keluar dari pos nya dan ia melihat Arsa berada di seberang jalan.
Arsa menyuruh Sia untuk tidak menyebrang, karena banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Arsa langsung menghampiri Sia, "Kamu basah kuyup, Sa."
Lelaki itu tersenyum, jarinya tangannya membenarkan letak rambut Sia ke belakang telinga, "Ga papa, lo ngapain keluar. Disini dingin, nanti bokap lo marah, ayo masuk," tutur Arsa sambil mendorong tubuh gadis itu.
Sia menggeleng, "Engga, ayo ganti baju di dalam, nanti kamu bisa sakit," seru Sia sambil menggenggam tangan Arsa yang dingin.
"Gua kuat, mending lo yang masuk. Ayo masuk, gua ga mau liat Putri cantik dari Widyatama sakit demam cuma karena seorang lelaki." Sia menggigit bibirnya bawahnya, kalau ia meninggalkan Arsa sekarang mungkin lelaki itu akan terus hujan-hujanan disini, tapi di satu sisi kalau ia tidak segera meninggalkan Arsa dan masuk ke dalam, Om Johnny selaku bodyguard Papanya menyusulnya kesini dan menghajar Arsa habis-habisan.
Arsa mensejajarkan tubuh dan menatap wajah Sia yang sedang serius memikirkan sesuatu, "Ayo masuk, disini udah dingin."
"Non, ayo masuk. Bentar lagi tuan pulang," seru Bi Jami membuat Sia menoleh dan kembali menatap Arsa.
Lelaki itu mengacak rambut gadis bersurai coklat di depannya, "Gua ga bakalan sakit, gua kuat. Gua Arsa," ucapnya, membuat Sia tersenyum manis.
Gadis itu memberikan payungnya kepada Arsa, Bi Jami dengan sigap mempayungi Sia dan mereka masuk, Sia sesekali menengok kebelakang melihat Arsa yang mengayunkan tangannya, menyuruh Sia masuk.
Gadis itu masih menoleh ke belakang melihat Arsa. Bi Jami membuka pintu, ia terkejut melihat lelaki berbadan tinggi yang sudah memasuki usia kepala empat itu sedang berdiri di depan pintu dan mengikuti arah tatapan Sia. Bi Jami langsung menyenggol lengan Nonanya, Sia yang disenggol langsung menoleh ke arah Bi Jami. Bi Jami mengarahkan matanya ke samping, Sia menurut dan langsung menoleh ke depan, ternyata lelaki yang sering ia panggil Om Johnny selaku bodyguard Papa nya tengah menatap Arsa dengan tatapan tajam.
Sia meneguk air liurnya, "Kenapa keluar Sia? Dia siapa?" tanya Johnny membuat Sia menggigit bibir bawahnya.
Gadis itu menggeleng, " ...Hm, anu—"
Ia terlalu takut menjawab pertanyaan yang dilontarkan lelaki yang mempunyai proporsi tubuh yang tinggi serta besar yang berada di depannya.
Johnny melihat Sia yang diam sambil menundukkan kepalanya enggan menatap wajahnya. Karena tak kunjung dapat jawaban dari Sia, Johnny berjalan menerobos hujan membuat Sia menutup mulutnya, ia sangat takut Arsa seperti lelaki yang lainnya. Sia hendak mengejar Johnny tapi tangannya dicekal oleh Bi Jami.
Pak Udin melihat mata Johnny yang menunjukkan amarah membuatnya mengindik ngeri. Arsa yang dihampiri oleh seseorang dengan setelan jas lengkap dan juga memiliki tinggi yang sama dengannya.
"Ada apa gerangan anda disini?" tanya orang di depannya yang sudah basah kuyup.
Arsa dengan santai menjawab, "Saya pacarnya, Sia." perkataan itu terlontar begitu saja dari mulut Arsa, membuat Pak Udin menepuk keningnya.
Orang yang berada di depannya ini terkekeh kecil walaupun terdengar samar-samar karena suara hujan yang begitu deras, "Besar juga tekad mu," ucapnya.
Lelaki di depannya mengusap wajahnya, menyeka air hujan yang membuat pandangannya buram, "Selagi saya masih baik, hendaknya anda pergi dari sini."
Arsa mengerutkan keningnya, "Maksud anda, kenapa saya harus pergi?" tanya Arsa, lelaki di depannya menunduk sambil menghela nafas kasar.
Ia mulai menatap Arsa, tatapan lelaki itu berubah seperti ia ingin membunuh Arsa. Lelaki itu mengarahkan tangannya, mengisyaratkan Arsa pergi. Arsa yang bingung sekaligus amarahnya yang terpancing membuatnya emosi.
Arsa menghela napas dan menutup payungnya serta menghempaskan payung tersebut dengan kasar, "Bikin kesel," cicitnya.
Johnny terkejut, emosinya makin naik. Lantas ia langsung menarik baju kaos Arsa. Sia yang melihat itu langsung membelalakkan matanya, menahan amarah, ia mencoba melepaskan cengkraman tangan Bi Jami. Bi Jami menggeleng, "Jangan Non," pinta Bi Jami.
Arsa menyinggungkan senyumnya. Johnny heran di buatnya, lelaki ini sangat berani di bandingkan lelaki yang ingin mendekati Nona Sia yang semuanya pengecut, saat melihat ia saja lelaki yang lain sudah berlari terbirit-birit. Tapi, lelaki di depannya ini malah berbanding terbalik, ia menantang Johnny.
Karena merasa dirinya sedang ditantang, Johnny langsung melayangkan tinjunya ke wajah Arsa, membuat lelaki itu tersungkur.
"Arsa!" teriak Sia, napasnya naik turun dibuatnya. Bi Jami menyeretnya masuk ke dalam.
Arsa bangkit, ia menyentuh pinggir bibirnya yang terluka. Air hujan yang turun cukup deras menyentuh wajahnya membuat lukanya cukup perih.
"Sekarang kamu pergi, itu pukulan peringatan dari saya," kata Johnny. Arsa menatap lelaki di depannya dengan tatapan tajam.
"Setelah lo ngerusak wajah gua, lo nyuruh gua pergi?" cetus Arsa sambil melangkah maju membuat tidak ada jarak diantaranya.
TIN TIN
Klakson mobil membuat mereka menoleh ke depan, sebuah mobil mercedes tepat di depan mereka. Supir mobil tersebut turun sambil memegang payung dan membukakan pintu belakang, terlihatlah Brian keluar menatap mereka berdua. Johnny segera membukuk hormat kepada Brian, setelah itu ia pergi ke samping Brian dan membisikkan sesuatu.
Brian berjalan kearah Arsa, "Kamu, pacarnya anak saya?"
Arsa merubah raut wajahnya dan segera memberikan senyum tipis sambil menunduk memberi hormat, "Saya Arsa, pacarnya—"
PLAK
Tamparan keras mendarat di wajah Arsa, salam lelaki itu terpotong. Arsa meringis sambil memegang pipinya, "Jauhi anak saya, jangan datang lagi kesini," perintah Brian menatap Arsa tajam.
Setelah itu Brian masuk ke dalam mobilnya, Pak Udin segera membuka lebar gerbang tersebut. Sebelum masuk Johnny menatap tajam Arsa, setelah itu masuk meninggalkan Arsa yang berdiri di tengah derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.
(...)
"Aw, sakit. Pelan-pelan anjing," ringis Arsa. Radit tengah mengobati wajah Arsa yang lebam akibat tamparan dan pukulan yang ia dapatkan tadi.
Lelaki itu tiba-tiba datang ke bar dengan tampilan pakaian yang basah dan wajahnya yang lebam. Teman-temannya agak terkejut melihat penampilan Arsa, untung saja Satria membawa beberapa lembar pakaian di dalam mobilnya, "Ya lo juga belum ada status, tiba-tiba bilang pacar sama bapaknya," celetuk Satria.
Radit selesai dengan pengobatannya, ia pun segera membereskan perlengkapan obat-obatan tersebut ke dalam wadahnya, setelah itu memberikannya kepada pemilik bar tersebut.
"Lo juga ngebet banget mau deketin Sia. Udah nyerah aja kali," ujar Radit dan di angguki oleh Gibran. Lelaki itu pulang, ia tidak tahan untuk berlama-lama di rumah sakit.
"Jangan-jangan lo suka sama Sia," sahut Gibran, membuat Radit dan Satria membelalakkan matanya.
Satria menggebrak meja, membuat seluruh atensi pengunjung bar tersebut menatap kearahnya. Gibran segera meminta maaf kepada semua pengunjung, "Bener anjir, jangan-jangan gitu timbul benih-benih cinta,"
Arsa dengan cepat menggeleng, "Gua cuma tertantang aja untuk ga nyerah," jawabnya.
Radit menyipitkan matanya dan menggeleng, "Ga, menurut gua lo suka dia tapi malu buat ngomongnya, ya kan?"
"Ngawur anjir," sahut Arsa.
Gibran menyilangkan tangan di depan dada, "Gue bingung, masa alasan lo tertantang doang. Lo rela hujan-hujanan cuma buat dia, apa lagi sampai di pukul gini ..."
" ...Lo beneran suka kan sama dia?" sambung Gibran.
Arsa menghela napas, "Oke gua ngaku, gua bukan suka sama dia melainkan gua pengen dia suka sama gua sampai tergila-gila, ngerti ga?"
Mereka semua mengangguk mengerti, "Tapi kok gua kurang percaya," cetus Satria. Arsa segera melemparnya dengan bantalan sofa.
"Terserah kalian mau percaya apa engga," ucap Arsa dan mengambil gelas yang berisikan whisky dan meneguknya.
Radit tertawa, "By the way, tuh cewe kayaknya udah tertarik ke lo." Arsa mengangguk dan menyinggungkan senyumnya sambil menyisir rambutnya kebelakang.
"Yoi, makanya gua ngebet deketin dia. Tuh cewe gampang banget, mudah baperan, dan juga tuh cewe terlalu naif. Apa lagi body nya, beuh mantep," jelas Arsa, Gibran menggeleng saja mendengarnya.
Satria memukul bahu Arsa, "Awas aja nanti ada cerita lo kecantol sama tuh cewe," kata Satria.
Arsa menggeleng, "Ga bakal, janji gua."
'Lagi pula gua bakalan mati, ga bakalan mikirin pacaran,' batin Arsa.
"Oh iya, lo balikan sama Tamara?" tanya Radit ke Gibran dan di balas anggukan.
Satria tertawa kencang dan kakinya langsung di tendang oleh Arsa, "Congrats, semoga langgeng kalian," celetuk Arsa, di balas anggukan oleh Gibran.
"Kalau putus lagi jangan telepon gua, jangan lari juga ke alkohol. Ga asik, sakit hati teh ke alkohol," seru Satria, membuat Radit tertawa. Sedangkan Gibran menatap sinis keduanya.
to be continue.
Tadi malam Arsa banyak sekali minum, sekarang kesusahan untuk tidur dan tubuhnya terasa sangat dingin. Arsa mencoba melilit tubuhnya dengan selimut dan mematikan AC nya, berusaha untuk tidur tapi tetap saja ia terbangun dari tidurnya.Pagi ini Arsa benar-benar tidak enak badan. Suhu badannya juga tinggi, tubuhnya benar-benar lemah, apa lagi ia merasakan nyeri di bagian perutnya. Walaupun begitu Arsa harus bangkit dan pergi ke rumah Sia, karena lelaki itu sudah janji dan tidak ingin membuat gadis itu khawatir.TRING!Notifikasi pesan dari Sia masuk, Arsa mengambil ponselnya yang berada di meja kecil samping kasurnya.SiaAku tunggu di balkon.Hati-hati Sa ^.^08.24 WIBDengan lemah Arsa mengukir senyumnya dan menuju ke kamar mandi membasuh tubuhnya. Setelah selesai dengan kegiatan membasuhnya, Arsa segera turun ke bawah. Arka serta Bunda ada di bawah, sementara Ayahnya masih di rumah sakit."Sa, ayo sarapan," ajak Bunda s
Tepat jam 8 malam, Arsa akan menjemput Sia. Kemarin saat siang dia sudah mengelilingi rumah Sia beberapa kali, mencari jalan persembunyian keluar dari sana. Kalau lewat depan tidak akan mungkin bukan, maka dari itu dia mencari jalan keluar.Terkesan gila memang tindakan Arsa yang mengajak Sia keluar dari rumahnya. Arsa sudah menunggu Sia, tepat di luar tembok besar belakang dekat taman rumahnya, disana memang terdapat lubang yang sepertinya akan dipakai untuk pembuangan sampah.Sia sudah bersiap untuk keluar dari sana, biasanya jam 8 adalah jadwal ia untuk tidur. Kebiasaannya memang seperti itu, tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam. Berbeda sekali dengan Arsa yang selalu begadang tiap malam.Setelah menurut Sia situasi di luar aman, ia keluar kamarnya dengan langkah pelan seperti mengendap-endap. Ia menutupi bajunya dengan hoodie, saat hendak ingin pergi ke dapur, suara kenop pintu terdengar."Mau kemana, sudah jam 8 malam," celetuk Brian, Pap
Brian mengusap wajahnya kasar. Johnny memberi beberapa informasi tentang Arsa yang sudah ia gali sampai ujung. Tentang kapan lelaki itu lahir, dari kasta mana lelaki itu berasal, teman-temannya, suku, agama, ras, sampai kesehatan lelaki itu.Lelaki paruh baya itu sangat marah, bagaimana bisa lelaki pecandu alkohol dan memiliki penyakit kronis bisa mendekati anak gadisnya yang polos serta naif itu."Siapa dokter yang menanganinya?" tanya Brian kepada Jhonny, ia sedang membaca beberapa lembar kata yang berisi biodata Arsa."Dr. Daniel Yogaswara, Tuan," jawabnya.Brian mengangguk dan bangkit sambil membawa kertas biodata itu, "Sediakan mobil, kita akan temui dokter Daniel," ucapnya. Johnny mengangguk setelah itu keluar dari ruang kerja Brian dengan tergesa-gesa.Sia melihat Johnny yang keluar dari ruangan kerja Papanya, ia langsung melirik ke Bi Jami, "Papa belum berangkat kerja, Bi?" tanyanya.Bi Jami mengangguk, "Belum Non," ucapn
Malam kali ini terasa sunyi dan dingin. Baru saja mereka sampai di tempat tujuan dan menyantap minuman yang mereka beli, tapi tanpa aba-aba hujan jatuh dengan derasnya. Untung mereka sedang berada di kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan.Mereka duduk berhadapan, Sia menyunggingkan senyumnya dan alhasil senyumnya membuat Arsa tersenyum tipis, "Manis," celetuknya.Sia seketika tersedak, lelaki itu selalu bisa membuatnya salah tingkah dan membuat jantungnya tidak aman, "Ga papa?" tanya Arsa khawatir. Gadis itu langsung menggeleng cepat dan memukul pelan dadanya.Mereka menghabiskan kopi sambil menunggu hujan reda, "Aku mau tanya, Sa," ucapnya.Arsa langsung memfokuskan perhatian kepada Sia, "Kamu kemarin ke restoran?" tanya Sia. Lelaki itu menggeleng.FlashbackArsa mempunyai janji dengan seorang gadis yang kemarin bertemu di rumah sakit tempat ia di rawat. Di ujung koridor Arsa terkejut melihat Sia sedang berjalan menuju ke arah
Arsa diantar oleh Satria pulangnya, kendaraan lelaki itu di titipkan di rumah Gibran yang kebetulan tidak jauh dari Club tersebut. Lelaki itu mabuk berat dan terus meracau tak jelas. "Lo tau ga Sat, bibirnya Sia manis banget, buset dah. Buat gua kecanduan," racaunya. Satria menggeleng sambil membopong tubuh Arsa, "Gila lo berat banget anjing," ketusnya. Ia membukakan pagar rumah Arsa, ini sudah pukul 2 dini hari. Segera Satria ketuk pintu rumah tersebut, ia tidak tahu apakah ada yang membukakan pintu untuk Arsa. Akhirnya pintu terbuka dan terdapat Arka sedang menatap Arsa sambil menghela napasnya, setelah itu mengambil lelaki itu dari Satria, "Makasih ya Satria, maaf kalau Arsa ngerepotin," ucapnya. Satria menggeleng, "Engga kok, Ka. Kalau gitu gue pamit pulang ya," ujarnya, Arka mengangguk dan membawa masuk Arsa. Arka dengan langkah pelan membawa Arsa masuk ke dalam kamarnya, tapi baru beberapa langkah Ayah mereka sudah ada di ruang t
Arsa dan Sia masuk ke dalam satu club yang berada di pusat kota. Awalnya Sia sedikit ragu untuk masuk ke dalam sana, tapi lelaki itu menggenggam tangannya dan tersenyum tulus ke arahnya seakan lelaki itu bilang kalau ia akan menjaganya. Club ini adalah tempat berkumpulnya Arsa serta teman-temannya, lelaki itu membawa Sia menuju di sudut ruangan, Satria yang melihat Arsa langsung melambaikan tangannya. Arsa.berjalan menuju ke arah mereka dan menyapa temannya, setelah itu memperkenalkan Sia kepada mereka, "Kenalin ini Athanasia, panggil aja Sia, di umurnya di bawah kalian semua," ucap Arsa. Sia tersenyum sambil menunduk kepalanya sedikit, "Halo," sapanya. Mereka langsung serempak menjawab. "Gue kayaknya lebih enak manggil Hana deh. Kenalin gue Satria," cetus Satria sambil mengulurkan tangannya ke arah Sia. Sia tersenyum manis, "Sia, eh kok tau Hana?" tanyanya. "Tentu dong, kita mutualan di twitter. Gue juga yang ngenalin Arsa sama lo," j
Bunda yang baru pulang dari pasar menemani pembantu rumah tangganya belanja, terkejut saat ada sebuah mobil terparkir di depan rumahnya dan juga terlihat Satria sedang membawa barang Arsa keluar dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Tanpa berpikir panjang ia keluar dari mobil dan menanyakan sesuatu ke Satria, "Satria, ini kenapa?"Satria mengigit bibir bawahnya, tak lupa ia menyalimi tangan Ibunda Arsa tersebut, "Hm, anu Tante."Karena Satria tak kunjung menjawab pertanyaannya Diana masuk ke dalam kamar dan melihat Arsa sedang memasukkan baju ke dalam koper berwarna emas tersebut. Lantas Diana langsung menarik tangan Arsa, anak itu menepis tangan Diana."Kamu mau ngapain Sa, mau kemana?" tanya Diana yang menatap putranya itu agar memberinya penjelasan.Tapi Arsa tetap bungkam dan menghiraukan Diana yang terus-menerus melontarkan pertanyaan. Karena merasa dihiraukan, Diana langsung mengambil koper tersebut dan menyerakkan isinya. Arsa menatap tajam Bundany
Laki-laki tersebut pagi-pagi sudah ada di depan gerbang rumah Sia, tak lupa menyapa Pak Udin yang tengah menyesap kopinya sambil bersenandung kecil, "Pagi, Pak Udin," sapanya.Pak Udin yang tadinya tengah menikmati pagi, tiba-tiba langsung menyemburkan kopinya karena terkejut melihat Arsa yang berada di luar gerbang seraya tersenyum tipis ke arahnya.Ia buru-buru keluar pos satpamnya dan menghampiri Arsa, "Ya ampun Mas Arsa teh ngapain disini lagi, ga jera sama yang kemarin?" ucapnya.Arsa menggeleng kecil. Pria tersebut menepuk keningnya, "Ya gusti, mending Mas pulang. Sebelum Pak Jhonny ataupun Tuan Brian keluar, soalnya Tuan Brian belum pergi kerja," jelasnya."Bagus dong Pak, sekalian saya mau minta izin sama beliau mau ajak anaknya keluar." Pria tersebut langsung menggeleng dan menyuruh Arsa lekas pergi, tapi lelaki itu tetap kekeuh dengan niat ingin menjahili Pak Udin tersebut."Pak Udin!" panggil seseorang, dengan kewalahan Pak Udin langsung
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik
Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke
Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam