Brian mengusap wajahnya kasar. Johnny memberi beberapa informasi tentang Arsa yang sudah ia gali sampai ujung. Tentang kapan lelaki itu lahir, dari kasta mana lelaki itu berasal, teman-temannya, suku, agama, ras, sampai kesehatan lelaki itu.
Lelaki paruh baya itu sangat marah, bagaimana bisa lelaki pecandu alkohol dan memiliki penyakit kronis bisa mendekati anak gadisnya yang polos serta naif itu.
"Siapa dokter yang menanganinya?" tanya Brian kepada Jhonny, ia sedang membaca beberapa lembar kata yang berisi biodata Arsa.
"Dr. Daniel Yogaswara, Tuan," jawabnya.
Brian mengangguk dan bangkit sambil membawa kertas biodata itu, "Sediakan mobil, kita akan temui dokter Daniel," ucapnya. Johnny mengangguk setelah itu keluar dari ruang kerja Brian dengan tergesa-gesa.
Sia melihat Johnny yang keluar dari ruangan kerja Papanya, ia langsung melirik ke Bi Jami, "Papa belum berangkat kerja, Bi?" tanyanya.
Bi Jami mengangguk, "Belum Non," ucapnya. Sia manggut-manggut saja sambil memakan roti lapis yang disajikan oleh Bi Jami.
Sia jadi teringat tadi malam. Arsa, lelaki itu benar-benar sudah mengambil hatinya. Sia tersenyum malu dengan semburat merah muncul di wajahnya, "Lagi mikiran apa?"
Gadis itu terkejut dan langsung menatap ke arah asal suara tersebut, ternyata Brian sedang duduk di depannya. Sia langsung menggeleng, "Buka apa-apa, Pa. Oh iya, Papa ga kerja?" celetuknya.
Lelaki di depannya ini menggeleng, "Papa kan CEO, anak buah Papa banyak, sayang kalau tidak dipakai," jawabnya, Sia menggeleng.
"Seharusnya jangan gitu, Pa. Walaupun Papa atasan, harusnya Papa tetap stand by di kantor," sahutnya.
Brian tersenyum ke arah Sia, "Anak Papa sudah besar ternyata, bisa menasehati Papanya, bagaimana kalau nanti malam makan di luar, setuju?"
Sia tampak gelisah mendengar, "Hm, nanti aku kabarin lagi deh Pa, soalnya harus ada yang aku kerjain malam ini."
Brian tampak bingung saat melihat raut wajah Sia yang tampak berbeda seperti biasa. Biasanya gadis kecilnya ini sangat semangat diajak keluar olehnya, karena Brian tak sering mengajak Sia, dikarenakan pekerjaannya yang membuatnya tidak ada waktu bersama putrinya. Brian mengangguk, "Baiklah, nanti beritahu Papa kalau kamu setuju. Papa keluar dulu, ya sayang."
Sia mengangguk. Brian bangkit dan memberi kecupan manis di dahi Sia, setelah itu mengacak rambut putrinya, "Hati-hati, Pa," ucap Sia. Brian mengangguk setelah itu pergi meninggalkan Sia.
(...)
Brian melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sakit yang berada di pusat kota. Dengan berkas biodata yang berada di tangannya. Ia sudah menelepon Dokter Daniel yang kebetulan adalah kenalannya untuk bertemu di ruangan kerjanya. Ya, mereka saling kenal satu sama lain, karena satu sekolah menengah atas.
Daniel sudah menunggu di koridor rumah sakit, menyambut Brian datang, sekaligus reuni kecil-kecilan, "Bagaimana kabarmu, sudah 33 tahun lebih tidak bertemu, bukan," celetuk Daniel sambil mengulurkan tangannya.
Brian mengangguk setuju dan menjabat tangan Daniel, "Kabarku baik, kita sudah menua sekarang, bukan lagi remaja yang urak-urakan dengan seragam yang tak tertata," jawabnya.
Daniel tertawa renyah membalasnya, "Oh iya kamu kesini untuk bertanya tentang pasienku bernama Arsa Putra Pangestu, ya."
"Benar, ada hal yang perlu aku tahu tentangnya," tutur Brian. Daniel mengajak Brian untuk berbicara di ruangannya, karena ini terkait informasi pribadi pasiennya.
Setelah sampai di ruangan Daniel, ia menyuruh Brian duduk di kursi yang berada di depannya dan mengambil beberapa berkas yang berada di rak sampingnya. Setelah itu memberikan berkas tersebut kepada Brian, "Arsa memiliki penyakit Hepatitis alkoholik sejak 5 tahun terakhir ini, ia juga sangat tertutup dengan keluarganya dan kemarin penyakitnya kambuh karena anak itu sangat keras kepala, kerjaannya tiap hari selalu mabuk, ya begitulah kehidupannya," tutur Daniel.
Brian membaca lembar demi lembar kertas yang berada di berkas tersebut, "Orang tuanya tidak tahu menahu tentang penyakit anak ini?"
Daniel mengangguk, "Ia enggan mengatakannya kepada keluarganya, karena menurutnya keluarganya tak menganggap dirinya, ia juga sering di siksa oleh ayahnya saat masih usia 10 tahun, maka dari itu terlihat dari hasil rontgen banyak tulang rusuk yang patah," kata Daniel sambil menunjuk gambar hasil rontgen tubuh Arsa.
"Tidak ada orang lain yang tahu menahu ia mengalami penyakit ini, cuma saya dan kamu. Saya harap kamu mampu merahasiakannya, karena kalau sampai penyakitnya di ketahui orang sekitar, ia akan marah besar," sambung Daniel.
Brian mengangguk, "Apa boleh saya bawa berkas ini?" tanyanya.
Daniel mengangguk dan tersenyum, "Oh iya, ada hubungan apa kamu dengannya?"
Brian memegang berkas tersebut, "Bukan apa-apa, hanya sebatas kenal. Kalau gitu saya pamit, ada kerjaan yang perlu saya kelarkan," ucapnya.
Brian keluar dari ruangan Daniel, tak lupa ia pamit dengan lelaki itu, "Kalau ada apa-apa jangan sungkan menelepon, Bri."
Lelaki itu tersenyum tipis setelah itu pergi sambil memberikan berkas tersebut ke Jhonny. Brian sedikit merasa iba terhadap bocah tersebut, bagaimanapun ia juga adalah manusia, tapi di satu sisi juga dia mempunyai perasaan kalau bocah ini hanya menjadikan putrinya mainannya, ia tak mau putrinya sama seperti perempuan yang telah disakiti oleh Arsa dan juga kalau misalnya lelaki muda itu pergi meninggalkan dunia, bagaimana nasib putrinya, ia akan terluka dan merasakan seperti yang ia rasakan dulu saat orang terkasihnya meninggalkan dunianya.
"Jhonny," panggil Brian.
Jhonny yang dipanggil langsung berdiri tepat di samping Brian, "Iya tuan."
"Cari tahu tentang latar belakang keluarganya Arsa, secepatnya," cetus Brian. Jhonny langsung mengangguk mengerti.
(...)
Sia sedikit menyesal karena Arsa menyuruh gadis itu untuk makan malam dengan Papanya, melainkan harus jalan-jalan bersama dengannya. Sebagai gantinya besok Arsa akan mengajak Sia jalan dengan waktu yang lebih lama lagi.
Ia pun bergegas bersiap memakai pakaian untuk makan malam bersama Papanya dengan dibantu oleh Bi Jami. Setelah ia bersiap, Sia turun ke bawah menuju ke teras dan sudah ada mobil yang sedang menunggunya. Brian tidak pulang, maka dari itu Sia langsung menyusul ke restoran yang Papanya tentukan dengan diantar oleh supirnya.
Sesampai di sana, Sia turun dan bergegas masuk mencari Papa nya. Saat masuk ke dalam restoran yang lumayan banyak pengunjung itu. Seseorang pelayan disana menghampiri Sia, "Nona Athanasia?" panggilnya.
Sia mengangguk, "Baiklah, ayo ikut saya, akan saya tunjukkan jalannya," sambung pelayan lelaki itu.
Mereka masuk ke dalam lift, pelayan tersebut menekan tombol angka 8. Setelah sampai di lantai 8, lelaki itu menunjukkan meja paling ujung dekat jendela dan terdapat Brian sedang menunggu putrinya dengan setelan dan jangan lupa wibawanya lelaki paruh baya yang sudah kepala lima itu.
Sia tersenyum lebar menatap Brian dan tak lupa berterima kasih kepada pelayan tersebut, ia langsung menghampiri Papa nya yang sedang termenung menatap jendela, "Pa, lagi ngelamunin apa sih?" celetuk Sia membuat lamunan Brian buyar.
Brian menatap Sia, "Sudah sampai, maaf akhir akhir ini Papa sedang tidak fokus," ujarnya.
"Pa, kalau papa lagi capek mending istirahat aja. Urusan kantor kan bisa sekertaris Papa yang bantu, om Johnny gitu," tutur Sia.
Brian mengangguk, "Kamu mirip seperti Mama mu, pasti dia sekarang lagi menatap kita," cetus Brian, nada pria itu melemah dengan pandangan teduh menahan tangisnya. Sia merasakan Papa nya sedang merindukan sosok Mama. Lelaki paruh baya itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan mengurusi dirinya, sampai lupa mengistirahatkan tubuhnya yang perlahan-lahan sudah termakan usia.
"Pa," panggil Sia sambil menyentuh punggung tangan pria yang berjasa dalam hidupnya ini.
Brian memberikan senyuman hangat ke Sia. Sebenarnya ia tidak ingin memperlihatkan betapa lemahnya dirinya, "Maaf ya sayang, karena Papa makan malam kali ini terkesan tidak enak," ucapnya, Sia menggeleng seraya mengelus punggung tangan pria itu.
"Papa boleh kok curhat ke Sia, luapin aja semuanya Pa ke Sia, jangan dipendam sendiri begitu."
Brian mengangguk dan menepuk punggung tangan putrinya. Setelah itu makanan yang Brian pesan datang, mereka pun makan dengan khidmat.
"Akhir-akhir ini Sia tampak berbeda dari pada biasanya, ada apa sayang?" Sia menatap Brian dengan tersenyum canggung.
"Gatau Pa, sepertinya akhir-akhir ini Sia terasa jauh lebih baik ya?"
Brian mengangguk, "Suasana hatimu sedang senang, sepertinya ada sesuatu ya?"
Sia menggeleng seraya tersenyum manis ke arah Brian, "Engga kok, Pa."
"Kalau ada sesuatu cerita aja ke Papa, misalnya tentang lelaki yang waktu itu. Apakah dia masih mendekatimu?" tanya Brian.
Sia langsung berhenti memotong steak daging yang dipesan itu, perasaan gelisah mulai menyelimutinya saat mendengar perkataan dari Papanya, dia tidak tahu harus menjawabnya. Gadis itu memilih diam, "Kamu masih berhubungan dengan lelaki itu kan, ga papa jujur saja sama Papa," cetus Brian.
Sia mengangguk dengan takut, "Tapi Papa jangan sakiti Arsa lagi ya, dia orang baik, Pa," pintanya.
Pria di depannya hanya tersenyum, "Lain kali tidak apa-apa diajak ke rumah jika dia berani," ujar Brian.
Sia langsung membelalakkan matanya dan menutup mulutnya, "Serius, Pa. Ga bohong kan?"
Brian mengangguk sambil terkekeh kecil melihat putrinya, "Kalau Sia senang, Papa juga begitu," tuturnya. Sia langsung bangkit dari kursinya dan memeluk tubuh Papanya itu.
"Oh iya, Pa. Aku izin ke toilet dulu ya," cetus Sia. Pria itu mengangguk.
Sia berjalan ke arah toilet, ponselnya bergetar, ia pun langsung mengambil ponselnya yang berada di sakunya.
BRUK
Sia jatuh terduduk, ia sedikit meringis, "Maaf saya tidak sengaja," celetuk seseorang tersebut yang mengulurkan tangannya ke Sia.
Sia menerima uluran tangan lelaki di depannya ini, "Kamu ga papa kan?" tanyanya.
Gadis itu merapihkan roknya serta bajunya, "Ga papa kok, saya juga minta— Arsa?" Alangkah terkejutnya Sia melihat lelaki di depannya ini mirip orang yang ia kenal, siapa lagi kalau Arsa Putra Pangestu.
Lelaki itu sedang berdiri dengan tatapan bingung, "Maaf, siapa ya?"
Sia lantas menutup mulutnya, mereka benar-benar mirip, dari segi wajahnya, tapi sangat berbeda tatanan rambutnya, juga cara berpakaiannya, dan bedanya lelaki di depannya ini memakai kacamata, "Sekali lagi saya minta maaf, saya buru-buru. Maaf," cetus lelaki itu dan pergi meninggalkan Sia yang masih mengangga tak percaya.
"Sa!" panggil Sia yang merasa lelaki itu adalah Arsa yang sedang menyamar.
to be continue.
Malam kali ini terasa sunyi dan dingin. Baru saja mereka sampai di tempat tujuan dan menyantap minuman yang mereka beli, tapi tanpa aba-aba hujan jatuh dengan derasnya. Untung mereka sedang berada di kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan.Mereka duduk berhadapan, Sia menyunggingkan senyumnya dan alhasil senyumnya membuat Arsa tersenyum tipis, "Manis," celetuknya.Sia seketika tersedak, lelaki itu selalu bisa membuatnya salah tingkah dan membuat jantungnya tidak aman, "Ga papa?" tanya Arsa khawatir. Gadis itu langsung menggeleng cepat dan memukul pelan dadanya.Mereka menghabiskan kopi sambil menunggu hujan reda, "Aku mau tanya, Sa," ucapnya.Arsa langsung memfokuskan perhatian kepada Sia, "Kamu kemarin ke restoran?" tanya Sia. Lelaki itu menggeleng.FlashbackArsa mempunyai janji dengan seorang gadis yang kemarin bertemu di rumah sakit tempat ia di rawat. Di ujung koridor Arsa terkejut melihat Sia sedang berjalan menuju ke arah
Arsa diantar oleh Satria pulangnya, kendaraan lelaki itu di titipkan di rumah Gibran yang kebetulan tidak jauh dari Club tersebut. Lelaki itu mabuk berat dan terus meracau tak jelas. "Lo tau ga Sat, bibirnya Sia manis banget, buset dah. Buat gua kecanduan," racaunya. Satria menggeleng sambil membopong tubuh Arsa, "Gila lo berat banget anjing," ketusnya. Ia membukakan pagar rumah Arsa, ini sudah pukul 2 dini hari. Segera Satria ketuk pintu rumah tersebut, ia tidak tahu apakah ada yang membukakan pintu untuk Arsa. Akhirnya pintu terbuka dan terdapat Arka sedang menatap Arsa sambil menghela napasnya, setelah itu mengambil lelaki itu dari Satria, "Makasih ya Satria, maaf kalau Arsa ngerepotin," ucapnya. Satria menggeleng, "Engga kok, Ka. Kalau gitu gue pamit pulang ya," ujarnya, Arka mengangguk dan membawa masuk Arsa. Arka dengan langkah pelan membawa Arsa masuk ke dalam kamarnya, tapi baru beberapa langkah Ayah mereka sudah ada di ruang t
Arsa dan Sia masuk ke dalam satu club yang berada di pusat kota. Awalnya Sia sedikit ragu untuk masuk ke dalam sana, tapi lelaki itu menggenggam tangannya dan tersenyum tulus ke arahnya seakan lelaki itu bilang kalau ia akan menjaganya. Club ini adalah tempat berkumpulnya Arsa serta teman-temannya, lelaki itu membawa Sia menuju di sudut ruangan, Satria yang melihat Arsa langsung melambaikan tangannya. Arsa.berjalan menuju ke arah mereka dan menyapa temannya, setelah itu memperkenalkan Sia kepada mereka, "Kenalin ini Athanasia, panggil aja Sia, di umurnya di bawah kalian semua," ucap Arsa. Sia tersenyum sambil menunduk kepalanya sedikit, "Halo," sapanya. Mereka langsung serempak menjawab. "Gue kayaknya lebih enak manggil Hana deh. Kenalin gue Satria," cetus Satria sambil mengulurkan tangannya ke arah Sia. Sia tersenyum manis, "Sia, eh kok tau Hana?" tanyanya. "Tentu dong, kita mutualan di twitter. Gue juga yang ngenalin Arsa sama lo," j
Bunda yang baru pulang dari pasar menemani pembantu rumah tangganya belanja, terkejut saat ada sebuah mobil terparkir di depan rumahnya dan juga terlihat Satria sedang membawa barang Arsa keluar dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Tanpa berpikir panjang ia keluar dari mobil dan menanyakan sesuatu ke Satria, "Satria, ini kenapa?"Satria mengigit bibir bawahnya, tak lupa ia menyalimi tangan Ibunda Arsa tersebut, "Hm, anu Tante."Karena Satria tak kunjung menjawab pertanyaannya Diana masuk ke dalam kamar dan melihat Arsa sedang memasukkan baju ke dalam koper berwarna emas tersebut. Lantas Diana langsung menarik tangan Arsa, anak itu menepis tangan Diana."Kamu mau ngapain Sa, mau kemana?" tanya Diana yang menatap putranya itu agar memberinya penjelasan.Tapi Arsa tetap bungkam dan menghiraukan Diana yang terus-menerus melontarkan pertanyaan. Karena merasa dihiraukan, Diana langsung mengambil koper tersebut dan menyerakkan isinya. Arsa menatap tajam Bundany
Laki-laki tersebut pagi-pagi sudah ada di depan gerbang rumah Sia, tak lupa menyapa Pak Udin yang tengah menyesap kopinya sambil bersenandung kecil, "Pagi, Pak Udin," sapanya.Pak Udin yang tadinya tengah menikmati pagi, tiba-tiba langsung menyemburkan kopinya karena terkejut melihat Arsa yang berada di luar gerbang seraya tersenyum tipis ke arahnya.Ia buru-buru keluar pos satpamnya dan menghampiri Arsa, "Ya ampun Mas Arsa teh ngapain disini lagi, ga jera sama yang kemarin?" ucapnya.Arsa menggeleng kecil. Pria tersebut menepuk keningnya, "Ya gusti, mending Mas pulang. Sebelum Pak Jhonny ataupun Tuan Brian keluar, soalnya Tuan Brian belum pergi kerja," jelasnya."Bagus dong Pak, sekalian saya mau minta izin sama beliau mau ajak anaknya keluar." Pria tersebut langsung menggeleng dan menyuruh Arsa lekas pergi, tapi lelaki itu tetap kekeuh dengan niat ingin menjahili Pak Udin tersebut."Pak Udin!" panggil seseorang, dengan kewalahan Pak Udin langsung
Laki-laki bertubuh bongsor itu seperti biasa sudah memarkirkan kendaraan di depan gerbang rumah Sia. Arsa memanggil Pak Udin yang tengah asyik mendengarkan lagu lewat earphone."Pak Udin!" panggilnya. Tapi tetap saja pria paruh baya itu tak mendengarkannya.Arsa berusaha memanggil Pak Udin, tetap saja pria tersebut tak mendengarnya, karena sudah lelah Arsa pun terpaksa memanjat pagar yang tinggi itu. Setelah memanjat ia pun segera pergi ke pos tempat Pak Udin berada.Pak Udin membelalakkan matanya saat melihat Arsa yang sudah berada di pintu posnya, "Lah, Mas Arsa kapan masuknya?" tanyanya sambil melepaskan earphone yang ia pakai."Barusan, Pak Udin terlalu asik menikmati lantunan lagu di earphone itu, sampai saya masuk saja Pak Udin tak tahu," jawabnya."Kalau saya bilang ke Om Brian, bagaimana?" timpalnya.Pak Udin langsung meminta maaf kepada Arsa dan janji tidak akan mengulanginya lagi, "Bercanda, Pak," ucapnya diiringi dengan tawa
Sia sedang kesal dengan Arsa yang kemarin tanpa pamit meninggalkannya sendirian. Bagaimana bisa ia pulang dan menyuruh Om Johnny untuk menjemputnya. Masa bodoh sekarang, ia terlalu kesal dengan lelaki itu yang meninggalkannya sendirian tanpa sepatah kata.Flashback.Sia terkejut karena Arsa tiba-tiba mengangkat kepalanya dari bahunya, "Sa, kamu udah bangun."Sia melihat wajah Arsa yang pucat pasi langsung panik, "Tunggu, kamu pucat, ayo ke rumah sakit," cetus Sia dan memegangi wajah Arsa, tapi lelaki itu menepisnya.Arsa menggeleng dan segera bangkit, "Aku ke toilet sebentar," ucapnya dan meninggalkan Sia sendirian."Sa!" panggil Sia yang bingung karena lelaki itu pergi dengan niatan ke
Arsa sudah janji untuk ke rumah sakit khususnya ruangan Dokter Daniel. Ia akan memberikan hasil usg hati Arsa, karena menurutnya ada sesuatu penting yang harus ia katakan kepada lelaki itu.Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan yang bertuliskan Dr. Daniel Yogaswara spesialis Hati. Tak lupa mengetuk dahulu dan masuk ke dalamnya. Dokter Daniel mengukir senyumnya dan menyuruh Arsa untuk duduk di kursi yang berada di depannya."Ini hasil usg hati kamu kemarin," ujar Dokter Daniel sambil memberikan foto hasil usg kemarin.Arsa menatap hasil usg tersebut dan menyunggingkan senyumnya tipis, "Ini apa, Dok?" tunjuknya, saat melihat sesuatu yang aneh di hatinya dan menatap ke arah Daniel yang menghela napas panjang.Daniel mengusap wajahnya dengan kasar, "Maaf, saya lalai dalam mengobati alcoholic fatty liver disease kamu, saya minta maaf, Arsa," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.Arsa menggeleng dan tersenyum kepada Daniel, "Bukan salah dokter, jus
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik
Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke
Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam