Akhir-akhir ini gadis itu selalu menghabiskan waktunya dengan ponselnya, menunggu setiap saat notifikasi pesan dari Arsa.
Ya, lelaki yang baru dua hari kemarin ia sukai postingannya, malah sekarang lelaki itu mengirim pesan kepadanya. Ternyata lelaki itu juga menyukai seni lukis, maka dari itu mereka berteman karena menyukai hal yang sama.
Sekarang Sia sedang menunggu pesan dari lelaki itu, tapi tidak ada balasan dari si pemilik. Karena frustasi menunggu, Sia memberanikan diri untuk menelpon lelaki tersebut.
Rasa takut mulai menyelimutinya, takut Sia menganggu Arsa, Sia menunggu telepon tersebut diangkat oleh pemilik sambil menggigit kuku jarinya.
Memang seperti ini kebiasaan gadis itu, kalau sedang ketakutan ataupun khawatir.
"Halo?"
Panggilan tersebut terjawab, tapi anehnya yang menjawab adalah suara perempuan di seberang sana.
"Halo?"
Dengan cepat Sia mematikan panggilan tersebut dan membuang ponselnya asal.
"Mampus, itu cewenya yang jawab?" celetuk Sia.
Ponselnya kembali berdering, dengan berat hati Sia mengambil ponselnya yang berada di ujung ranjang dan melihat nama Arsa tertera di panggilan tersebut.
Sia merutuki dirinya sendiri, bagaimana ini kalau ia disembur oleh kekasih orang itu.
Dengan gemetar, Sia menjawab panggil tersebut, "Maaf ya, sepertinya ini salah sambung," ucapnya dan hendak menekan tombol matikan panggilan.
Tapi terdengar suara tawa lelaki di seberang sana.
"Halo?" ujar Sia.
"Ini gua Arsa, apa masih salah sambung?" jawabnya, Sia menghela nafas panjang.
"Engga kok, tadi itu cewe kamu ya?" tanya Sia.
" ... " Tidak ada jawaban dari Arsa, Sia mulai overthinking di buatnya, bagaimana kalau sekarang lelaki itu sedang bertengkar dengan kekasihnya gara-gara dia.
Karena tidak ada jawaban dari seberang sana, Sia memberanikan diri untuk memanggil nama Arsa.
"Sa," panggilnya.
"Oh sorry, tadi kata lo apa?" tanya lelaki itu menyuruh Sia mengulang kembali kalimatnya.
Sia mengambil nafas, "Tadi itu cewe kamu?"
"Menurut lo gimana?" Lelaki itu malah melontarkan pertanyaan itu kepadanya.
"Cewe kamu?"
Arsa yang berada di seberang sana terkekeh kecil mendengarnya.
"Lo lucu, btw dia cuma temen," jawab Arsa.
Tanpa tersadar semburat merah muncul di wajahnya, kalau Arsa melihatnya sekarang mungkin lelaki itu tertawa.
"Syukur deh." tak sadar kata-kata tersebut keluar dari mulutnya.
"M-Maksud aku, syukur gitu ga ada yang marahin aku karena nelpon pacar orang, iya gitu," ucap Sia terbata-bata.
"Kamu sangka aku berfikiran apa?"
Sia memukul kepalanya, bodoh. Ah bisa gila dia dibuatnya.
"Aku kayaknya harus sarapan dulu deh," ujar Sia mencoba untuk melarikan diri dari percakapan ini.
"Ini udah siang, udah lewat waktu sarapan."
Sia dengan tergesa-gesa langsung mematikan panggilan tersebut secara sepihak.
Sia langsung merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit.
Bagaimana ia akan menjelaskan kepada lelaki itu nanti dan juga mengapa tiba-tiba jantungnya berdegup kencang.
"Ah! Sia bodoh!" teriaknya.
(...)
Satria kebingungan melihat Arsa yang cengar-cengir bodoh menatap ponselnya. Tadi Arsa menelepon dirinya untuk menjemput ia yang berada di salah satu perumahan elit.
Niatnya Arsa akan menginap dirumahnya, Satria tahu pasti lelaki itu tengah berselisih dengan keluarganya.
"Berhenti jadi kayak orang bego, Sa. Risih gue liatnya anjir," celetuk Satria.
Arsa memandang sinis terhadap Satria, "Lo gatau sih, siapa yang telepon gue tadi."
Ikut penasaran Satria bertanya kepada temannya itu, "Siapa yang bikin Arsa Putra Pangestu klepek-klepek sampai senyum-senyum kayak orang gila di depan ponsel."
"Sia," jawabnya singkat.
Satria bingung, nama ini baru pertama kali disebut Arsa.
"Siapa anjir Sia, sia maneh," canda Satria mendapat jitakan dari Arsa.
Lelaki itu terkejut, "Gue lagi nyetir nih anjir, kalau kecelakaan gimana."
"Siapa bilang lo lagi nyelem," ucapnya.
"...Athanasia, panggilannya Sia, anak yang kemarin lo kenalin ke gua yang jadi bahan taruhan kalian."
Satria langsung manggut-manggut mengerti, "Oh, Hana," jawabnya.
"Hana?" tanya Arsa.
Satria mengangguk, "Iya Hana, itu nama yang biasa di panggil sama pengikutnya," jawab Satria.
Arsa hanya mengangguk saja.
"Hana, cantik juga," gumam Arsa.
Satria langsung menoleh kearah Arsa, "Ha? Gue ga salah denger lo barusan muji cewe dengan kata cantik?"
Arsa hanya memutar matanya malas, "Lo budeg."
"Anjing," umpat Satria.
(...)
Lelaki itu mengajak Sia keluar hari ini, ia ingin bertemu dengan gadis itu. Sia sudah bersiap-siap dan juga merangkai kata-kata agar Papanya memperolehkan ia keluar tanpa menggunakan bodyguard.
Sia berkaca di cermin dengan pakaian berwarna pastel dan juga rok pendek di atas lutut.
"Cantik," pujinya.
Gadis itu tersenyum semangat membayangkan ini pertama kali dirinya kencan dengan seseorang. Sebenarnya dulu pernah, tapi selalu gagal, berakhir lelaki yang mendekatinya secara terang-terangan mundur dan tidak mendekati dirinya lagi.
Sia menghela napas dan tersenyum manis menatap pantulan dirinya, "Kali ini, aku jamin ga bakal gagal lagi," timpalnya.
Gadis itu keluar kamarnya dengan santai. Saat baru keluar dari kamar Sia tak sengaja berpapasan dengan pembantunya yaitu Bibi Jami tengah membawa cemilan yang hendak dia antar ke kamar Sia.
"Non, mau kemana?" tanya Bi Jami.
Sia memegang pundak Bi Jami dan membalikkan tubuhnya.
"Mau pergi sama teman, jadi Bi Jami ga usah repot-repot nganter ini ke kamar Sia," ujarnya sambil menunjuk beberapa cemilan di nampan yang dibawa.
Bi Jami membelalakkan matanya, "Tapi non—," ucapan Bi Jami terhenti tak kala Sia menaruh jari telunjuknya di bibir mengisyaratkan Bi Jami agar diam.
"Bibi ga usah khawatir, biar Sia yang ngomong sama papa, okay?" bujuk Sia, mendapat anggukan pasrah dari dari Bi Jami.
Sia tersenyum senang dan berjalan mendahului.
Gadis itu turun dari tangga dan dengan cepat pergi ke ruang kerja papanya. Tak lupa gadis itu mengetuk sebelum masuk.
"Hai Pa," sapanya.
Brian terheran-heran melihat anaknya tengah tersenyum ceria kearahnya, biasanya gadis kecilnya itu selalu memasang wajah jutek kepadanya.
"Pasti ada maunya," tebak Brian.
Sia tersenyum manis sambil berjalan mendekat kearah Brian dan menaruh tangannya di meja kerja tersebut serta menangkup wajahnya, ia hendak menggoda Ayahnya itu.
Brian terkekeh kecil melihat tingkah anaknya, "Mau kemana? Sudah rapi begini," ucapnya.
"Pa, aku mau keluar bareng teman," celetuk Sia dengan ekspresi memohon kepada Brian agar mengerti maksudnya.
Brian mengangguk, Sia langsung tersenyum lebar. Tapi senyumnya tak berselang beberapa lama setelah mendengar kalimat dari Brian.
"Boleh, nanti papa suruh om Johnny menemani kamu—"
Sia mengubah air wajahnya, setelah itu menghentakkan kakinya kesal.
"Sia maunya sendiri, jalan sendiri bareng teman Sia, masa ga boleh sih!?" pekiknya.
Brian mengusap wajahnya kasar, "Sayang, ayolah ini demi kebaikan kamu, hm?"
Gadis itu pergi meninggalkan ruangan kerja Brian dengan hentakan kaki mengisyaratkan kalau ia sedang marah kepada Papanya.
Ponsel gadis itu berdering, Sia dengan cepat mengambil ponselnya yang berada di dalam tas dan segera menjawab panggilan dari Arsa.
"Aku udah di depan rumah kamu, aku masuk ya?" kata Arsa.
Sia langsung berjalan menuju gerbang depan rumahnya, "Ga usah masuk, Sa. Aku aja yang kesana," tolak Sia langsung mematikan panggilan tersebut dan dengan langkah cepat pergi ke gerbang depan rumah.
Sedangkan Arsa, lelaki itu baru sampai dan melepaskan helmnya sambil memandangi rumah besar di depannya. Arsa takjub melihatnya, lelaki itu sesekali menerjapkan matanya.
Arsa langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celana dan menghubungi gadis bernama Athanasia tersebut.
"Aku udah di depan rumah kamu, aku masuk ya?" tanyanya.
Gadis itu menjawabnya dengan napas yang tersengal-sengal, "Ga usah masuk, Sa. Aku aja yang kesana."
Setelah itu Sia mematikan panggilan secara sepihak. Arsa menggeleng, "Kebiasaan," gumamnya.
Satpam rumah itu melihat Arsa dengan tatapan bingung, setelah itu keluar dari gerbang dan menanyai Arsa.
"Mau cari siapa ya, Mas?" tanya Satpam tersebut yang bernama Udin di tanda pengenalnya.
Arsa dengan sopan turun dari motornya dan berjabat tangan dengan satpam tersebut, "Begini Pak Udin, saya mau cari anak pemilik rumah ini."
"Non Sia?" cetusnya.
Arsa mengangguk, "Benar, mau saya jemput—"
Satpam tersebut langsung menggeleng, "Sebaiknya jangan deh Mas, dari pada Masnya babak belur, mending Mas pulang aja ke rumah," potong Satpam tersebut.
Arsa mengernyitkan keningnya, "Makasih sebelumnya sudah khawatir terhadap saya, tapi saya cuma mau ajak Sia keluar sebentar," ucap Arsa.
Pak Udin memijat pelipisnya, dia bingung bagaimana menjelaskan tentang keluarga Sia kepada lelaki muda di depannya.
"Arsa!" panggil Sia.
Tapi ada pria paruh baya di belakangnya yang mencekal pergelangan tangan Sia.
Sia memberontak sekuat tenaga untuk melepaskan cengkraman tersebut.
Arsa yang melihat itu hendak menolong Sia, tapi teriakan dari pria itu menghentikan langkahnya.
"Pak Udin, tutup gerbangnya!" seru Brian sambil membawa masuk Sia secara paksa.
"Iya, Ndan," jawab Pak Udin langsung melaksanakan perintah pemilik rumah tersebut.
Setelah pria itu masuk dengan Sia, Pak Udin memanggil Arsa menyuruhnya agar cepat pulang.
Rasa penasaran menyelimuti Arsa, siapa lelaki itu.
"Tadi itu Pak Brian, papa nya nona Sia," jawab Pak Udin.
Merasa puas dengan jawaban Pak Udin. Arsa berterima kasih, setelah itu pergi meninggalkan rumah Sia.
"Mungkin hari ini date nya di tunda dulu," pikirnya.
(...)
Arsa sekarang menjadi olok-olokan dua insan tersebut. Siapa lagi kalau bukan Gibran dan Radit.
Radit tertawa geli mendengar cerita Arsa tentang pengalaman yang ia dapatkan tadi. Karena baru kali ini seorang Arsa gagal ngedate dengan wanita.
"Gimana Sat, mobil mercedes lo jadi buat kita kan," celetuk Gibran, sontak membuat Satria memijat pelipisnya frustasi.
Setelah itu ia melirik Arsa dengan tatapan tajam. Arsa yang menyadari dirinya sedang di tatap tajam oleh Satria.
"Bukan salah gua lah anjing, gua juga gatau kalau bakalan kayak gini," elak Arsa sambil mengeluarkan sebungkus rokok di saku jaketnya.
Radit dan Gibran hanya menggeleng melihat kedua temannya, "Gimana, Sat?" tanya Radit.
Mereka niatnya hanya menggoda Satria, tapi anak itu terlalu serius sekarang. Satria dengan berat hati mengeluarkan kunci mobilnya dan menaruh di depan Radit.
"Terserah mau lo pakai atau jual," ujar Satria dengan nada pasrah.
Gibran sontak tertawa dengan keras, "Bercanda anjing, serius amat hidup lo," ledeknya.
Radit mengambil kunci mobil itu, "Gue pakai deh seharian buat nganterin nyokap arisan," tambahnya sambil memasuki kunci mobil tersebut ke dalam saku celananya.
"Gue pulangnya gimana?" tanya Satria.
Radit mengeluarkan uang nominal 100ribu dari dompetnya, "Nih, cukup kan buat naik taksi ke rumah lo."
"Ga cukup anjing," gerutu Satria.
" ...Dari sini ke rumah gue 150 ribu bangke," lanjutnya.
Gibran dan Arsa hanya menggeleng melihat tingkah laku Satria.
"Lo kenapa, ada masalah? Biasanya kelakuan lo mirip hewan kebun binatang," ujar Gibran, Satria hanya mendengus kesal mendengarnya.
Satria menyenderkan tubuhnya dan memejamkan matanya, "Gua lagi bingung, nyokap bokap gua berantem mulu setiap hari, jing. Kaga ada capeknya," ucapnya.
Arsa yang berada di samping Satria menepuk pundak lelaki itu, "Sabar bro," ucap Arsa, dia juga bingung ingin memberi saran bagaimana.
"Yoi, Sat. Jangan terlalu dipikirin, sekarang lo lupain dulu jangan buat diri lo stres sendiri," titah Radit dan menuangkan wine ke gelas Satria.
Gibran mengangguk, "Sat, c'mon kita harus senang-senang dong, lupain semua masalah, ayo kita mabok sampai pagi!" pekiknya sambil mengangkat gelas berisi wine.
Mereka semua langsung berseru semangat termasuk Satria yang tadinya lesu dan tidak punya semangat.
Jam menunjukkan pukul dua dini hari, dua puluh lima botol minuman keras berserakan dimana-mana, mereka benar-benar ingin mabuk sampai pagi hari. Tapi sudah ada saja yang tepar sebelum pagi, yaitu Satria dan Radit tidak seperti biasanya Satria tepar duluan, mungkin karena masalahnya.
Gibran masih senantiasa sadar, walaupun ia beberapa kali menerjapkan matanya untuk membuat tetap sadar.
"Gi, tidur aja kalau udah ga kuat. Jangan memaksakan diri," bujuk Arsa, Gibran menggeleng lemah.
Ia mulai meracau tak jelas, "Sa, gue pengen lepas dari Tamara," lirihnya.
Arsa yang masih sadar menoleh ke arah Gibran, lelaki itu sedang menggoyangkan botol vodka.
"Gua capek lihat dia selalu bareng cowok mulu setelah putus sama gua, sakit, Sa," racaunya.
Arsa melihat temannya satu persatu, mereka semua mempunyai masalah pribadi, begitu juga dia. Maka dari itu mungkin Tuhan mempertemukan mereka dan semoga memberi akhir yang bahagia.
Arsa melirik ke arah Gibran, ternyata lelaki itu sudah tertidur pulas.
Ponsel Arsa bergetar, lelaki itu mengambil ponselnya yang berada di saku jaket, "Halo."
Terdengar isakan kecil seorang wanita di seberang sana. Arsa mengecek siapa yang menelepon tengah malam-malam seperti ini.
Sia, nama itu muncul di ponselnya. Arsa langsung sadar, lelaki itu lantas khawatir.
"Sia, lo kenapa? Lo di dimana," ucap Arsa, beribu-ribu pertanyaan ada di kepalanya, tanpa sadar nada bicaranya meninggi.
Isakan tangis wanita masih terdengar. "Maaf," ucap gadis tersebut.
Arsa dibuatnya bingung, "Maaf untuk apa, lo dimana sekarang?" tanya Arsa lagi.
Dengan berat, gadis itu menjawab, "Dirumah."
Arsa menghela napas panjang, satu persatu ketakutan lelaki itu menghilang.
"Kenapa nangis, ada yang marahin lo. Bokap lo marahin lo?" tanpa Arsa, lelaki itu berjalan ke luar dari club karena terlalu bising.
"Bukan, kamu lagi di luar ya?" Suara gadis itu sangat berbeda saat menangis.
Arsa menjawab dengan dehem, "Tapi, serius lo ga papa kan?"
Gadis itu menjawab Arsa dengan lembut, "Iya."
"Lantas, kenapa nangis?" tanya Arsa.
"..." Tak ada jawaban dari Sia.
Apa mungkin gadis itu tertidur lelap, "Halo."
"Iya," jawab gadis itu singkat.
Arsa menghela napas, "Jawab pertanyaan gua."
Dengan berat hati gadis di seberang sana menjawab pertanyaan Arsa, "Karena kamu."
Ucapannya membuat Arsa makin bingung di buatnya.
to be continue.
Baru ingin memejamkan matanya, ponsel Arsa berdering dan terlihat nama Arka muncul. Tanpa berpikir panjang, Arsa langsung mematikan panggilan tersebut, menaruh ponselnya di meja dan kembali memejamkan matanya. Baru beberapa menit memejamkan matanya, ponselnya kembali berdering, karena malas menjawabnya. Arsa menghiraukan panggilan tersebut. Satria yang terbangun gara-gara nada dering ponsel Arsa, langsung mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Arsa lagi tidur," ucap Satria. Saat hendak mematikan panggilan tersebut, teriakan seseorang di ujung sana membuatnya enggan menutup panggilan itu. "Sa! Ayah jantungnya kambuh lagi!" pekik seseorang di seberang sana. Satria merubah posisinya yang tadinya masih tidur, sekarang duduk sambil mengucek matanya berusaha membaca nama di ponsel tersebut. Akibat minum alkohol terlalu banyak tadi malam, ia merasakan efek sampingnya yaitu pusing saat bangun. Arka, nama kontak yang menelepon Arsa. Satr
Lelaki itu berjalan dengan lunglai, dia sedang mabuk. Tadi malam ia menghabiskan waktu untuk meminum alkohol seperti biasa. Tidak ada yang menemaninya untuk menghabiskan beberapa botol alkohol, karena kesibukan temannya masing-masing.Ia memegang kenop pintu rumahnya, terkunci ternyata. Saat ia ingin mengeluarkan kunci dari saku jaketnya, satu tangan lebih dahulu membukakan pintu tersebut, ia adalah Arka kembarannya.Arsa masuk lebih dahulu, ia menerjapkan matanya guna untuk melangkahkan kakinya naik ke tangga untuk menuju kamarnya. Tapi tubuhnya begitu lemah dan pandangannya buram, jadi ia pun beberapa kali tersungkur. Arka dengan sigap membantu Arsa bangun, tapi lelaki itu menepisnya."Gua ga butuh bantuan lo," decak Arsa sambil menunjuk ke arah wajah Arka dan ia kembali naik ke atas menuju kamarnya. Arka menatapinya dari baw
Hujan deras turun menyelimuti kota Bandung. Hawa dingin menelusup masuk ke dalam kulit, Sia memeluk dirinya guna menghangatkan tubuhnya. Sesekali meniup tangannya dan menggosoknya, ia menatap ke luar jendela, dilihatnya awan yang sedang mendung, matahari tak kunjung datang.Ia menghela napas, Arsa janji akan ke rumahnya hari ini, kalau hujan begini kemungkinan besar lelaki itu tak akan datang. Sia mengambil guling dan memeluknya. Bagaimanapun ia juga tidak ingin Arsa sakit dan mendesak lelaki itu mengunjunginya.TRING!Notifikasi pesan masuk, dengan segera ia membuka pesan yang di kirimkan siapa lagi kalau bukan Arsa.Arsa|Aku udah di depan rumah kamu1 11.07Sia membelalakkan matanya dan segera bangkit menuju balkon, terlihat Arsa yang berada di bawah luar gerbang rumahnya, yang masih duduk di motornya. Arsa hanya memakai jaket kulit dan bawahan celana jeans, tapi pakaiannya sudah basah kuyup semua.Dengan cepat Sia kel
Tadi malam Arsa banyak sekali minum, sekarang kesusahan untuk tidur dan tubuhnya terasa sangat dingin. Arsa mencoba melilit tubuhnya dengan selimut dan mematikan AC nya, berusaha untuk tidur tapi tetap saja ia terbangun dari tidurnya.Pagi ini Arsa benar-benar tidak enak badan. Suhu badannya juga tinggi, tubuhnya benar-benar lemah, apa lagi ia merasakan nyeri di bagian perutnya. Walaupun begitu Arsa harus bangkit dan pergi ke rumah Sia, karena lelaki itu sudah janji dan tidak ingin membuat gadis itu khawatir.TRING!Notifikasi pesan dari Sia masuk, Arsa mengambil ponselnya yang berada di meja kecil samping kasurnya.SiaAku tunggu di balkon.Hati-hati Sa ^.^08.24 WIBDengan lemah Arsa mengukir senyumnya dan menuju ke kamar mandi membasuh tubuhnya. Setelah selesai dengan kegiatan membasuhnya, Arsa segera turun ke bawah. Arka serta Bunda ada di bawah, sementara Ayahnya masih di rumah sakit."Sa, ayo sarapan," ajak Bunda s
Tepat jam 8 malam, Arsa akan menjemput Sia. Kemarin saat siang dia sudah mengelilingi rumah Sia beberapa kali, mencari jalan persembunyian keluar dari sana. Kalau lewat depan tidak akan mungkin bukan, maka dari itu dia mencari jalan keluar.Terkesan gila memang tindakan Arsa yang mengajak Sia keluar dari rumahnya. Arsa sudah menunggu Sia, tepat di luar tembok besar belakang dekat taman rumahnya, disana memang terdapat lubang yang sepertinya akan dipakai untuk pembuangan sampah.Sia sudah bersiap untuk keluar dari sana, biasanya jam 8 adalah jadwal ia untuk tidur. Kebiasaannya memang seperti itu, tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam. Berbeda sekali dengan Arsa yang selalu begadang tiap malam.Setelah menurut Sia situasi di luar aman, ia keluar kamarnya dengan langkah pelan seperti mengendap-endap. Ia menutupi bajunya dengan hoodie, saat hendak ingin pergi ke dapur, suara kenop pintu terdengar."Mau kemana, sudah jam 8 malam," celetuk Brian, Pap
Brian mengusap wajahnya kasar. Johnny memberi beberapa informasi tentang Arsa yang sudah ia gali sampai ujung. Tentang kapan lelaki itu lahir, dari kasta mana lelaki itu berasal, teman-temannya, suku, agama, ras, sampai kesehatan lelaki itu.Lelaki paruh baya itu sangat marah, bagaimana bisa lelaki pecandu alkohol dan memiliki penyakit kronis bisa mendekati anak gadisnya yang polos serta naif itu."Siapa dokter yang menanganinya?" tanya Brian kepada Jhonny, ia sedang membaca beberapa lembar kata yang berisi biodata Arsa."Dr. Daniel Yogaswara, Tuan," jawabnya.Brian mengangguk dan bangkit sambil membawa kertas biodata itu, "Sediakan mobil, kita akan temui dokter Daniel," ucapnya. Johnny mengangguk setelah itu keluar dari ruang kerja Brian dengan tergesa-gesa.Sia melihat Johnny yang keluar dari ruangan kerja Papanya, ia langsung melirik ke Bi Jami, "Papa belum berangkat kerja, Bi?" tanyanya.Bi Jami mengangguk, "Belum Non," ucapn
Malam kali ini terasa sunyi dan dingin. Baru saja mereka sampai di tempat tujuan dan menyantap minuman yang mereka beli, tapi tanpa aba-aba hujan jatuh dengan derasnya. Untung mereka sedang berada di kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan.Mereka duduk berhadapan, Sia menyunggingkan senyumnya dan alhasil senyumnya membuat Arsa tersenyum tipis, "Manis," celetuknya.Sia seketika tersedak, lelaki itu selalu bisa membuatnya salah tingkah dan membuat jantungnya tidak aman, "Ga papa?" tanya Arsa khawatir. Gadis itu langsung menggeleng cepat dan memukul pelan dadanya.Mereka menghabiskan kopi sambil menunggu hujan reda, "Aku mau tanya, Sa," ucapnya.Arsa langsung memfokuskan perhatian kepada Sia, "Kamu kemarin ke restoran?" tanya Sia. Lelaki itu menggeleng.FlashbackArsa mempunyai janji dengan seorang gadis yang kemarin bertemu di rumah sakit tempat ia di rawat. Di ujung koridor Arsa terkejut melihat Sia sedang berjalan menuju ke arah
Arsa diantar oleh Satria pulangnya, kendaraan lelaki itu di titipkan di rumah Gibran yang kebetulan tidak jauh dari Club tersebut. Lelaki itu mabuk berat dan terus meracau tak jelas. "Lo tau ga Sat, bibirnya Sia manis banget, buset dah. Buat gua kecanduan," racaunya. Satria menggeleng sambil membopong tubuh Arsa, "Gila lo berat banget anjing," ketusnya. Ia membukakan pagar rumah Arsa, ini sudah pukul 2 dini hari. Segera Satria ketuk pintu rumah tersebut, ia tidak tahu apakah ada yang membukakan pintu untuk Arsa. Akhirnya pintu terbuka dan terdapat Arka sedang menatap Arsa sambil menghela napasnya, setelah itu mengambil lelaki itu dari Satria, "Makasih ya Satria, maaf kalau Arsa ngerepotin," ucapnya. Satria menggeleng, "Engga kok, Ka. Kalau gitu gue pamit pulang ya," ujarnya, Arka mengangguk dan membawa masuk Arsa. Arka dengan langkah pelan membawa Arsa masuk ke dalam kamarnya, tapi baru beberapa langkah Ayah mereka sudah ada di ruang t
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik
Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke
Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam