Lelaki itu berjalan dengan lunglai, dia sedang mabuk. Tadi malam ia menghabiskan waktu untuk meminum alkohol seperti biasa. Tidak ada yang menemaninya untuk menghabiskan beberapa botol alkohol, karena kesibukan temannya masing-masing.
Ia memegang kenop pintu rumahnya, terkunci ternyata. Saat ia ingin mengeluarkan kunci dari saku jaketnya, satu tangan lebih dahulu membukakan pintu tersebut, ia adalah Arka kembarannya.
Arsa masuk lebih dahulu, ia menerjapkan matanya guna untuk melangkahkan kakinya naik ke tangga untuk menuju kamarnya. Tapi tubuhnya begitu lemah dan pandangannya buram, jadi ia pun beberapa kali tersungkur. Arka dengan sigap membantu Arsa bangun, tapi lelaki itu menepisnya.
"Gua ga butuh bantuan lo," decak Arsa sambil menunjuk ke arah wajah Arka dan ia kembali naik ke atas menuju kamarnya. Arka menatapinya dari bawah berjaga-jaga agar saudaranya itu tidak jatuh lagi.
Arsa memasuki kamarnya dan langsung merebahkan dirinya. Ia memijat keningnya untuk menghilangkan rasa pusing.
TOK TOK
Suara ketukan pintu terdengar. Arsa menggeram dan ia menatap tajam ke arah seseorang yang berada di balik pintu tersebut, siapa lagi kalau bukan Arka. Ia tak senang jika tidurnya diganggu, apalagi Arka adalah orang yang sangat ia benci kedua setelah ayahnya.
Dengan pandangan yang buram, Arsa membuka pintu tersebut, "Ada apa, ga bosen lo ganggu kegiatan gua mulu," desis Arsa dengan tatapan tajam ke Arka.
Arka memberikannya sekaleng susu beruang dan juga air putih, "Buat hilangin mabuk kamu," ucapnya dengan senyuman tulus ke arah adiknya.
Arsa memutar matanya malas dan menutup kembali pintu itu dengan kasar serta kembali merebahkan dirinya ke kasur.
"Saya taruh di pinggir kanan pintu ya, Sa." Setelah itu Arka pergi dari pintu kamar Arsa.
Lelaki itu hanya mendecih mendengarnya dan mulai memejamkan matanya. Baru beberapa menit memejamkan matanya, panggilan masuk dari Satria. Lelaki itu mendengus kesal dan berjanji akan menghajar Satria nanti, dengan kesal Arsa menjawab panggilan tersebut.
"Apa!" ketus Arsa.
"Sa! Lo harus kesini, Gibran dihajar gengster, gue sama Radit on the way kesana." Arsa tidak mendengar perkataan Satria, karena terlalu bising kendaraan di panggilan telepon itu.
"Apa? Suara lo ga kedengeran," sahut Arsa.
Satria mendecak, "Gibran dihajar orang!"
Arsa yang mendengar perkataan Satria langsung membelalakkan matanya dan dengan terburu-buru langsung bangkit dan mengambil jaketnya yang tergantung.
"Gua kesana, kalian duluan bantuin Gibran," jawabnya. Setelah itu menutup panggilan tersebut.
Ia membuka pintu tersebut dengan terburu-buru, Arsa menoleh ke samping dan melihat air putih dan susu beruang ada disana. Ia mendecak sebal dan merutuki situasinya sekarang, ia masih merasa pusing dan belum seratus persen sadar, tetapi apa boleh buat sekarang ia harus menyingkirkan egonya dan segera meminum susu beruang pemberian Arka.
Arsa langsung meminumnya habis dan membuang botol tersebut. Arka melihat Arsa sedang terburu-buru turun dari tangga.
"Mau kemana, Sa?" tanya Arka sambil mencengkram tangan Arsa. Lelaki itu melihat ke arah Arka, menatap tajam lelaki itu agar melepaskan tangannya. Arka dengan cepat melepaskan tangannya. Arsa pergi, menghiraukan perkataan saudaranya itu dan ia bergegas langsung pergi ke bagasi rumahnya, menyalakan motornya.
(...)
Satria dan Radit sedang menunggu Arsa di pinggir gang menuju tempat itu. Arsa datang dan membuka kaca helmnya, "Gibran?"
Radit menunjuk ke arah gudang kosong tersebut, "Ck, terus kalian ngapain nunggu disini bego!" serunya.
"Ya nungguin lo lah anjir, kalau gue sama Radit masuk kesana nanti nambah runyam," jawabnya. Arsa hanya menghela napasnya kasar.
Lelaki itu langsung menutup kaca helmnya serta menyalakan motornya dan menancapkan gas menuju gudang kosong yang di tunjuk oleh Radit. Satria dan Radit menyusulnya menggunakan mobil.
Sesampainya di sana, Arsa sudah lebih dulu turun dari motornya dan masuk ke dalam gudang tersebut. Sepi, hanya ada beberapa kayu dan juga banyak debu.
Mata lelaki itu menjelajahi setiap sudut gedung tersebut, ia melangkahkan kakinya menuju tangga dan terlihat Gibran yang terkapar di lantai serta wajahnya yang sudah babak belur. Arsa langsung berlari ke arah Gibran, "Dimana mereka!?" seru Arsa.
Gibran menggeleng lemah, Arsa menjambak rambutnya dengan kasar, "Ah anjing!" teriaknya.
Arsa langsung membopong tubuh Gibran di punggunya dan membawanya keluar dari gudang. Satria dan Radit yang baru mau naik tangga langsung menyuruh Arsa menurunkan tubuh Gibran.
"Kalian bawa Gibran ke rumah sakit."
Radit menautkan alisnya, "Lo mau ke mana, jangan bilang?"
"Ada yang harus gua selesaikan. Titip Gibran," jawabnya. Setelah itu meninggalkan teman-temannya yang menghela napas kasar.
(...)
Arsa mengelilingi daerah sekitar gudang guna mencari pelaku yang membuat temannya babak belur seperti itu, walaupun ia sudah mengelilingi daerah itu sebanyak tiga kali. Tapi saat ia tak sengaja lewat depan warteg yang berada di pinggir jalan ia melihat lima orang sedang asik makan sambil tertawa-tawa, ia mencurigai mereka.
Untuk membuktikan kalau kecurigaannya benar dan mereka lah yang membuat Gibran seperti itu. Arsa memarkirkan motornya di depan warteg tersebut dan berpura-pura memesan kopi sambil mendengarkan percakapan mereka.
"Sumpah lo liat ga wajahnya yang udah ga berbentuk itu, hahaha," kata seseorang yang sedang melahap tempe di tangannya.
Satu orang lagi merespon perkataan lelaki dengan kulit tan tersebut, "Asli, lo sih Ko. Nafsu banget ngehajarnya."
Telinga Arsa sudah panas, lelaki itu menahan amarahnya, menunggu waktu yang tepat untuk menghajar mereka. Satu laki-laki berkulit putih sedang menyesap kopinya yang Arsa curigai adalah ketua geng tersebut, "Gimana ya, salah dia sendiri mau rebut Tamara dari genggaman gua. Satu kampus juga tau kalau gua lagi pdkt sama Tamara, dia dengan seenaknya dekati cewe yang gua suka."
Arsa mendecih dan menyinggungkan senyumnya. Mereka otomatis menatap kearah Arsa, salah satu dari mereka menghampiri Arsa dan mendorong bahu Arsa, "Lo liat apa? Fokus aja minum kopi lo, apa mau gue tambahin gula?" ejeknya sambil mengambil wadah yang berisi garam, setelah itu menumpahkan semua garam masuk ke dalam kopi yang Arsa pesan.
"Ayo minum," ujar lelaki itu, teman-temannya yang lain tertawa terbahak-bahak melihat temannya sedang membuli Arsa.
Lelaki itu mengambil kopi Arsa tadi, "Apa mau gue suapin?" ucapnya, temannya tertawa lagi melihat tingkah lelaki di depan Arsa yang sedang bertingkah seperti menyuapi anak bayi.
Arsa bangkit dari posisinya.
"Wah nantang dia," kata lelaki tersebut kepada teman-temannya.
Arsa menatap tajam lelaki di depannya, setelah itu memelintir tangan lelaki tersebut. Lelaki itu sudah mengerang kesakitan dibuatnya, setelah itu Arsa memberi pukulan sikunya di punggung lelaki itu dan akhirnya ia terkapar menahan sakit.
Arsa merentangkan tangannya, membuat sedikit perenggangan pada ototnya, "Udah lama ga berantem, jadi kangen suasananya," celetuk Arsa. Mereka mengindik ngeri dengan pukulan Arsa yang membuat temannya tumbang.
Arsa berjalan ke arah mereka semua yang langsung mundur keluar dari perkarangan warteg tersebut. Setelah itu, Arsa memberi isyarat dengan jarinya, menyuruh mereka maju. Dengan emosi salah satu mereka maju dan langsung melayangkan tinjunya ke wajah Arsa, dengan cepat Arsa mengelak pukulan tersebut dan membalas dengan meninju wajah lelaki tersebut, ia berakhir tersungkur ke tanah.
Lelaki yang tadi Arsa yakini adalah ketua geng mendorong tubuh anak buahnya untuk menghajar habis Arsa. Lelaki itu dengan senang hati langsung melayangkan tendangan kaki kepada dua orang itu sekaligus. Ia tersenyum bangga karena masih bisa menguasai tendangan tersebut.
Arsa memandangi lelaki yang berada di depannya yang sedang memegang pisau dengan tubuhnya yang gemetar. Arsa memijat pelipisnya, "Ngerepotin aja," gumamnya.
"... G-gue bisa denger ya," sahutnya. Arsa mengangguk.
Ia melangkah maju, begitu pula lelaki yang di depannya dengan cepat melangkah mundur, "Gua gamau basa-basi, lo kan yang ngebuat Gibran babak belur?"
Lelaki itu menatap remeh Arsa dan menyinggungkan senyumnya, "Oh lo dekengannya Gibran. Kenapa? Mau balas dendam apa yang gua perbuat ke teman lo?"
Arsa mengepalkan tangannya, "Ga usah banyak bacot lo anjing," pekiknya. Arsa berlari ke arah lelaki tersebut dengan cepat lelaki itu berjaga-jaga dengan pisaunya. Setelah itu ia menusuk ke arah perut Arsa, tapi ia dengan sigap langsung memegang lengan pria tersebut dan memelintirkan tangannya sehingga pisau yang ia pegang terlepas dari genggamannya.
Arsa merubah posisinya jadi di belakang lelaki itu dan menarik tangan lelaki itu ke belakang. Pria itu berteriak kesakitan dan memohon ke Arsa agar melepaskannya. Bukannya melepaskannya, Arsa malah menekan tangan lelaki itu dan membuatnya menggerang kesakitan.
" ... Sorry, iya gue salah. Tapi Tamara— Argh!" Arsa menekannya dengan keras.
"Minta maaf sama Gibran dan juga jangan ganggu Gibran lagi, kalau lo ga mau terkait masalah sama gua," ucap Arsa dengan nada mengintimidasi, setelah itu ia melepaskan tangannya.
Arsa masuk ke warteg tersebut dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah kepada ibu warteg tersebut, "Maaf sudah memberikan kekacauan di warung, Ibu."
Wanita tua itu tersenyum membalas ucapannya. Arsa melihat lelaki yang membulinya masih terkapar di bawah, dengan sengaja ia menginjak kakinya membuat ia menggerang kesakitan lagi.
(...)
Arsa baru sampai di rumah sakit yang di berikan alamatnya oleh Radit, dengan terburu-buru ia ke ruangan UGD. Di ujung ruangan tersebut terlihat Satria dan Radit sedang bercanda gurau dengan Gibran.
"Baru dateng lo, ketemu sama mereka?" tanya Radit.
Arsa mengangguk, Satria dan Radit menatapnya dengan takjub, "Sorry, Sa. Udah ngerepotin lo," celetuk Gibran.
Lelaki itu menggeleng, "Kita udah temenan dari jaman SMA, udah kayak saudara. Ga usah sungkan sama gua," jawabnya dan di angguki oleh Satria.
Gibran tersenyum tipis, "Tetap aja gue harus berterima kasih sama lo."
Arsa mengangguk, "Iya dah, lo juga harus cepat sembuh ga enak tidur di rumah sakit tuh." Dan Gibran mengangguk sambil tersenyum.
"By the way, gimana tadi? Pada tumbang ga? Terus, kok lo bisa ketemu sama mereka," tanya Radit bertubi-tubi.
Arsa menunjuk dahinya, "Pakai insting."
"Anjay," ucap mereka serempak. Setelah itu Radit menyuruh Arsa menceritakannya bagaimana ia menghajar orang-orang itu habis-habisan.
Mereka semua mengangguk mengerti, "Kalau ada gue pasti habis dah tuh mereka," celetuk Satria dengan bangga, membuat Radit dan Gibran menatapnya aneh.
"Yang ada malah ngeribetin kalau ada lo disana," sahut Radit.
Arsa menggeleng, "Kalau gua ga ada, kalian harus ngelindungin satu sama lain, jangan ngandelin gua."
Mereka semua menatap kearah Arsa, "Maksud lo? Mau pergi kemana coba," balas Gibran.
"Ya kita gatau kalau gua besok mati," jawab Arsa asal dan berakhir bahunya dipukul Radit.
"Sembarangan, omongan itu doa anying," ucap Radit.
Satria mengangguk, "Ya tuhan juga ga bakal ambil nyawa lo cepat-cepat kali, lo harus bayar dosa dulu."
Mereka semua mengangguk setuju. Arsa hanya tersenyum kecut mendengarnya.
to be continue.
Hujan deras turun menyelimuti kota Bandung. Hawa dingin menelusup masuk ke dalam kulit, Sia memeluk dirinya guna menghangatkan tubuhnya. Sesekali meniup tangannya dan menggosoknya, ia menatap ke luar jendela, dilihatnya awan yang sedang mendung, matahari tak kunjung datang.Ia menghela napas, Arsa janji akan ke rumahnya hari ini, kalau hujan begini kemungkinan besar lelaki itu tak akan datang. Sia mengambil guling dan memeluknya. Bagaimanapun ia juga tidak ingin Arsa sakit dan mendesak lelaki itu mengunjunginya.TRING!Notifikasi pesan masuk, dengan segera ia membuka pesan yang di kirimkan siapa lagi kalau bukan Arsa.Arsa|Aku udah di depan rumah kamu1 11.07Sia membelalakkan matanya dan segera bangkit menuju balkon, terlihat Arsa yang berada di bawah luar gerbang rumahnya, yang masih duduk di motornya. Arsa hanya memakai jaket kulit dan bawahan celana jeans, tapi pakaiannya sudah basah kuyup semua.Dengan cepat Sia kel
Tadi malam Arsa banyak sekali minum, sekarang kesusahan untuk tidur dan tubuhnya terasa sangat dingin. Arsa mencoba melilit tubuhnya dengan selimut dan mematikan AC nya, berusaha untuk tidur tapi tetap saja ia terbangun dari tidurnya.Pagi ini Arsa benar-benar tidak enak badan. Suhu badannya juga tinggi, tubuhnya benar-benar lemah, apa lagi ia merasakan nyeri di bagian perutnya. Walaupun begitu Arsa harus bangkit dan pergi ke rumah Sia, karena lelaki itu sudah janji dan tidak ingin membuat gadis itu khawatir.TRING!Notifikasi pesan dari Sia masuk, Arsa mengambil ponselnya yang berada di meja kecil samping kasurnya.SiaAku tunggu di balkon.Hati-hati Sa ^.^08.24 WIBDengan lemah Arsa mengukir senyumnya dan menuju ke kamar mandi membasuh tubuhnya. Setelah selesai dengan kegiatan membasuhnya, Arsa segera turun ke bawah. Arka serta Bunda ada di bawah, sementara Ayahnya masih di rumah sakit."Sa, ayo sarapan," ajak Bunda s
Tepat jam 8 malam, Arsa akan menjemput Sia. Kemarin saat siang dia sudah mengelilingi rumah Sia beberapa kali, mencari jalan persembunyian keluar dari sana. Kalau lewat depan tidak akan mungkin bukan, maka dari itu dia mencari jalan keluar.Terkesan gila memang tindakan Arsa yang mengajak Sia keluar dari rumahnya. Arsa sudah menunggu Sia, tepat di luar tembok besar belakang dekat taman rumahnya, disana memang terdapat lubang yang sepertinya akan dipakai untuk pembuangan sampah.Sia sudah bersiap untuk keluar dari sana, biasanya jam 8 adalah jadwal ia untuk tidur. Kebiasaannya memang seperti itu, tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam. Berbeda sekali dengan Arsa yang selalu begadang tiap malam.Setelah menurut Sia situasi di luar aman, ia keluar kamarnya dengan langkah pelan seperti mengendap-endap. Ia menutupi bajunya dengan hoodie, saat hendak ingin pergi ke dapur, suara kenop pintu terdengar."Mau kemana, sudah jam 8 malam," celetuk Brian, Pap
Brian mengusap wajahnya kasar. Johnny memberi beberapa informasi tentang Arsa yang sudah ia gali sampai ujung. Tentang kapan lelaki itu lahir, dari kasta mana lelaki itu berasal, teman-temannya, suku, agama, ras, sampai kesehatan lelaki itu.Lelaki paruh baya itu sangat marah, bagaimana bisa lelaki pecandu alkohol dan memiliki penyakit kronis bisa mendekati anak gadisnya yang polos serta naif itu."Siapa dokter yang menanganinya?" tanya Brian kepada Jhonny, ia sedang membaca beberapa lembar kata yang berisi biodata Arsa."Dr. Daniel Yogaswara, Tuan," jawabnya.Brian mengangguk dan bangkit sambil membawa kertas biodata itu, "Sediakan mobil, kita akan temui dokter Daniel," ucapnya. Johnny mengangguk setelah itu keluar dari ruang kerja Brian dengan tergesa-gesa.Sia melihat Johnny yang keluar dari ruangan kerja Papanya, ia langsung melirik ke Bi Jami, "Papa belum berangkat kerja, Bi?" tanyanya.Bi Jami mengangguk, "Belum Non," ucapn
Malam kali ini terasa sunyi dan dingin. Baru saja mereka sampai di tempat tujuan dan menyantap minuman yang mereka beli, tapi tanpa aba-aba hujan jatuh dengan derasnya. Untung mereka sedang berada di kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan.Mereka duduk berhadapan, Sia menyunggingkan senyumnya dan alhasil senyumnya membuat Arsa tersenyum tipis, "Manis," celetuknya.Sia seketika tersedak, lelaki itu selalu bisa membuatnya salah tingkah dan membuat jantungnya tidak aman, "Ga papa?" tanya Arsa khawatir. Gadis itu langsung menggeleng cepat dan memukul pelan dadanya.Mereka menghabiskan kopi sambil menunggu hujan reda, "Aku mau tanya, Sa," ucapnya.Arsa langsung memfokuskan perhatian kepada Sia, "Kamu kemarin ke restoran?" tanya Sia. Lelaki itu menggeleng.FlashbackArsa mempunyai janji dengan seorang gadis yang kemarin bertemu di rumah sakit tempat ia di rawat. Di ujung koridor Arsa terkejut melihat Sia sedang berjalan menuju ke arah
Arsa diantar oleh Satria pulangnya, kendaraan lelaki itu di titipkan di rumah Gibran yang kebetulan tidak jauh dari Club tersebut. Lelaki itu mabuk berat dan terus meracau tak jelas. "Lo tau ga Sat, bibirnya Sia manis banget, buset dah. Buat gua kecanduan," racaunya. Satria menggeleng sambil membopong tubuh Arsa, "Gila lo berat banget anjing," ketusnya. Ia membukakan pagar rumah Arsa, ini sudah pukul 2 dini hari. Segera Satria ketuk pintu rumah tersebut, ia tidak tahu apakah ada yang membukakan pintu untuk Arsa. Akhirnya pintu terbuka dan terdapat Arka sedang menatap Arsa sambil menghela napasnya, setelah itu mengambil lelaki itu dari Satria, "Makasih ya Satria, maaf kalau Arsa ngerepotin," ucapnya. Satria menggeleng, "Engga kok, Ka. Kalau gitu gue pamit pulang ya," ujarnya, Arka mengangguk dan membawa masuk Arsa. Arka dengan langkah pelan membawa Arsa masuk ke dalam kamarnya, tapi baru beberapa langkah Ayah mereka sudah ada di ruang t
Arsa dan Sia masuk ke dalam satu club yang berada di pusat kota. Awalnya Sia sedikit ragu untuk masuk ke dalam sana, tapi lelaki itu menggenggam tangannya dan tersenyum tulus ke arahnya seakan lelaki itu bilang kalau ia akan menjaganya. Club ini adalah tempat berkumpulnya Arsa serta teman-temannya, lelaki itu membawa Sia menuju di sudut ruangan, Satria yang melihat Arsa langsung melambaikan tangannya. Arsa.berjalan menuju ke arah mereka dan menyapa temannya, setelah itu memperkenalkan Sia kepada mereka, "Kenalin ini Athanasia, panggil aja Sia, di umurnya di bawah kalian semua," ucap Arsa. Sia tersenyum sambil menunduk kepalanya sedikit, "Halo," sapanya. Mereka langsung serempak menjawab. "Gue kayaknya lebih enak manggil Hana deh. Kenalin gue Satria," cetus Satria sambil mengulurkan tangannya ke arah Sia. Sia tersenyum manis, "Sia, eh kok tau Hana?" tanyanya. "Tentu dong, kita mutualan di twitter. Gue juga yang ngenalin Arsa sama lo," j
Bunda yang baru pulang dari pasar menemani pembantu rumah tangganya belanja, terkejut saat ada sebuah mobil terparkir di depan rumahnya dan juga terlihat Satria sedang membawa barang Arsa keluar dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Tanpa berpikir panjang ia keluar dari mobil dan menanyakan sesuatu ke Satria, "Satria, ini kenapa?"Satria mengigit bibir bawahnya, tak lupa ia menyalimi tangan Ibunda Arsa tersebut, "Hm, anu Tante."Karena Satria tak kunjung menjawab pertanyaannya Diana masuk ke dalam kamar dan melihat Arsa sedang memasukkan baju ke dalam koper berwarna emas tersebut. Lantas Diana langsung menarik tangan Arsa, anak itu menepis tangan Diana."Kamu mau ngapain Sa, mau kemana?" tanya Diana yang menatap putranya itu agar memberinya penjelasan.Tapi Arsa tetap bungkam dan menghiraukan Diana yang terus-menerus melontarkan pertanyaan. Karena merasa dihiraukan, Diana langsung mengambil koper tersebut dan menyerakkan isinya. Arsa menatap tajam Bundany
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik
Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke
Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam