Home / Romansa / Athanasia / Bab VIII

Share

Bab VIII

Author: nadjae
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tepat jam 8 malam, Arsa akan menjemput Sia. Kemarin saat siang dia sudah mengelilingi rumah Sia beberapa kali, mencari jalan persembunyian keluar dari sana. Kalau lewat depan tidak akan mungkin bukan, maka dari itu dia mencari jalan keluar.

Terkesan gila memang tindakan Arsa yang mengajak Sia keluar dari rumahnya. Arsa sudah menunggu Sia, tepat di luar tembok besar belakang dekat taman rumahnya, disana memang terdapat lubang yang sepertinya akan dipakai untuk pembuangan sampah. 

Sia sudah bersiap untuk keluar dari sana, biasanya jam 8 adalah jadwal ia untuk tidur. Kebiasaannya memang seperti itu, tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam. Berbeda sekali dengan Arsa yang selalu begadang tiap malam.

Setelah menurut Sia situasi di luar aman, ia keluar kamarnya dengan langkah pelan seperti mengendap-endap. Ia menutupi bajunya dengan hoodie, saat hendak ingin pergi ke dapur, suara kenop pintu terdengar.

"Mau kemana, sudah jam 8 malam," celetuk Brian, Papa nya. Suara tersebut membuat jantungnya berdegup kencang, seperti akan terlepas dari tempatnya.

Sia membalikkan badannya, "Ah itu Pa, Sia mau ngambil air putih. Bi Jami lupa bawa ke atas tadi, hehehe," ucapnya di akhiri dengan tawa renyah.

Brian mengangguk, "Ya udah, setelah itu langsung tidur. Papa masih banyak kerjaan," tutur Brian, setelah itu lelaki paruh baya tersebut masuk ke dalam ruang kerjanya.

Sia mengangguk, "Jangan lupa tidur ya, Pa!" pekiknya. Setelah cukup aman, Sia langsung melangkah cepat ke luar dari pintu belakang yang dekat dengan dapur. Ia lari dengan cepat sambil membawa sepatu dan tasnya.

Sampai di tempat tersebut, Arsa membantu Sia melewati lubang tersebut. Setelah melewati lubang itu, Sia tersenyum senang karena berhasil ke luar dari rumah ini, "Makasih ya, Sa," ucapnya diiringi senyum manis dari gadis itu.

Arsa mengacak rambut gadis di depannya, setelah itu beralih memasangkan sepatu Sia. Awalnya Sia sedikit terkejut dan menolak Arsa untuk memasangkan ia sepatu, tapi lelaki itu bersikeras untuk memasangkannya.

Setelah itu Arsa memasangkan helm ke Sia. Perlakuan Arsa sukses membuat jantung Sia di penuhi kupu-kupu serta bunga. Ia merasa dirinya adalah gadis paling beruntung yang dilayani seperti seorang ratu. 

"Bagaimana, sudah siap keliling memutari kota Bandung?" celetuknya, Sia mengangguk semangat.

Mereka berangkat, dengan di temani angin malam yang dingin dan juga tak lupa Sia yang memeluk Arsa dari belakang saat motor itu mulai melaju membawanya melihat indahnya kota Bandung saat malam tiba.

(....)

Arsa memberhentikan motornya di sebuah angkringan yang cukup ramai. Sia melihat sekitar, banyak pengunjung tempat ini dan tak lupa ada juga band yang melakukan Busking di dekat angkringan tersebut.

Tepukan pundak yang di berikan Arsa membuat Sia membuyarkan lamunannya dan menatap Arsa, "Kenapa ngelamun, baru pertama kali datang kesini?" tanya Arsa.

Sia mengangguk malu, ia tak pernah diajak ke tempat pinggir jalan seperti ini, "Iya, baru pertama kali," jawab Sia dengan senyum canggungnya.

"Mau ganti tempat?" Sia langsung menggeleng cepat.

"Enggak kok, ayo makan," ucapnya, ia segera turun dari motor Arsa dan melepaskan helm yang berada di kepalanya.

Arsa menggeleng sambil tersenyum menatap punggung gadis tersebut, "Ayo Sa, tunggu apa lagi?"

Ia menyusul gadis itu. Arsa menggenggam tangan Sia, setelah itu ia memesan beberapa makanan ringan dan menarik Sia untuk duduk di salah satu kursi kosong disana, "Gimana, ga sesuai ekspektasi yang lo mau ya," seru Arsa.

Sia mengangguk, "Mungkin, aku sangka kamu bakal bawa aku dinner di restoran ternama gitu," jawabnya. 

Arsa terkekeh kecil, "Sorry, gua ga suka tempat yang begitu. Gua lebih suka makanan pinggir jalan kayak gini, yang ramai."

Sia mengangguk sambil menatap sekeliling tempat itu, memang sangat berbeda saat makan di restoran yang terkesan mewah, elegan, dan juga yang sunyi. Ia lebih menyukai tempat seperti ini, benar-benar terasa dunia luarnya.

Tanpa menunggu lama, makanan ringan yang Arsa pesan datang juga. Pemilik angkringan tersebut sangat hapal dengan Arsa, karena lelaki itu sering sekali makan disini dengan teman-temannya, "Wah a'a Arsa pertama kali bawa teteh geulis begini, biasanya teh dengan babaturan, kayak a' Satria kitu," ucap Ibu-ibu yang sepertinya sudah memasuki kepala lima tersebut.

Arsa tersenyum lebar, "Iya Bu, calon saya ini," jawab Arsa, membuat Sia membelalakkan matanya.

"Waduh, calon istrinya ini teh. Ya ampun a' Arsa, udah mau nikah aja ini, ga jadi deh dijodohin dengan anak ibu hehe. Kalau gitu ibu permisi dulu, ga enak gangguin calon pasutri. Sok mangga di makan," tutur wanita paruh baya tersebut.

Wajah Sia sudah bersemu merah dibuat Arsa, "Apa sih, Sa," celetuk Sia memalingkan wajahnya.

"Kamu malu?" cetus Arsa, sial lelaki itu terlalu spontan, benar-benar membuatnya gila. Wajahnya seperti tomat, dengan cepat Sia menutupi wajahnya.

Arsa menertawainya, "Di makan, gua jamin makanan disini enak-enak, nih cobain," kata Arsa sambil menyodorkan satu makanan yang Sia tampak asing dengan itu.

Sia mengambilnya dari tangan Arsa, makanan itu baru pertama kali ia lihat, bentukannya saja membuatnya ragu untuk menyantap makanan itu, "Ini ga papa dimakan?" ucapnya.

Arsa mengangguk dan mengambil makanan yang sama dengan yang di pegang Sia, setelah itu ia melahapnya, "Enak, cobain aja. Pasti nanti lo ketagihan," ujarnya.

Sia memakannya walaupun sedikit ragu dengan makanan itu, setelah makanan itu ia telan, mata Sia berbinar dan mengacungi jempolnya, "Enak, ini kayak sate gitu," ungkap Sia.

"Namanya sate usus, ini usus ayam. Cobain yang lain, contohnya telur puyuh ini," tutur Arsa, Sia mengangguk dan menyantap makanan tersebut.

Ia menutup mulutnya, " ...Ewnak bwanget, Sa," ucapnya sambil mengunyah makanan tersebut.

"Telan dulu, baru ngomong," sahut Arsa sambil menyodorkan minuman kepada Sia.

Sia menelan semua makanannya dan meminum minuman yang diberikan Arsa kepadanya setelah itu ia dengan semangatnya, "Sumpah Sa, aku baru pertama kali kesini, makanan pinggir jalan ternyata enak banget. Padahal Papa sering banget melarang aku makan di pinggir jalan gini, karena katanya makanannya ga sehat dan ga berkualitas."

Arsa terkekeh, "Papa kamu ada betulnya, tapi kalau nyoba sekali-kali boleh lah. Kebanyakan makanan pinggir jalan seperti ini, lebih enak dibandingkan dengan restoran," ujarnya, Sia mengangguk setuju.

"Bagaimana wisata kulinernya, mau coba yang lain juga?" sambung Arsa. Gadis itu dengan semangat langsung mengangguk.

Arsa membelai rambut gadis di sampingnya ini, "Lelaki memang suka bikin baper ya," gumam Sia.

Lelaki itu menatap Sia, menanyakan kata yang keluar dari mulutnya barusan. Sia langsung menggeleng cepat, "Bukan apa-apa kok."

Setelah selesai dengan makanan ringan di angkringan, Arsa membawa Sia ke sebuah taman dekat yang berada di sana. Banyak makanan berjejeran, ia bisa memilihnya.

Sia menunjuk salah satu gerobak makanan ringan dan minuman yang berada di sana dan ia menarik Arsa agar cepat kesana, "Ini, kayaknya enak ya kan, Sa." 

Arsa mengangguk, gadis di depannya ini seperti turis baginya dan Arsa adalah pemandunya, tapi ia cukup senang mengajak gadis itu keluar, karena ia perlu memberitahu gadis itu seberapa indahnya dunia luar tanpa angan-angan dari orang tuanya.

Setelah membeli makanan yang di inginkannya, Sia mengajak Arsa untuk duduk di kursi taman yang berada di sana, "Sa, makasih ya," celetuknya.

"Buat? Makanan?" Sia mengangguk.

"Berkat kamu, aku bisa ngerasain makanan luar yang enak begini. Maaf ya mungkin bagi kamu aku seperti orang kampungan gini," tuturnya. 

Arsa tersenyum tipis, "Wajar lo kayak gini, bokap lo aja overprotektif sama lo, gimana mau tau dunia luar, santai sama gua," ujarnya.

Sia mengangguk, hening. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Angin malam mulai menelusup masuk ke kulit. Gadis di sampingnya ini memakai rok pendek selutut, hoodie yang ia bawa tadi di pakai untuk menutupi roknya saat duduk. Arsa yang peka langsung melepas jaketnya dan menaruh di tubuh gadis itu.

"Eh, ga perlu Sa. Seharusnya kamu yang pakai, ini dingin loh, aku bisa pakai hoodie," katanya.

Arsa menggeleng, ia kembali melirik arjolinya, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, sudah dua jam berlalu dia membawa gadis itu keluar rumah, "Ayo pulang, udah jam sepuluh," cetus Arsa.

Sia menghela napas kasar, ia sebenarnya tak rela pulang cepat-cepat. Padahal baru beberapa menit ia menghabiskan sate usus, telor gulung, dan juga bajigur. Bagaimana waktu berlalu begitu cepat, ia memanyunkan bibirnya, "Masih jam sepuluh Sa, kita pulang jam sebelas aja ya," pintanya.

Arsa bangkit dan mengulurkan tangannya, "Besok lagi gua ajak ke tempat yang indah, perjalanan hari ini cukup sampai disini, besok kita mulai sesuatu yang berbeda. Kalau mengulur waktu lagi, nanti ketahuan bokap lo dan ga bisa jalan-jalan lagi, gimana?" tutur Arsa, mau tak mau Sia mengangguk dan menerima uluran tangan Arsa.

(...)

Mereka sampai, Sia turun dan Arsa membantunya membukakan pengait helm tersebut, "Besok janji ajak aku jalan-jalan kayak gini lagi," seru Sia. 

Arsa mengangguk, ia mengambil tangan Sia dan mulai menautkan jari kelingking mereka, "Udah janji kan."

Sia mengangguk, "Makasih banyak, Sa," ucapnya.

Arsa tersenyum gemas, "Makasih mulu lo, mending sekarang masuk dan tidur yang nyenyak. Jangan lupa mimpiin gua," cetus Arsa, Sia terkekeh kecil.

"Kayak anak-anak banget tau ga."

Arsa tertawa renyah, "Ya udah masuk, oh iya besok jangan pakai rok pendek lagi. Nanti kedinginan, gua yang repot," katanya.

Sia tersenyum, "Bi Jami ga sih yang repot, bukan kamu," jawabnya.

Arsa mengangguk, "Masuk sana," desaknya.

"Iya iya, bawel banget kayak Bi Jami," cetusnya.

Sia melangkahkan kakinya dan menundukkan kepalanya untuk masuk, tapi baru beberapa langkah ia ingat kalau jaket lelaki itu masih berada di pundaknya, ia membalikkan tubuhnya dan melepaskan jaket tersebut, "Kan, hampir kelupaan."

"Ga papa, bawa aja," ujar Arsa. Sia menggeleng dengan cepat.

"Kamu pulangnya ke dinginan nanti," sahutnya sambil kembali menaruh jaket tersebut ke belakang tubuh Arsa.

Posisi mereka sekarang seperti orang yang sedang berpelukan. Arsa dengan jahilnya memeluk tubuh gadis di depannya ini, "Kalau mau meluk ga usah alasan segala masangin jaket gini," cetusnya.

Sia terkejut dengan tindakan lelaki di depannya ini. Ia dapat menyium aroma tubuh lelaki tersebut. Sia tersenyum, setelah itu ia sadar dan langsung mendorong tubuh Arsa, "Kita ga pacaran, ga enak di lihat orang."

Arsa menatap Sia bingung, "Bukannya kita udah pacaran?" ungkapnya.

"Kapan?" tanya Sia.

"Waktu lo ngelike postinga gua. Itu buktinya lo suka sama gua dan juga waktu saat hujan, ga lihat bagaimana khawatirnya wajah lo ngeliat pacarnya babak belur, ga ingat?" 

Sia lantas menatap tajam Arsa dan langsung menggeleng cepat, "Engga, ngaco kamu. Udah ah aku mau masuk dulu," ucapnya, setelah itu pergi meninggalkan Arsa.

Arsa tersenyum geli melihatnya, setelah itu ia mendekat ke arah tembok tersebut, "Tidur yang nyenyak ya sayang. Good night," bisiknya, setelah itu ia menyalakan mesin motornya dan pergi meninggalkan Sia yang masih berada di sana masih mengatur detak jantungnya.

"Gombal," gumamnya. Wajah Sia tampak merah merona dibuat Arsa, rasanya ia sedang berada di atas langit. Benar-benar gila ia di buat Arsa, lelaki itu sukses memporak-porandakan hatinya.

to be continue.

Related chapters

  • Athanasia   Bab IX

    Brian mengusap wajahnya kasar. Johnny memberi beberapa informasi tentang Arsa yang sudah ia gali sampai ujung. Tentang kapan lelaki itu lahir, dari kasta mana lelaki itu berasal, teman-temannya, suku, agama, ras, sampai kesehatan lelaki itu.Lelaki paruh baya itu sangat marah, bagaimana bisa lelaki pecandu alkohol dan memiliki penyakit kronis bisa mendekati anak gadisnya yang polos serta naif itu."Siapa dokter yang menanganinya?" tanya Brian kepada Jhonny, ia sedang membaca beberapa lembar kata yang berisi biodata Arsa."Dr. Daniel Yogaswara, Tuan," jawabnya.Brian mengangguk dan bangkit sambil membawa kertas biodata itu, "Sediakan mobil, kita akan temui dokter Daniel," ucapnya. Johnny mengangguk setelah itu keluar dari ruang kerja Brian dengan tergesa-gesa.Sia melihat Johnny yang keluar dari ruangan kerja Papanya, ia langsung melirik ke Bi Jami, "Papa belum berangkat kerja, Bi?" tanyanya.Bi Jami mengangguk, "Belum Non," ucapn

  • Athanasia   Bab X

    Malam kali ini terasa sunyi dan dingin. Baru saja mereka sampai di tempat tujuan dan menyantap minuman yang mereka beli, tapi tanpa aba-aba hujan jatuh dengan derasnya. Untung mereka sedang berada di kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan.Mereka duduk berhadapan, Sia menyunggingkan senyumnya dan alhasil senyumnya membuat Arsa tersenyum tipis, "Manis," celetuknya.Sia seketika tersedak, lelaki itu selalu bisa membuatnya salah tingkah dan membuat jantungnya tidak aman, "Ga papa?" tanya Arsa khawatir. Gadis itu langsung menggeleng cepat dan memukul pelan dadanya.Mereka menghabiskan kopi sambil menunggu hujan reda, "Aku mau tanya, Sa," ucapnya.Arsa langsung memfokuskan perhatian kepada Sia, "Kamu kemarin ke restoran?" tanya Sia. Lelaki itu menggeleng.FlashbackArsa mempunyai janji dengan seorang gadis yang kemarin bertemu di rumah sakit tempat ia di rawat. Di ujung koridor Arsa terkejut melihat Sia sedang berjalan menuju ke arah

  • Athanasia   Bab XI

    Arsa diantar oleh Satria pulangnya, kendaraan lelaki itu di titipkan di rumah Gibran yang kebetulan tidak jauh dari Club tersebut. Lelaki itu mabuk berat dan terus meracau tak jelas. "Lo tau ga Sat, bibirnya Sia manis banget, buset dah. Buat gua kecanduan," racaunya. Satria menggeleng sambil membopong tubuh Arsa, "Gila lo berat banget anjing," ketusnya. Ia membukakan pagar rumah Arsa, ini sudah pukul 2 dini hari. Segera Satria ketuk pintu rumah tersebut, ia tidak tahu apakah ada yang membukakan pintu untuk Arsa. Akhirnya pintu terbuka dan terdapat Arka sedang menatap Arsa sambil menghela napasnya, setelah itu mengambil lelaki itu dari Satria, "Makasih ya Satria, maaf kalau Arsa ngerepotin," ucapnya. Satria menggeleng, "Engga kok, Ka. Kalau gitu gue pamit pulang ya," ujarnya, Arka mengangguk dan membawa masuk Arsa. Arka dengan langkah pelan membawa Arsa masuk ke dalam kamarnya, tapi baru beberapa langkah Ayah mereka sudah ada di ruang t

  • Athanasia   Bab XII

    Arsa dan Sia masuk ke dalam satu club yang berada di pusat kota. Awalnya Sia sedikit ragu untuk masuk ke dalam sana, tapi lelaki itu menggenggam tangannya dan tersenyum tulus ke arahnya seakan lelaki itu bilang kalau ia akan menjaganya. Club ini adalah tempat berkumpulnya Arsa serta teman-temannya, lelaki itu membawa Sia menuju di sudut ruangan, Satria yang melihat Arsa langsung melambaikan tangannya. Arsa.berjalan menuju ke arah mereka dan menyapa temannya, setelah itu memperkenalkan Sia kepada mereka, "Kenalin ini Athanasia, panggil aja Sia, di umurnya di bawah kalian semua," ucap Arsa. Sia tersenyum sambil menunduk kepalanya sedikit, "Halo," sapanya. Mereka langsung serempak menjawab. "Gue kayaknya lebih enak manggil Hana deh. Kenalin gue Satria," cetus Satria sambil mengulurkan tangannya ke arah Sia. Sia tersenyum manis, "Sia, eh kok tau Hana?" tanyanya. "Tentu dong, kita mutualan di twitter. Gue juga yang ngenalin Arsa sama lo," j

  • Athanasia   Bab XIII

    Bunda yang baru pulang dari pasar menemani pembantu rumah tangganya belanja, terkejut saat ada sebuah mobil terparkir di depan rumahnya dan juga terlihat Satria sedang membawa barang Arsa keluar dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Tanpa berpikir panjang ia keluar dari mobil dan menanyakan sesuatu ke Satria, "Satria, ini kenapa?"Satria mengigit bibir bawahnya, tak lupa ia menyalimi tangan Ibunda Arsa tersebut, "Hm, anu Tante."Karena Satria tak kunjung menjawab pertanyaannya Diana masuk ke dalam kamar dan melihat Arsa sedang memasukkan baju ke dalam koper berwarna emas tersebut. Lantas Diana langsung menarik tangan Arsa, anak itu menepis tangan Diana."Kamu mau ngapain Sa, mau kemana?" tanya Diana yang menatap putranya itu agar memberinya penjelasan.Tapi Arsa tetap bungkam dan menghiraukan Diana yang terus-menerus melontarkan pertanyaan. Karena merasa dihiraukan, Diana langsung mengambil koper tersebut dan menyerakkan isinya. Arsa menatap tajam Bundany

  • Athanasia   Bab XIV

    Laki-laki tersebut pagi-pagi sudah ada di depan gerbang rumah Sia, tak lupa menyapa Pak Udin yang tengah menyesap kopinya sambil bersenandung kecil, "Pagi, Pak Udin," sapanya.Pak Udin yang tadinya tengah menikmati pagi, tiba-tiba langsung menyemburkan kopinya karena terkejut melihat Arsa yang berada di luar gerbang seraya tersenyum tipis ke arahnya.Ia buru-buru keluar pos satpamnya dan menghampiri Arsa, "Ya ampun Mas Arsa teh ngapain disini lagi, ga jera sama yang kemarin?" ucapnya.Arsa menggeleng kecil. Pria tersebut menepuk keningnya, "Ya gusti, mending Mas pulang. Sebelum Pak Jhonny ataupun Tuan Brian keluar, soalnya Tuan Brian belum pergi kerja," jelasnya."Bagus dong Pak, sekalian saya mau minta izin sama beliau mau ajak anaknya keluar." Pria tersebut langsung menggeleng dan menyuruh Arsa lekas pergi, tapi lelaki itu tetap kekeuh dengan niat ingin menjahili Pak Udin tersebut."Pak Udin!" panggil seseorang, dengan kewalahan Pak Udin langsung

  • Athanasia   Bab XV

    Laki-laki bertubuh bongsor itu seperti biasa sudah memarkirkan kendaraan di depan gerbang rumah Sia. Arsa memanggil Pak Udin yang tengah asyik mendengarkan lagu lewat earphone."Pak Udin!" panggilnya. Tapi tetap saja pria paruh baya itu tak mendengarkannya.Arsa berusaha memanggil Pak Udin, tetap saja pria tersebut tak mendengarnya, karena sudah lelah Arsa pun terpaksa memanjat pagar yang tinggi itu. Setelah memanjat ia pun segera pergi ke pos tempat Pak Udin berada.Pak Udin membelalakkan matanya saat melihat Arsa yang sudah berada di pintu posnya, "Lah, Mas Arsa kapan masuknya?" tanyanya sambil melepaskan earphone yang ia pakai."Barusan, Pak Udin terlalu asik menikmati lantunan lagu di earphone itu, sampai saya masuk saja Pak Udin tak tahu," jawabnya."Kalau saya bilang ke Om Brian, bagaimana?" timpalnya.Pak Udin langsung meminta maaf kepada Arsa dan janji tidak akan mengulanginya lagi, "Bercanda, Pak," ucapnya diiringi dengan tawa

  • Athanasia   Bab XVI

    Sia sedang kesal dengan Arsa yang kemarin tanpa pamit meninggalkannya sendirian. Bagaimana bisa ia pulang dan menyuruh Om Johnny untuk menjemputnya. Masa bodoh sekarang, ia terlalu kesal dengan lelaki itu yang meninggalkannya sendirian tanpa sepatah kata.Flashback.Sia terkejut karena Arsa tiba-tiba mengangkat kepalanya dari bahunya, "Sa, kamu udah bangun."Sia melihat wajah Arsa yang pucat pasi langsung panik, "Tunggu, kamu pucat, ayo ke rumah sakit," cetus Sia dan memegangi wajah Arsa, tapi lelaki itu menepisnya.Arsa menggeleng dan segera bangkit, "Aku ke toilet sebentar," ucapnya dan meninggalkan Sia sendirian."Sa!" panggil Sia yang bingung karena lelaki itu pergi dengan niatan ke

Latest chapter

  • Athanasia   Epilog

    Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath

  • Athanasia   Bab LX

    Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k

  • Athanasia   Bab LIX

    Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.

  • Athanasia   Bab LVIII

    Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu

  • Athanasia   Bab LVII

    Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men

  • Athanasia   Bab LVI

    Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik

  • Athanasia   Bab LV

    Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke

  • Athanasia   Bab LIV

    Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me

  • Athanasia   Bab LIII

    Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam

DMCA.com Protection Status