Share

Bab VII

Author: nadjae
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tadi malam Arsa banyak sekali minum, sekarang kesusahan untuk tidur dan tubuhnya terasa sangat dingin. Arsa mencoba melilit tubuhnya dengan selimut dan mematikan AC nya, berusaha untuk tidur tapi tetap saja ia terbangun dari tidurnya.

Pagi ini Arsa benar-benar tidak enak badan. Suhu badannya juga tinggi, tubuhnya benar-benar lemah, apa lagi ia merasakan nyeri di bagian perutnya. Walaupun begitu Arsa harus bangkit dan pergi ke rumah Sia, karena lelaki itu sudah janji dan tidak ingin membuat gadis itu khawatir.

TRING!

Notifikasi pesan dari Sia masuk, Arsa mengambil ponselnya yang berada di meja kecil samping kasurnya.

Sia

Aku tunggu di balkon.

Hati-hati Sa ^.^

08.24 WIB

Dengan lemah Arsa mengukir senyumnya dan menuju ke kamar mandi membasuh tubuhnya. Setelah selesai dengan kegiatan membasuhnya, Arsa segera turun ke bawah. Arka serta Bunda ada di bawah, sementara Ayahnya masih di rumah sakit.

"Sa, ayo sarapan," ajak Bunda sambil tersenyum ke arah Arsa.

Arsa menghiraukannya dan pergi mengambil sepatunya di rak, tapi entah kenapa kondisinya benar-benar sangat lemah, saat ia ingin mengambil sepatu saja Arsa hampir jatuh. Diana selaku Bundanya Arsa langsung bangkit dari kursinya dan memegang tubuh Arsa.

Menyadari suhu tubuh Arsa sangat tinggi membuat Diana khawatir, "Sa, kamu demam. Di rumah aja ya, jangan kemana-mana nanti Bunda suruh Arka panggil dokter," tutur Diana. Tapi Arsa segera menepis tangan Bundanya dan pergi keluar.

"Arsa!" pekik Diana, tapi percuma Arsa sangatlah keras kepala.

Arka memegang pundak Bundanya, "Bun, ga papa. Arsa bisa jaga tubuhnya sendiri."

Diana menatapi tubuh putranya yang berjalan lunglai, "Tapi, Ka—" Arka menggeleng.

(...)

Arsa mengendarai motornya, nyeri perutnya masih ada, ia terus-terusan memegang perutnya sepanjang jalan. Arsa merasakan tubuhnya sangat lemah, ia memutuskan untuk berhenti di pinggir jalan dan mengambil ponselnya guna menelpon Daniel, dokter pribadinya.

"Halo?" panggil Daniel dari seberang telepon.

Arsa mengatur napasnya, "Dok... Jemput saya, lokasinya saya kirim sekarang ..." ujarnya, dengan cepat Arsa memberikan lokasinya kepada Daniel lewat chat.

"Sa, kuatin diri kamu sampai saya datang ke sana, jangan pingsan," tuturnya, Arsa mengangguk. Setelah itu Daniel menutup panggilan tersebut.

Arsa turun dari motornya dan duduk di trotoar, ia mencoba mengatur napasnya, berusaha membuat dirinya tetap sadar. Ia juga memegangi perutnya yang terus menerus nyeri dan untungnya ia belum sarapan pagi ini, kalau tidak ia akan mengeluarkan semuanya.

Beginilah setiap kali Arsa kambuh dan itu membuatnya ingin cepat-cepat pergi dari dunia ini, karena ini semua membuatnya tersiksa. Lelaki itu dibuatnya mengantuk, tapi Arsa berusaha keras untuk tetap sadar.

Sebuah mobil berhenti di depannya dan muncullah dokter Daniel yang melontarkan pertanyaan kepadanya, tapi sebelum menjawab pertanyaan dokter Daniel, Arsa sudah pingsan duluan. Dengan cepat dokter Daniel menyuruh bawahannya menggotong Arsa dan juga menyuruh mereka membawa motor Arsa ke kliniknya.

(...)

Sudah pukul dua belas lewat tiga puluh menit, Arsa tak kunjung datang. Sia mencoba positif mungkin lelaki itu sedang ada acara keluarga dadakan, tetapi tetap saja membuatnya khawatir, terlebih lagi kemarin lelaki itu hujan-hujanan dan juga menerima tamparan serta pukulan yang membuatnya semakin khawatir. Kenapa ia tidak mengirimkan pesan kepadanya, Sia menunggu serta menatap ponselnya, berharap mendapatkan kabar dari lelaki itu.

Tapi percuma, ini sudah lima jam berlalu. Sia enggan keluar dari kamarnya karena kejadian kemarin ia tidak ingin bertegur sapa dengan Papanya. Sia menghela napas kasar, "Arsa kemana ya?" celetuknya sambil menangkup wajahnya.

Ceklek

Pintu kamarnya terbuka, terlihat Brian tersenyum menatap punggung anaknya. Sia menoleh sebentar, saat melihat Papa nya, ia langsung membuang muka, "Segitu marahnya dengan Papa?" ucap Brian menutup pintu kembali dan mengambil langkah duduk di samping Sia.

Sia enggan menjawab pertanyaan Papa nya, apa lagi sekedar melihat Papa nya. Ia sekarang sangat marah dengan Papa nya, mungkin karena Papa nya, Arsa tidak datang ke sini, "Karena Papa, Arsa ga datang lihat Sia!" bentak Sia. Ia langsung membenamkan wajahnya dan tak lama terdengar isak tangis dari Sia.

Brian langsung memeluk putri semata wayangnya, awalnya Sia memberontak, tetapi seketika ia melunak dan menangis di pelukan sang Ayah, "Pa, Arsa ga ke sini." 

Brian menghela napas dan mengelus punggung putrinya, membiarkan Sia mengeluarkan semua keluh kesahnya, "Jangan nangis sayang, mungkin Arsa kamu lagi sibuk dan ga sempat memberitahu kamu," sahut Brian. 

(...)

Brian masuk ke dalam ruang kantornya dan menahan amarahnya, ia membuang semua benda yang berada di meja kerjanya, "Siapa lelaki bernama Arsa itu?!" pekiknya.

Satu bodyguard masuk ke dalam ruangannya, karena mendengar suara bising, "Ada apa tuan?" tanyanya.

Brian mengepalkan tangannya dan menghantamkan ke arah meja, matanya menunjukkan amarah yang membara, "Panggil Johnny kemari, cepat!" perintahnya, bodyguard itu langsung menuruti permintaan Brian.

Brian menghela napasnya panjang dan mendudukkan bokongnya, setelah itu ia mengusap wajahnya kasar. Johnny datang dan memberi salam, "Cari tahu lelaki bernama Arsa itu yang kemarin datang ke sini, cari semua yang berhubungan dengannya. Jangan sampai ada yang terlewat!" jelas Brian. Johnny langsung mengangguk mengerti dan meninggalkan ruangan tersebut.

Lelaki itu menggeram, napasnya naik turun, "Bisa-bisanya lelaki seperti dia membuat putriku menangis. Tunggu saja balasannya Arsa," ketus Brian.

(...)

Sudah 2 hari berlalu, Arsa sama sekali belum memberi kabar kepada Sia maupun temannya. Ia sama sekali belum mau menghidupkan ponselnya kembali, kondisinya saja belum seratus persen sembuh. Arsa memandangi ke arah jendela, menatapi indahnya pemandangan luar. Kota Bandung sekarang sedang di guyur hujan, akhir-akhir ini sering sekali hujan, mungkin karena sudah memasuki musimnya.

Arsa menatap teduh ke arah jendela, memejamkan matanya. Tapi sebuah ketukan pintu membuatnya mengurungkan niatnya untuk kembali memasuki alam mimpi.

Dokter Daniel masuk dan memberi senyuman kepada Arsa, "Syukurlah kamu sudah siuman," celetuknya.

Dokter Daniel menyentuh tangan Arsa dan menatapnya dengan lamat, setelah itu memeriksa mata Arsa, "Kamu cepat pulih dan juga cepat sekali sakit," tutur Daniel.

Arsa menyingung senyumnya, "Benar, maka dari itu saya ingin cepat pergi, Dok."

Daniel menggeleng, "Semangat, Sa. Kamu perlu merasakan indahnya dunia, jangan menyerah cuma gara-gara penyakit." 

Ia terkekeh kecil, "Bagaimana saya bisa semangat. Mungkin banyak yang memberikan semangat kepada saya, tapi itu cuma dengan kata-kata saja, tidak mempan buat saya, Dok," jawab Arsa.

Daniel menghela napas, "Setiap orang mempunyai penyemangatnya untuk tetap di dunia ini dengan orang-orang yang mereka sayang ataupun sesuatu. Kamu, cari itu, cari penyemangat kamu untuk tetap berada di dunia," jelasnya dengan menepuk pundak Arsa.

"Jangan patah semangat Arsa untuk sembuh, itu pesan saya, cintai diri kamu," sambung Daniel.

Setelah itu seorang suster masuk membawa makanan untuk Arsa serta obat-obatan, "Baiklah saya undur diri dulu, harus ada pasien lain yang harus saya beri semangat," tuturnya sambil tersenyum.

Arsa mengangguk dan Daniel pergi meninggalkannya. Ia berniat memejamkan matanya lagi, tapi perkataan suster itu membuatnya enggan melakukan aktivitasnya, "Dua hari kemarin, saat masnya dibawa kerumah sakit ini. Ponsel mas selalu bergetar terus menerus setiap menit, kalau ga salah nama kontak yang menelepon mas itu Sia, maaf mas atas kelancangan saya melihat ponsel mas dan juga kemarin baterai handphone nya lowbat kemarin, jadi saya charger," tutur Suster tersebut.

Arsa mengangguk serta tersenyum tipis ke suster tersebut, "Ga papa sus, malahan saya sangat berterimakasih," ucapnya.

Suster tersebut mengangguk, "Baik mas, kalau begitu saya tinggal."

Suster itu pergi meninggalkan ruangan Arsa. Ia melirik ke arah ponselnya yang terletak di atas lemari kecil sampingnya, mau tak mau Arsa mengambil ponsel tersebut dan menghidupkannya. Baru saja beberapa menit ponsel itu hidup, sudah banyak notifikasi pesan dari temannya, keluarganya, serta Sia.

Banyak pesan dari gadis itu, mungkin hampir seribu pesan dikirim gadis itu kepadanya, tanpa sadar Arsa mengukir senyumnya. Karena menurutnya gadis itu khawatir, Arsa meneleponnya.

"Arsa!" pekik gadis itu di seberang sana. Arsa menjauhkan ponselnya dari telinga, karena suara gadis itu mungkin mampu memecahkan gendang telinganya.

"Ga usah teriak gitu, sakit gendang telinga gua," cetus Arsa, gadis itu langsung mengecilkan volume suaranya.

Gadis tersebut berdeham, "Maaf, kamu dari mana aja, udah dua hari tidak menjawab panggilan telepon ku maupun membalas pesan ku," ucapnya.

Arsa tersenyum gemas mendengarnya, "Oh itu, nemenin kembaran gua olimpiade sains di Jakarta," jawabnya.

"Bener? Tapi kenapa ga jawab telepon aku ataupun sekedar jawab pesan ku. Kamu ga bohong kan?" ujarnya.

Arsa tersenyum kecut, "Kalau ga percaya tanya aja sama bokap gua," sahutnya.

Gadis itu terbata-bata, "... Aku kenal ayah k-amu aja engga, udah deh ubah percakapannya, sekarang kamu dimana?"

"Dimana ya?" ucapnya, ia sedikit menggoda gadis itu. 

Sepertinya gadis itu sedikit kesal dengannya, "Arsa!" pekiknya, Arsa tertawa cukup keras. 

"Jawab, sekarang kamu dimana? Jangan buat aku khawatir deh," seru Sia. Gadis ini adalah orang pertama yang membuatnya tertawa kencang seperti ini dan juga Sia adalah orang pertama yang Arsa kabari setelah ia bangun dari pingsannya, Arsa seperti menemukan rumah baru untuknya melanjutkan sisa umurnya.

Arsa menghela napasnya, "Oke, gua lagi di Jakarta untuk perjalanan pulang. Besok gua bakal ke rumah lo, mau ajak jalan-jalan."

Sia terbatuk-batuk mendengar perkataan Arsa, "Bagaimana cara keluar dari rumah?"

"Shut, rahasia. Besok tugas lo dandan yang cantik, tunggu di taman belakang rumah lo, gua bakal jemput lo disana," tutur Arsa.

"Tapi, bodyguard Papa pasti bakalan tau," seru Sia.

"Ga, percaya sama gua. Nanti gua jemput jam 8 malam, kalau sudah sampai disana gua bakal chat lo, jangan kasih tau siapa-siapa. Bi Jami juga ga boleh tau, ngerti kan?" perintah Arsa kepada gadis itu, walaupun ia tampak ragu dengan perkataan Arsa, tapi mau bagaimana lagi, kalau belum dicoba tidak tau kan bagaimana hasilnya.

Akhirnya Sia menyetujui perkataan Arsa tersebut, walaupun tindakannya terkesan seperti bunuh diri.

to be continue.

Related chapters

  • Athanasia   Bab VIII

    Tepat jam 8 malam, Arsa akan menjemput Sia. Kemarin saat siang dia sudah mengelilingi rumah Sia beberapa kali, mencari jalan persembunyian keluar dari sana. Kalau lewat depan tidak akan mungkin bukan, maka dari itu dia mencari jalan keluar.Terkesan gila memang tindakan Arsa yang mengajak Sia keluar dari rumahnya. Arsa sudah menunggu Sia, tepat di luar tembok besar belakang dekat taman rumahnya, disana memang terdapat lubang yang sepertinya akan dipakai untuk pembuangan sampah.Sia sudah bersiap untuk keluar dari sana, biasanya jam 8 adalah jadwal ia untuk tidur. Kebiasaannya memang seperti itu, tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam. Berbeda sekali dengan Arsa yang selalu begadang tiap malam.Setelah menurut Sia situasi di luar aman, ia keluar kamarnya dengan langkah pelan seperti mengendap-endap. Ia menutupi bajunya dengan hoodie, saat hendak ingin pergi ke dapur, suara kenop pintu terdengar."Mau kemana, sudah jam 8 malam," celetuk Brian, Pap

  • Athanasia   Bab IX

    Brian mengusap wajahnya kasar. Johnny memberi beberapa informasi tentang Arsa yang sudah ia gali sampai ujung. Tentang kapan lelaki itu lahir, dari kasta mana lelaki itu berasal, teman-temannya, suku, agama, ras, sampai kesehatan lelaki itu.Lelaki paruh baya itu sangat marah, bagaimana bisa lelaki pecandu alkohol dan memiliki penyakit kronis bisa mendekati anak gadisnya yang polos serta naif itu."Siapa dokter yang menanganinya?" tanya Brian kepada Jhonny, ia sedang membaca beberapa lembar kata yang berisi biodata Arsa."Dr. Daniel Yogaswara, Tuan," jawabnya.Brian mengangguk dan bangkit sambil membawa kertas biodata itu, "Sediakan mobil, kita akan temui dokter Daniel," ucapnya. Johnny mengangguk setelah itu keluar dari ruang kerja Brian dengan tergesa-gesa.Sia melihat Johnny yang keluar dari ruangan kerja Papanya, ia langsung melirik ke Bi Jami, "Papa belum berangkat kerja, Bi?" tanyanya.Bi Jami mengangguk, "Belum Non," ucapn

  • Athanasia   Bab X

    Malam kali ini terasa sunyi dan dingin. Baru saja mereka sampai di tempat tujuan dan menyantap minuman yang mereka beli, tapi tanpa aba-aba hujan jatuh dengan derasnya. Untung mereka sedang berada di kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan.Mereka duduk berhadapan, Sia menyunggingkan senyumnya dan alhasil senyumnya membuat Arsa tersenyum tipis, "Manis," celetuknya.Sia seketika tersedak, lelaki itu selalu bisa membuatnya salah tingkah dan membuat jantungnya tidak aman, "Ga papa?" tanya Arsa khawatir. Gadis itu langsung menggeleng cepat dan memukul pelan dadanya.Mereka menghabiskan kopi sambil menunggu hujan reda, "Aku mau tanya, Sa," ucapnya.Arsa langsung memfokuskan perhatian kepada Sia, "Kamu kemarin ke restoran?" tanya Sia. Lelaki itu menggeleng.FlashbackArsa mempunyai janji dengan seorang gadis yang kemarin bertemu di rumah sakit tempat ia di rawat. Di ujung koridor Arsa terkejut melihat Sia sedang berjalan menuju ke arah

  • Athanasia   Bab XI

    Arsa diantar oleh Satria pulangnya, kendaraan lelaki itu di titipkan di rumah Gibran yang kebetulan tidak jauh dari Club tersebut. Lelaki itu mabuk berat dan terus meracau tak jelas. "Lo tau ga Sat, bibirnya Sia manis banget, buset dah. Buat gua kecanduan," racaunya. Satria menggeleng sambil membopong tubuh Arsa, "Gila lo berat banget anjing," ketusnya. Ia membukakan pagar rumah Arsa, ini sudah pukul 2 dini hari. Segera Satria ketuk pintu rumah tersebut, ia tidak tahu apakah ada yang membukakan pintu untuk Arsa. Akhirnya pintu terbuka dan terdapat Arka sedang menatap Arsa sambil menghela napasnya, setelah itu mengambil lelaki itu dari Satria, "Makasih ya Satria, maaf kalau Arsa ngerepotin," ucapnya. Satria menggeleng, "Engga kok, Ka. Kalau gitu gue pamit pulang ya," ujarnya, Arka mengangguk dan membawa masuk Arsa. Arka dengan langkah pelan membawa Arsa masuk ke dalam kamarnya, tapi baru beberapa langkah Ayah mereka sudah ada di ruang t

  • Athanasia   Bab XII

    Arsa dan Sia masuk ke dalam satu club yang berada di pusat kota. Awalnya Sia sedikit ragu untuk masuk ke dalam sana, tapi lelaki itu menggenggam tangannya dan tersenyum tulus ke arahnya seakan lelaki itu bilang kalau ia akan menjaganya. Club ini adalah tempat berkumpulnya Arsa serta teman-temannya, lelaki itu membawa Sia menuju di sudut ruangan, Satria yang melihat Arsa langsung melambaikan tangannya. Arsa.berjalan menuju ke arah mereka dan menyapa temannya, setelah itu memperkenalkan Sia kepada mereka, "Kenalin ini Athanasia, panggil aja Sia, di umurnya di bawah kalian semua," ucap Arsa. Sia tersenyum sambil menunduk kepalanya sedikit, "Halo," sapanya. Mereka langsung serempak menjawab. "Gue kayaknya lebih enak manggil Hana deh. Kenalin gue Satria," cetus Satria sambil mengulurkan tangannya ke arah Sia. Sia tersenyum manis, "Sia, eh kok tau Hana?" tanyanya. "Tentu dong, kita mutualan di twitter. Gue juga yang ngenalin Arsa sama lo," j

  • Athanasia   Bab XIII

    Bunda yang baru pulang dari pasar menemani pembantu rumah tangganya belanja, terkejut saat ada sebuah mobil terparkir di depan rumahnya dan juga terlihat Satria sedang membawa barang Arsa keluar dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Tanpa berpikir panjang ia keluar dari mobil dan menanyakan sesuatu ke Satria, "Satria, ini kenapa?"Satria mengigit bibir bawahnya, tak lupa ia menyalimi tangan Ibunda Arsa tersebut, "Hm, anu Tante."Karena Satria tak kunjung menjawab pertanyaannya Diana masuk ke dalam kamar dan melihat Arsa sedang memasukkan baju ke dalam koper berwarna emas tersebut. Lantas Diana langsung menarik tangan Arsa, anak itu menepis tangan Diana."Kamu mau ngapain Sa, mau kemana?" tanya Diana yang menatap putranya itu agar memberinya penjelasan.Tapi Arsa tetap bungkam dan menghiraukan Diana yang terus-menerus melontarkan pertanyaan. Karena merasa dihiraukan, Diana langsung mengambil koper tersebut dan menyerakkan isinya. Arsa menatap tajam Bundany

  • Athanasia   Bab XIV

    Laki-laki tersebut pagi-pagi sudah ada di depan gerbang rumah Sia, tak lupa menyapa Pak Udin yang tengah menyesap kopinya sambil bersenandung kecil, "Pagi, Pak Udin," sapanya.Pak Udin yang tadinya tengah menikmati pagi, tiba-tiba langsung menyemburkan kopinya karena terkejut melihat Arsa yang berada di luar gerbang seraya tersenyum tipis ke arahnya.Ia buru-buru keluar pos satpamnya dan menghampiri Arsa, "Ya ampun Mas Arsa teh ngapain disini lagi, ga jera sama yang kemarin?" ucapnya.Arsa menggeleng kecil. Pria tersebut menepuk keningnya, "Ya gusti, mending Mas pulang. Sebelum Pak Jhonny ataupun Tuan Brian keluar, soalnya Tuan Brian belum pergi kerja," jelasnya."Bagus dong Pak, sekalian saya mau minta izin sama beliau mau ajak anaknya keluar." Pria tersebut langsung menggeleng dan menyuruh Arsa lekas pergi, tapi lelaki itu tetap kekeuh dengan niat ingin menjahili Pak Udin tersebut."Pak Udin!" panggil seseorang, dengan kewalahan Pak Udin langsung

  • Athanasia   Bab XV

    Laki-laki bertubuh bongsor itu seperti biasa sudah memarkirkan kendaraan di depan gerbang rumah Sia. Arsa memanggil Pak Udin yang tengah asyik mendengarkan lagu lewat earphone."Pak Udin!" panggilnya. Tapi tetap saja pria paruh baya itu tak mendengarkannya.Arsa berusaha memanggil Pak Udin, tetap saja pria tersebut tak mendengarnya, karena sudah lelah Arsa pun terpaksa memanjat pagar yang tinggi itu. Setelah memanjat ia pun segera pergi ke pos tempat Pak Udin berada.Pak Udin membelalakkan matanya saat melihat Arsa yang sudah berada di pintu posnya, "Lah, Mas Arsa kapan masuknya?" tanyanya sambil melepaskan earphone yang ia pakai."Barusan, Pak Udin terlalu asik menikmati lantunan lagu di earphone itu, sampai saya masuk saja Pak Udin tak tahu," jawabnya."Kalau saya bilang ke Om Brian, bagaimana?" timpalnya.Pak Udin langsung meminta maaf kepada Arsa dan janji tidak akan mengulanginya lagi, "Bercanda, Pak," ucapnya diiringi dengan tawa

Latest chapter

  • Athanasia   Epilog

    Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath

  • Athanasia   Bab LX

    Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k

  • Athanasia   Bab LIX

    Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.

  • Athanasia   Bab LVIII

    Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu

  • Athanasia   Bab LVII

    Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men

  • Athanasia   Bab LVI

    Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik

  • Athanasia   Bab LV

    Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke

  • Athanasia   Bab LIV

    Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me

  • Athanasia   Bab LIII

    Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam

DMCA.com Protection Status